Abrasi adalah pegikisan daerah pantai yang terjadi akibat gelombang dan arus laut yang sifatnya merusak “destruktif”. Pengikisan ini mengakibatkan berkurangnya daerah pantai di mana wilayah yang paling dekat dengan air laut akan menjadi sasaran pertama pengikisan. Jika dibiarkan, abrasi akan terus mengikis bagian pantai sehingga air laut akan membanjiri daerah yang ada di sekitar pantai.
Berikut ini terdapat beberapa abrasi menurut para ahli, terdiri atas:
Abrasi adalah pengikisan batuan oleh angin, air atau es yang mengandung bahan yang sifatnya merusak.
Pengertian abrasi menurut Undang-Undang No.24 Tahun 2007 adalah proses, pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang sifatnya merusak, yang di picu oleh terganggu keseimbangan alam di daerah tersebut.
Abrasi menurutnya adalah proses pengikisan tanah yang disebabkan oleh hantaman gelombang laut, air sungai, gletser atau angin yang ada di sekitarnya.
Abrasi atau erosi pantai bisa terjadi karena berbagai faktor mulai dari faktor alam hingga faktor manusia, simak pembahasannya berikut ini:
Fenomena alam yang menimbulkan abrasi antara lain pasang surut air laut, angin di atas lautan yang menghasilkan gelombang dan juga arus laut yang sifatnya merusak. Faktor alam yang seperti ini tidak bisa dihindari karena laut memang memiliki siklusnya tersendiri. Pada suatu periode angin akan bertiup dengan sangat kencang dan menghasilkan gelombang dan arus laut yang besar.
Sedangkan ulah manusia yang bisa menimbulkan abrasi ialah sebagai berikut:
Menurut Muhammad Arsyad (2012) menyatakan: “abrasi tentu sangat berdampak terhadap kehidupan. Pada umumnya abrasi lebih banyak memiliki dampak negatif dibandingkan dampak positif. Dampak negatif yang dihasilkan dari abrasi juga sangat merugikan lingkungan khususnya manusia. Berikut ini akan dipaparkan bukti-bukti kerugian yang diakibatkan abrasi.
Jadi berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa abrasi sangat berdampak terhadap kehidupan. Dibandingkan dengan dampak positif, abrasi lebih banyak dampak negatif yang mana dampak negatif ini sangat merugikan manusia, lingkungan, dan aktivitas manusia itu sendiri. Tidak hanya itu, wilayah negara kita, Indonesia juga semakin menyempit. Ironisnya, semua dampak ini sebagian besar disebabkan oleh manusia.
Abrasi sebisa mungkin harus dicegah karena dampaknya yang cukup berbahaya bagi masyarkat yang ada di sekitarnya. Nah berikut ini ialah beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadi abrasi yaitu:
Berikut ini terdapat beberapa contoh abrasi, terdiri atas:
Menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Syamsul Muarif (2009) menyatakan:
“Abrasi pantai di Pamekasan terparah di Madura dibanding pantai pesisir di tiga kabupaten lain di wilayah tersebut. Kondisi semacam itu dikarenakan kurangnya kesadaran masyarakat dalam berupaya menciptakan lingkungan pesisir kondusif dan ramah lingkungan.
Parahnya kerusahan pantai di Pamekasan ini tidak hanya diketahui pemerintah pusat, akan tetapi masyarakat internasional. Hal ini cukup menyedot perhatian masyarakat internasional sehingga mereka pun mengirimkan bantuan untuk Indonesia. Sebagai contoh adanya bantuan 700 hektar tanaman mangrove dari warga Jepang untuk Indonesia di mana 20 persennya untuk wilayah Pamekasan”.
Menurut Kepala Desa Batukaras, Abdul Karim (2013) menyatakan: “Pantai Batukaras yang berada di Desa Batukaras, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran mengalami abrasi. Pengikisan pantai mencapai sepanjang empat kilometer. Peristiwa tersebut merupakan yang terparah diakui masyarakat setempat karena lebar pengikisan pantai mencapai 10 meter.
Kejadian tersebut hampir terjadi setiap lima tahun sekali namun, sepengetahuan dirinya ini merupakan yang terparah. Penyebab dari terjadinya abrasi adalah curah hujan yang tinggi dan hembusan angin kencang. Tidak hanya bibir pantai yang tergerus, pohon kelapa pun juga banyak yang tumbang karena abrasi”.
Menurut Alam Endah (2009) berpendapat: “abrasi pantai di Indonesia telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Sedikitnya 40 persen dari 81 ribu km pantai di Indonesia rusak akibat abrasi. Dalam beberapa tahun terakhir garis pantai di beberapa daerah di Indonesia mengalami penyempitan yang cukup memprihatinkan. Abrasi yang terjadi mampu menenggelamkan daratan antara 2 hingga 10 meter per tahun.
Apabila tidak diatasi, lama kelamaan daerah-daerah yang permukaannya rendah akan tenggelam. Pantai yang indah dan menjadi tujuan wisata menjadi rusak. Pemukiman warga dan tambak tergerus hingga menjadi laut. Tidak sedikit warga di pesisir pantai yang telah direlokasi gara-gara abrasi pantai ini. Abrasi pantai juga berpotensi menenggelamkan beberapa pulau kecil di perairan Indonesia”.
Menurut Eddy Lee (2013) menyatakan: “Pulau Bali sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Indonesia terkenal memiliki keindahan alam yang tersebar mulai daerah pegunungan hingga kawasan pantai. Namun belakangan ini kondisi pantai-pantai di pulau Bali mengalami abrasi yang cukup parah.
Abrasi yang tersebar di seluruh kawasan pantai di pulau Bali telah mengakibatkan kerusakan terhadap berbagai hak milik dan prasarana umum seperti: areal pertanian, kebun, pemukiman penduduk, jalan, tempat-tempat ibadah (pura), dan resort pariwisata.
Abrasi yang terjadi di Pantai Kuta sejak tahun 2000 akibat terjangan ombak laut makin lama makin parah hingga kini mengingat ombak yang disertai angin kencang terus meliputi Pantai Kuta. Hal itu bertambah parah karena pantai kian hari makin tergerus air laut bahkan air laut sempat mencapai jalan raya sehingga jalanan dipenuhi oleh pasir”.
Menurut salah satu majalah di Kepulauan Riau, Haluan Kepri (2013) menyatakan: “akibat terjadinya abrasi dan banyaknya penambangan bauksit di Kabupaten Bintan, Provinsi Kepri mengakibatkan sejumlah pulau rawan tenggelam. Salah satunya Pulau Sentut yang merupakan pulau terluar Indonesia yang terletak di perairan Laut Cina Selatan atau perbatasan Indonesia dengan Malaysia.
Pulau ini berada di sebelah timur dari Pulau Bintan dengan koordinat 1°2’52” LU, 104°49’50” BT yang terletak di titik koordinat 1°, masuk Kecamatan Gunung Kijang desa Malang Rapat, Bintan.
Pulau Sentut luasnya tidak sampai 2 hektar dan hanya berupa pasir. Saat ini luas dan ketinggian pulau berkurang akibat abrasi dan penambangan bauksit berapa bulan lalu. Dikatakan sebelumnya Pulau Sentut pernah ditambang oleh PT. Gunung Sion yang berlangsung hanya beberapa bulan saja dan perusahaan tersebut saat ini telah pindah di pulau lainnya. Disekitar wilayah Bintan juga ada dua pulau yang terancam tenggelam karena abrasi dan penambangan tersebut.
Begitu pula dengan Pulau Tembora yang terancam tenggelam akibat penambangan bauksit. Warga khawatir luas pulau berkurang dan tenggelam akibat penambangan ini. Pulau Ngalih juga disasar sebagai lokasi pertambangan. Padahal, pulaunya kurang dari 80 hektar itu termasuk pulau kecil yang dilarang untuk penambangan di Kecamatan Mantang.
Sedikitnya enam pulau di pesisir barat dan selatan hampir tenggelam. Lebih dari separuh pulau-pulau itu terendam air laut. Sisanya berupa daratan dengan pasir. Garis terluar pulau-pulau itu masih terlihat. Namun, garis terluar ada di bawah air. Jika tidak tenggelam, luas asli pulau jauh lebih besar dari kondisi saat ini”.
Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) (2007) mengungkapkan: “hanya dalam waktu dua tahun dari 2005 hingga 2007 sedikitnya 24 pulau kecil di wilayah Indonesia telah tenggelam”.
Selain itu menurut Direktur Pemberdayaan Pulau-pulau Kecil, Ditjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) DKP, Alex S.W. Retraubun (2007) menyatakan:
“24 pulau yang dinyatakan hilang itu merupakan kawasan yang sudah teridentifikasi dan telah memiliki nama. Mayoritas pulau kecil yang tenggelam tersebut akibat abrasi air laut diperburuk oleh kegiatan penambangan untuk kepentingan komersial. Selain itu, bencana tsunami Aceh 2004 juga berdampak menenggelamkan tiga pulau kecil setempat.
Sebanyak 24 pulau yang tenggelam itu antara lain tiga pulau di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), tiga pulau di Sumatera Utara, tiga di Papua, lima di Kepulauan Riau, dua di Sumatera Barat, satu di Sulawesi Selatan, dan tujuh di kawasan Kepulauan Seribu, Jakarta. Sebanyak 13 pulau atau 54,1 persen diantaranya tenggelam akibat abrasi. Sementara, delapan lainnya karena kegiatan penambangan dan sisanya akibat dampak tsunami Aceh yang terjadi tiga tahun lalu.
Dua puluh empat pulau yang tenggelam tersebut yakni Sanjai, Karang Linon Besar dan Karang Linon Kecil di NAD, Pulau Pusung, Lawandra, Niankin (Sumatera Utara), Pulau Kikis dan Sijaujau (Sumatera Barat). Di Kepulauan Riau, yakni Pulau Terumbu Daun, Lereh, Tikus, Inggit, dan Begonjai akibat penambangan pasir dan abrasi, sementara di Jakarta yakni Pulau Ubi Besar, Ubi Kecil dan Nirwana karena tambang untuk bandara.
Selain itu juga Pulau Dapur, Payung Kecil, Air Kecil dan Nyamuk Kecil karena abrasi, sedangkan di Sulawesi Selatan yakni Pulau Laut, sementara tiga pulau di Papua yakni Mioswekel, Urbinasi dan Klakepo.
Pulau-pulau itu merupakan dataran landai yang hanya berketinggian sekitar satu meter di atas permukaan laut sehingga rentan terkena abrasi yang menyebabkan daratannya terkikis air laut. Kekhawatiran akan tingkat kehilangan fisik kawasan pulau-pulau kecil bakal semakin masif dan besar menyusul fenomena pemanasan global yang menaikkan permukaan air laut hampir satu meter sampai akhir abad ini. Selain menenggelamkan pulau kecil, fenomena pemanasan global juga memperluas kerusakan terumbu karang”.
Menurut Antara News (2013) mengabarkan: “Pulau Puteri yang terletak pada bagian utara Kota Batam terancam tenggelam akibat terkikis abrasi laut sehingga luasnya terus berkurang. Pulau terdepan yang berbatasan dengan Singapura dan Malaysia itu, sebelumnya masih ditumbuhi pohon-pohon, namun selama gelombang tinggi pohon itu habis digerus ombak.
Saat musim angin utara Pulau Puteri luasnya makin menyempit yang bisa ditempuh selama lima menit dengan perahu mesin kecil namun, akibat abrasi dan banyaknya pencemaran minyak saat musim utara sehingga bakau dan tumbuhan penahan gelombang lainnya mati sehingga mengakibatkan luasnya terus menyusut.
Akibat pencemaran yang terjadi upaya penanaman bakau yang dilakukan tidak membuahkan hasil. Semua mati karena limbah minyak”.
Sebelumnya, ahli kelautan dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Kepri, Dr Ediwan (2013) mengungkapkan:
“Ekosistem laut di Kepri semakin mengkhawatirkan akibat maraknya pencemaran laut terutama dari limbah bahan beracun dan berbahaya (B3).
Ada banyak faktor mengapa laut Kepri kian kritis. Ini akibat maraknya pembuangan limbah baik dari kapal asing yang melintas. Jika ini terus terjadi maka cepat atau lambat, habitat laut di Kepri akan punah. Ada tiga ekosistem laut terancam punah yaitu karang, pasir dan mangrove atau bakau bila terkena limbah. Tumbuhan tidak akan bisa hidup sementara ekosistem laut lain akan pergi.
Jika hewan karang yang biasa menempel di karang merasa tidak nyaman, maka akan pergi akibatnya karang rapuh dan tidak akan mampu menopang ekosistem laut lainnya. Limpahan limbah yang terjadi di laut diakibatkan oleh berbagai aktivitas, baik industri, alat transportasi seperti kapal dan tanker, maupun aktivitas penduduk. Rata-rata limbah industri mengalir bebas ke laut”.
Menurut Lilis Sofiana (2009) menyatakan: “kerusakan yang terjadi di Pantai Muarareja adalah pengikisan (abrasi) daratan di pinggir pantai yang disebabkan besarnya terjangan gelambang air laut dan adanya luapan air laut (rob) di daerah tersebut. Kerusakan ini terjadi akibat ulah tangan manusia yang merusak sarana dan prasarana umum di sekitar kawasan tersebut dengan menebang pohon bakau yang berfungsi sebagai penangkal arus air laut.
Abrasi yang terjadi di Pantai Muarareja menyebabkan ratusan kepala keluarga kehilangan tempat tinggal setelah dusun mereka tenggelam akibat abrasi. Kondisi tersebut diperparah dengan tingginya gelombang pada saat musim penghujan. Dalam beberapa bulan terakhir garis pantai ke arah laut sepanjang 7,5 kilometer terkikis 20 meter dari bibir pantai. Lebar daratan pantai yang dulu mencapai 200 meter saat ini hanya tersisa 20 meter. Bahkan, sebagian daratan berupa tambak penduduk sudah berbatasan langsung dengan air laut.
Abrasi di Pantai Muarareja sudah terjadi selama puluhan tahun. Abrasi telah mengikis daratan di pinggir pantai sepanjang sekitar 50 meter dan menghancurkan sekitar 300 hektar lahan tambak milik nelayan di sana. Hal itu terjadi karena pohon bakau yang berfungsi sebagai penangkal arus air laut hilang ditebang.
Selain itu, di kawasan Muarareja juga terjadi rob atau limpahan air laut. Rob tersebut menggenangi ratusan rumah warga dan jalan. Biasanya air mulai menggenangi rumah warga sekitar pukul 16.00 dan surut sekitar pukul 20.00 WIB. Ketinggian air di dalam rumah bisa mencapai sekitar 20 cm, sedangkan ketinggian air di jalan bisa mencapai 50 cm. Meskipun tidak menimbulkan korban, rob sangat mengganggu aktivitas warga.
Untuk mengatasi hal tersebut, sebaiknya pemerintah dengan segera melakukan perbaikan terhadap daerah pesisir pantai Muarareja, Kota Tegal. Dalam upaya mengatasi kerusakan terutama yang disebabkan oleh abrasi sudah saatnya bagi kita untuk memikirkan cara-cara dan melakukan tindakan yang berwawasan konservasi, tidak lagi hanya dengan melakukan upaya yang sifatnya sementara saja. Pencegahan ataupun penanggulangan abrasi dengan berwawasan konservasi tentu akan memberikan berbagai keuntungan bagi lingkungan (alam) yang akan membawa pengaruh positif dalam kehidupan manusia”.
Menurut Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas (2012) menyatakan:
“Pulau Gede merupakan sebuah pulau kecil di perairan Laut Jawa di utara Kabupaten Rembang. Pulau tidak berpenghuni yang terletak 2 mil ke arah timur Pulau Marongan ini hanya berjarak tidak lebih dari 5 km dari bibir pantai Kota Rembang.
Sekarang sebagian daratan pulau itu tenggelam karena tingkat abrasi yang tinggi disebabkan oleh benturan gelombang laut. Hal itu terjadi gara-gara banyak orang yang mengambil karang di sekitar pulau itu yang digunakan untuk pembuatan bangunan”.
National Geografic Indonesia (2011) memprediksikan: “Pulau Kelor, pulau kecil yang terdapat di gugusan kepulauan seribu itu akan tenggelam 45 tahun lagi. Prediksi tentang Pulau Kelor yang akan tenggelam dalam waktu 45 tahun ke depan didasarkan atas data UPT Taman Arkeologi Onrust yang mengungkap bahwa pada tahun 1980-an Pulau Kelor memiliki luas sekitar 1,5 hektar namun, kini luasnya tidak mencapai 1 hektar.
Menyempitnya luas Pulau Kelor yang mengakibatkannya terancam tenggelam dan musnah diakibatkan oleh abrasi yang mengikis pulau tersebut. Apalagi dengan kecendurungan naiknya permukaan air laut sebagai akibat pemanasan global.
Tidak hanya Pulau Kelor saja. Banyak pulau-pulau kecil Indonesia yang terancam hilang bukan lantaran direbut dan dikuasai oleh negara tetangga namun, musnah lantaran abrasi, penambangan pasir, naiknya permukaan air laut serta kerusakan alam lainnya”.
Demikianlah pembahasan mengenai Abrasi adalah – Pengertian, Penyebab, Dampak, Cara & Contoh semoga dengan adanya ulasan tersebut dapat menambah wawasan dan pengetahuan kalian semua, terima kasih banyak atas kunjungannya