Di Yogyakarta, Pangeran Notokusumo diangkat sebagai Paku Alam pada tahun 1813, akibatnya Mataram Yogyakarta pecah menjadi dua yaitu :
Kesultanan Yogyakarta di bawah HB III
Dan Paku Alaman di bawah Paku Alam I
Pada tanggal 13 Agustus 1814, di Eropa ditanda tangani perjanjian London oleh Inggris dan Belanda yang isinya Belanda memperoleh kembali sebagian besar daerah koloninya, termasuk Indonesia. Oleh karena itu pada tahun 1816, Raffles meninggalkan Indonesia dan Belanda kembali berkuasa di Indonesia.
Kata kolonialisme berasal dari bahasa latin yaitu colonia yang artinya tanah, tanah pemukiman atau jajahan. Jadi kolonialisme adalah suatu sistem pemukiman warga suatu Negara di wilayahinduknya atau penguasaan oleh suatu Negara atas daerah atau Negara lain dengan magsud untuk memperluas daerahnya atau negaranyayang bisasa terletak di seberang lautan dengan tujuan utamanyamerusak sumber-sumber kekayaan daerah kolonia demi Negara induknya.
Kata imerialisme berasal dari bahasa latin yaitu dari kata imperare yang berarti memerintah atau sebagai kerajaan besar yang bertujuan penjajahan langsung atau menguasai Negara lain untuk mendapat kekuasaan , wilayah dan kekayaan yang lebih besar dengan jalan menguasai semua bidang kehidupan seperti kehidupan politik,ekonomi,social dan idiologi.
Ketika Inggris menyerbu Pulau Jawa, Daendels sudah dipanggil kembali ke Belanda. Penggantinya, Gubernur Jenderal Janssens, tidak mampu bertahan dan terpaksa menyerah. Akhir dari penjajahan Belanda-Perancis itu ditandai dengan Kapitulasi Tuntang yang ditandatangani pada tanggal 18 September 1811 oleh S. Auchmuty dari pihak Inggris dan Janssens dari pihak Belanda. Isi perjanjian tersebut adalah sebagai berikut.
Seluruh Jawa dan sekitarnya diserahkan kepada Inggris.
Semua tentara Belanda menjadi tawanan Inggris.
Semua pegawai Belanda yang mau bekerja sama dengan Inggris dapat memegang jabatannya terus.
Semua hutang pemerintah Belanda yang dahulu, bukan menjadi tanggung jawab Inggris.
Seminggu sebelum Kapitulasi Tuntang, Raja Muda (Viceroy) Lord Minto yang berkedudukan di India, mengangkat Thomas Stamford Raffles sebagai Wakil Gubernur (Liuetenant Governor) di Jawa dan bawahannya (Bengkulu, Maluku, Bali, Sulawesi, dan Kalimantan Selatan). Hal itu berarti bahwa gubernur jenderal tetap berpusat di Calcutta, India. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya Raffles berkuasa penuh di Indonesia.
Pemerintahan Raffles di Indonesia cenderung mendapat tanggapan positif dari para raja dan rakyat Indonesia karena hal berikut ini.
Para raja dan rakyat Indonesia tidak menyukai pemerintahan Daendels yang sewenang-wenang dan kejam.
Ketika masih berkedudukan di Penang, Malaysia, Raffles beberapa kali melakukan misi rahasia ke kerajaan-kerajaan yang anti Belanda di Indonesia, seperti Palembang, Banten, dan Yogyakarta dengan janji akan memberikan hak-hak lebih besar kepada kerajaan-kerajaan tersebut.
Sebagai seorang liberalis, Raffles memiliki kepribadian yang simpatik. Beliau menjalankan politik murah hati dan sabar walaupun dalam praktiknya terkadang agak berlainan.
Pada tanggal 3 Agustus 1811, Angkatan Laut Inggris mendarat di Teluk Batavia di bawah pimpinan Gilbert Eliot, Lord Minto, dan Thomas Stamford Raffles. Armada angkatan laut Inggris terdiri dari 100 kapal dengan membawa 1.200 orang. Pendaratan dipimpin oleh Jenderal Auchmuty pada tanggal 4 Agustus 1811. Pada tanggal 8 Agustus 1811, mereka berhasil menguasai Batavia. Jenderal Jumel yang ditugaskan mempertahankan Batavia terpaksa mundur hingga di garis pertahanan Meester Cornelis.
Kemudian pimpinan pertahanan diambil oleh Jansens. Ia dihimbau agar Pulau Jawa diserahkan kepada Inggris tetapi ditolak. Segera terjadi pertempuran yang hebat di Meester Cornelis selama 16 hari. Tentara Belanda ternyata tidak sanggup bertahan sehingga Jansens mundur ke arah Bogor. Dari Bogor ia berangkat ke Semarang dengan harapan dapat mempertahankan PUlau Jawa dari sana. Ia juga mengharapkan raja-raja yang berkuasa dapat memberikan bantuan, tetapi hal itu tidak terpenuhi.
Dalam menjalankan pemerintahan di Indonesia, Raffles didampingi oleh suatu Badan Penasihat (Advisory Council) yang terdiri atas Gillespie, Cranssen, dan Muntinghe. Tindakan-tindakan Raffles selama memerintah di Indonesia (1811-1816) adalah sebagai berikut:
Pulau Jawa dibagi menjadi 16 karesidenan, yang terdiri atas beberapa distrik. Setiap distrik terdapat beberapa divisi (kecamatan) yang merupakan kumpulan dari desa-desa.
Mengubah sistem pemerintahan yang semula dilakukan oleh penguasa pribumi menjadi sistem pemerintahan kolonial yang bercorak barat.
Bupati-bupati atau penguasa-penguasa pribumi dilepaskan kedudukannya sebagai kepala pribumi secara turun-temurun. Mereka dijadikan pegawai pemerintah kolonial yang langsung di bawah kekuasaan pemerintah pusat.
Bidang Perekonomian dan Keuangan
Petani diberikan kebebasan untuk menanam tanaman ekspor, sedangkan pemerintah hanya berkewajiban membuat pasar untuk merangsang petani menanam tanaman ekspor yang paling menguntungkan.
Penghapusan pajak hasil bumi (contingenten) dan sistem penyerahan wajib (Verplichte Leverantie) karena dianggap terlalu berat dan dapat mengurangi daya beli rakyat.
Menetapkan sistem sewa tanah (landrent). Sistem ini didasarkan pada anggapan bahwa pemerintah kolonial adalah pemilik tanah dan para petani dianggap sebagai penyewa (tenant) tanah pemerintah. Oleh karena itu, para petani diwajibkan membayar pajak atas penggunaan tanah pemerintah.
Pemungutan pajak pada mulanya secara perorangan. Namun, karena petugas tidak cukup akhirnya dipungut per desa. Pajak dibayarkan kepada kolektor yang dibantu kepala desa tanpa melalui bupati.
Sistem sewa tanah tersebut disebut Lnadrent atau sewa tanah. Sistem tersebut memiliki ketentuan, antara lain:
Petani harusmenyewa tanah meskipun dia adalah pemilik tanah tersebut.
Harga sewa tanah tergantung kepada kondisi tanah.
Pembayaran sewa tanah dilakukan dengan uang tunai.
Sistem landrent ini diberlakukan terhadap daerah-daerah di Pulau jawa, kecuali daerah-daerah sekitar Batavia dan parahyangan. Hal itu disebabkan daerah-daerah Batavia pada umumnya telah menjadi milik swasta dan daerah-daerah sekitar Parahyangan merupakan daerah wajib tanam kopi yang memberikan keuntungan yang besar kepada pemerintah.Bagi yang tidak memiliki tanah dikenakan pajak kepala.
Sistem peradilan yang diterapkan Raffles lebih baik daripada yang dilaksanakan oleh Daendels. Apabila Daendels berorientasi pada warna kulit (ras), Raffles lebih berorientasi pada besar-kecilnya kesalahan. Menurut Raffles, pengadilan merupakan benteng untuk memperoleh keadilan. Oleh karena itu, harus ada benteng yang sama bagi setiap warga negara.
Penghapusan kerja rodi (kerja paksa).
Penghapusan perbudakan, tetapi dalam praktiknya beliau melanggar undang-undangnya sendiri dengan melakukan kegiatan sejenis perbudakan. Hal itu terbukti dengan pengiriman kuli-kuli dari Jawa ke Banjarmasin untuk membantu perusahaan temannya, Alexander Hare, yang sedang mengalami kekurangan tenaga kerja.
Peniadaan pynbank (disakiti), yaitu hukuman yang sangat kejam dengan melawan harimau.
Masa pemerintahan Raffles di Indonesia memberikan banyak peninggalan yang berguna bagi ilmu pengetahuan, antara lain berikut ini.
Ditulisnya buku berjudul History of Java. Dalam menulis buku tersebut, Raffles dibantu oleh juru bahasanya Raden Ario Notodiningrat dan Bupati Sumenep, Notokusumo II.
Memberikan bantuan kepada John Crawfurd (Residen Yogyakarta) untuk mengadakan penelitian yang menghasilkan buku berjudul History of the East Indian Archipelago, diterbitkan dalam tida jilid di Edinburgh, Scotlandia pada tahun 1820.
Raffles juga aktif dalam mendukung Bataviaach Genootschap, sebuah perkumpulan kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Ditemukannya bunga bangkai yang akhirnya diberi nama Rafflesia Arnoldi.
Dirintisnya Kebun Raya Bogor.
Selama lima tahun Raffles berkuasa di Indonesia terjadi beberapa kali persengketaan dengan pribumi. Hal ini terjadi di Palembang (1811), Yogyakarta (1812), Banten (1813), dan Surakarta (1815).
Berakhirnya pemerintah Raffles di Indonesia ditandai dengan adanya Convention of London pada tahun 1814. Perjanjian tersebut ditandatangani oleh wakil-wakil Belanda dan Inggris yang isinya sebagai berikut.
Raffles yang sudah terlanjur tertarik kepada Indonesia sangat menyesalkan lahirnya Convention of London. Akan tetapi, Raffles cukup senang karena bukan ia yang harus menyerahkan kekuasaan kepada Belanda, melainkan penggantinya yaitu John Fendall, yang berkuasa hanya lima hari. Raffles kemudian diangkat menjadi gubernur di Bengkulu yang meliputi wilayah Bangka dan Belitung. Karena pemerintahan Raffles berada di antara dua masa penjajahan Belanda, pemerintahan Inggris itu disebut sebagai masa interregnum (masa sisipan).
Benteng Marlborough merupakan peninggalan sejarah kolonial Inggris terbesar di kawasan asia. Benteng Marlborough berdiri dengan megahnya dan menghadap ke arah selatan, meliputi area 31,5 Ha. Salah satu daya tarik benteng ini mempunyai tipikal abad 18 yang berbentuk kura-kura. Lokasi benteng dipusat kota berbatasan dengan Perkampungan China, yang juga kawasan obyek wisata.
Benteng ini dibangun tahun 1714 – 1719 di bawah pimpinan Gubernur Joseph Collet. Di salah satu kamar benteng ini pernah dihuni Presiden RI pertama Ir. Soekarno ketika menjalani hukuman buangan masa penjajahan Belanda. Setelah kemerdekaan Benteng Marlborough dipugar oleh pemerintah dan menjadi salah satu obyek wisata Kota Bengkulu.
Bengkulu adalah salah satu provinsi di pulau Sumatera tepatnya di Sumatera bagian selatan. Di masa lalu daerah ini pernah menjadi ajang persaingan dagang antara Inggris dan Belanda. Mereka berusaha untuk menguasai komoditi (lada) yang ada di sana. Tahun 1664 Belanda dengan VOC-nya mendirikan kantor pelelangan di sana. Tahun 1670 Sultan Banten mengeluarkan peraturan transaksi lada yang baru.
Peraturan itu membuat pihak Belanda mengalami kerugian. Untuk itu, pada tahun yang (1670) Belanda meninggalkan Bengkulu. Mereka pergi ke Banten dengan tujuan menguasainya. Di sana Belanda berhasil membuat Sultan Banten menandatangani perjanjian tentang hak monopoli perdagangan oleh Belanda. Perjanjian itulah yang kemudian membuat perhatian Belanda hanya tertuju pada Banten. Dan, kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Inggris, melalui EIC-nya, untuk masuk ke Bengkulu
Setelah lebih kurang 140 tahun Pemerintah Inggris berada di Bengkulu, mereka banyak meninggalkan “warisan” peninggalan bersejarah. Salah satunya adalah Benteng Marlborough.Nama benteng ini menggunakan nama seorang bangsawan dan pahlawan Inggris, yaitu John Churchil, Duke of Marlborough I. Benteng ini tergolong terbesar di kawasan Asia. Peninggalan sejarah ini memiliki daya tarik yang besar karena kelangkaannya. Benteng ini dulunya merupakan pusat pemerintahan kolonial Inggris yang menguasai Propinsi Bengkulu selama lebih kurang 140 tahun (1685-1825).
Konstruksi bangunan benteng Fort Marlborough ini memang sangat kental dengan corak arsitektur Inggris Abad ke-20 yang ‘megah’ dan ‘mapan’. Bentuk keseluruhan komplek bangunan benteng yang menyerupai penampang tubuh ‘kura-kura’ sangat mengesankan kekuatan dan kemegahan. Detail-detail bangunan yang European Taste menanamkan kesan keberadaan bangsa yang besar dan berjaya pada masa itu. Dari berbagai peninggalan yang masih terdapat di dalam bangunan benteng dapat pula diketahui bahwa pada masanya bangunan ini juga berfungsi sebagai pusat berbagai kegiatan termasuk perkantoran, bahkan penjara.
Hal ini tidak sesuai dengan Pancasila sila ke 4 yang mengatur bahwa segala keputusan harus diambil melalui musyawarah. Peradilan menurut Raffles lebih berorientasi pada besar-kecilnya kesalahan. Menurut Raffles, pengadilan merupakan benteng untuk memperoleh keadilan. Oleh karena itu, harus ada benteng yang sama bagi setiap warga negara. Hal ini sesuai dengan nilai pancasila sila ke5.