Tanam Paksa atau yang disebut juga Cultuurstelsel adalah kebijakan yang diberlakukan oleh Bangsa Belanda dimana mewajibkan setiap desa menyisihkan tanahnya sebesar 20 persen untuk ditanami komoditas ekspor, khususnya kopi, tebu, teh, dan tarum (nila).
Tanam Paksa atau Cultuurstelsel merupakan usulan Johannes van den Bosch yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Tujuan utama adanya kebijakan tanam paksa di bawah gubernur van den Bosch yaitu menyelamatkan Belanda dari krisis ekonomi. Sebab saat itu kas pemerintah Belanda kosong.
Aturan Tanam Paksa dan Penyimpangan oleh Bangsa belanda
Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia IV (2008) karya Marwati Djoened dan Nugroho, ada sejumlah ketentuan pokok sistem tanam paksa tertera dalam Stadsblad (lembaran negara) tahun 1834 No 22. Ketentuan dalam tanam paksa meliputi:
Persetujuan akan diadakan dengan penduduk supaya mereka menyediakan sebagian tanahnya untuk penanaman tanaman yang dapat dijual di pasar Eropa.
Tuntutan kepada setiap rakyat Pribumi agar menyediakan tanah pertanian untuk cultuurstelsel tidak melebihi 20% atau seperlima bagian dari tanahnya untuk ditanami jenis tanaman perdagangan.
Rakyat yang tidak memiliki tanah pertanian dapat menggantinya dengan bekerja di perkebunan milik pemerintah Belanda atau di pabrik milik pemerintah Belanda selama 66 hari atau seperlima tahun.
Bagian tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
Hasil dari tanah yang disediakan wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Jika nilai hasil tanaman dagangan yang ditaksir melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, kelebihannya dikembalikan kepada rakyat.
Kerusakan atau kerugian sebagai akibat gagal panen yang bukan karena kesalahan petani seperti bencana alam dan terserang hama, akan di tanggung pemerintah Belanda.
Pelaksanaan Cultuurstelsel diserahkan kepada pemimpin pribumi. Sementara pemerintah Belanda hanya jadi pengawas.
Namun, aturan yang ditetapkan kolonial memiliki banyak penyimpangan dalam pelaksanaannya. Penyimpangan tersebut jauh dari aturan asli dan sangat menyengsarakan rakyat.
Pelaksanaan cultuurstelsel seharusnya sukarela, tetapi dilaksanakan dengan cara-cara paksaan. Pemerintah kolonial memaksa rakyat melalui Bupati dan kepala desa.
Luas tanah yang disediakan penduduk lebih dari seperlima. Bahkan sampai harus menyerahkan sepertiga hingga seluruh tanah desa dengan alasan agar lebih mudah pengerjaan, pengairan, dan pengawasan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Pengerjaan tanaman ekspor diprioritaskan dari pada padi sehingga tanah pertanian rakyat justru tidak terurus.
Pajak tanah masih dikenakan pada tanah yang digunakan untuk proyek tanam paksa.
Kelebihan hasil panen setelah diperhitungkan dengan pajak tidak dikembalikan pada petani.
Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani.
Buruh dipekerjakan secara paksa seperti yang terjadi di Rembang, Jawa Tengah. Sejumlah 34.000 keluarga selama 8 bulan setiap tahun diharuskan mengerjakan tanaman dagang dengan upah sangat kecil.
Untuk memuluskan tanam paksa, pejabat kolonial memberi suap kepada bupati dan kepala desa agar mau mengerahkan penduduk untuk menyukseskan Cultuurstelsel.
Menurut catatan dari seorang inspektur Tanam Paksa, yaitu L. Vitalis, ia menyebutkan bahwa pada 1835, di Priangan, mayat para petani bersebaran karena keletihan dan kelaparan.
Berawal dari itu, kemudian masalah tersebut naik ke permukaan dan menjadi konflik bahwa pemerintah Belanda telah melakukan eksploitasi berlebih terhadap bumiputra Jawa.
Cultuurstelsel kemudian dihentikan setelah mendapat berbagai kritik dengan dikeluarkannya UU Agraria 1870 dan UU Gula 1870.