“Sampai jumpa, Boy! Semangat mengerjakan tugas Pak Yuli,”
“Baik, Alfan! Sampai ketemu besok di kelas sesi dua!”
Kehangatan terasa ketika Boy berpamitan dengan Alfan seusai kelas malam. Pada hari Kamis Boy memang memiliki satu-satunya kelas malam, bahkan itu menjadi pertama kali untuk Boy memperoleh kelas malam.
Boy adalah satu dari ribuan mahasiswa yang menimba ilmu di salah satu kampus negeri ternama di Ibukota Jakarta. Memang kampus tersebut memiliki kawasan yang luas, pun ketika pagi hingga petang kampus masih ramai. Tetapi ketika seusai kelas malam, keramaian seketika berubah dengan sepi yang mencekam.
“Ah, astaga! Dimana kontak sepeda motorku?!” Boy kebingungan mencari kunci sepeda motornya. Padahal, ia selalu meletakkannya di saku sebelah kanan celananya. “Hmm.. mungkin aku meninggalkannya di lokerku,”
Boy merasa linglung ketika ia meninggalkan kunci sepeda motornya di loker miliknya. Terpaksa ia kembali ke lokernya di salah satu gedung kuliah di kampusnya. Lumayan jauh jaraknya dari tempat parkir sepeda motor, melewati lorong-lorong yang mencekam.
Jalan yang dilewati Boy seakan jauh ketika malam hari. Langkahnya kian melambat, entah mengapa mungkin karena ia kelelahan setelah mengarungi hari yang padat.
“Ah, ini dia aku temukan.” Boy akhirnya menemukan kunci miliknya di lokernya sendiri. Boy langsung memutuskan untuk pulang sebelum gerbang ditutup.
Huu… huuu..
Ada tangisan suara wanita yang didengar oleh Boy saat hendak menuju tempat parkir sebelumnya. Ia menoleh ke samping koridor. Tidak ada siapa-siapa yang menjadi sumber suara itu, tetapi suara itu terus berlanjut. Perasaan Boy semakin tidak mengenakan disana.
“Kak… kak…”
Dag… dig… dug…
Ada suara yang seakan memanggil Boy dari arah belakangnya. Seketika bulu kuduk Boy langsung merinding, ia kemudian memberanikan diri untuk menoleh kebelakang.
“Kak.. boleh antar aku pulang?” tanya seorang mahasiswi yang menggunakan jas almamater yang lusuh.
Ada sedikit nafas lega tercurah dari mulut Boy, setidaknya yang memanggilnya tadi bukanlah hantu wanita yang berdiam di kampusnya. Maya, itu adalah nama yang melekat di jas almamater yang lusuh itu.
“Halo.” Boy masih menanggapi gugup permintaan gadis berambut hitam yang panjangnya sebahu. Boy masih berpikir siapa dia, banyak pertanyaan yang terpendam dalam benak Boy tentang gadis itu.
“Tolong Maya, Kak.” Gadis itu mengharap pertolongan. Boy yang merasa ibapun menyanggupi permintaannya dan mengajaknya ikut ke parkiran.
Anehnya, muka gadis itu terlihat pucat dan rambutnya nampak lusuh. Boy mengira Maya tidak enak badan, Boy berinisiatif untuk mengajak Maya ke rumah sakit terdekat.
“Maukah kau ke rumah sakit di dekat kampus? Kau nampak tidak sehat,”
Maya hanya diam menanggapi tawaran Boy tersebut, aneh untuk dirasakan. Mereka sampai di parkiran motor, Boy langsung menyalakan mesin sepeda motornya dan mulai berjalan mengantar Maya.
“Di daerah Tanah Kusir ya, kak…”
Boy pun memacu motornya sesuai permintaan Maya. Ketika ditanya tentang alamat detailnya, Maya kembali tidak menggubris.
Jalanan yang sepi, hawa udara yang dingin menusuk tulang, membuat suasana hati Boy semakin mencekam. Entah apa yang ia rasakan, seakan tidak ada siapa-siapa di belakangnya.
“Maya?”
Boy masih memanggil nama Maya, tetapi tak ada jawaban yang menyambut sapaannya itu. Satu tarikan nafas pun tidak terdengar oleh Boy ketika menyetir. Hingga Boy menyadari sesuatu …
“Whoaa!!” Boy terkejut ketika ia berada di tengah-tengah pemakaman umum. Maya pun tidak ada di belakangnya, lantas siapa yang di bonceng Boy dari kampus barusan?