Tamparan lagi bagi dunia pendidikan di Indonesia. Setelah beberapa kasus yang lama terjadi, baru-baru ini muncul lagi di permukaan. Seorang murid menganiaya guru hingga tewas. Kasus ini adalah peringatan bagi orang tua yang memilki anak menjelang remaja. Berapapun banyak waktu yang dihabiskan di sekolah, tapi porsi masih lebih banyak ada pada pengawasan orang tua di rumah.
Pendidikan anak tidak harus diserahkan sepenuhnya kepada seorang guru, melainkan tugas orang tua juga dalam menanamkan pada anak bagaimana cara mengendalikan emosi. Seorang anak perlu mendapat arahan dari orang tua agar tidak mudah tersulut apabila mendapat teguran dari teman atau seorang guru.
Selain kasus pembunuhan, banyak juga kasus wali murid yang melaporkan seorang guru karena alasan menganiaya anaknya. Bahkan tidak jarang pula hal tersebut karena alasan sepele dan cenderung berawal dari kesalahan sang anak. Kalau boleh membandingkan hal ini sangat jauh berbeda dengan reaksi orang tua jaman dulu manakala anaknya dimarahi atau mendapat hukuman dari seorang guru. Orang tua seharusnya cerdas menimbang setiap informasi yang didapat dari sang anak, klarifikasi dari kedua pihak sangat penting agar terhindar dari kesalahan bersikap. Jika semua kesalahan harus ditimpakan kepada guru, lalu mendidik murid zaman sekarang harus seperti apa dan bagaimana.
Hal ini sekaligus menjadi tantangan bagi seorang guru, bagaimana membangun pendidikan karakter kepada anak menjadi efisien . Seorang guru harus bisa mengimbangi dan memahami gejolak arus globalisasi yang menimpa peserta didik.
Sejalan dengan banyaknya minat menjadi seorang guru, resiko juga sepertinya semakin rumit. Menilik kasus yang sedang santer terjadi, haruskah guru zaman sekarang memiliki kualifikasi tambahan dari hanya sekedar mampu dibidang akademis. Jika gelar pendidikan untuk mengukur kualitas seorang guru, mungkin syarat lain yaitu harus mengantongi gelar sarjana hukum agar aman dari tuntutan wali murid. Atau mungkin predikat Sabuk Hitam agar mampu menghindari serangan peserta didik.