BAGAIMANA tanggapan kita terhadap pengelompokan siswa yang pintar dan kurang pintar dalam kelas yang berbeda? Pertanyaan tersebut mengemuka dalam forum guru banyak sekolah seminggu sebelum liburan berakhir. Asal-muasal pertanyaan bisa berawal dari pengalaman di sekolah sendiri atau bisa juga melihat yang diterapkan di sekolah lain. Ada bermacam-macam alasan yang dikemukakan ketika sebuah sekolah mengelompokkan siswa ke dalam kelas pintar dan kurang pintar. Satu alasan demi memudahkan pencarian siswa untuk mewakili sekolah dalam lomba-lomba kepandaian antarsekolah. Alasan lain demi memudahkan guru yang mengajar di kelas. Ada juga alasan demi meningkatkan gengsi sekolah jika segelintir siswa pintar diekspos untuk berbagai perlombaan yang membawa nama sekolah. Lain cerita seorang rekan guru di seberang pulau yang mesti bersitegang pada hari pertama dengan kepala sekolah hanya karena sang kepala sekolah kurang memperhitungkan sebaran karakter dan latar belakang siswa ketika membagi kelas. Kepala sekolah atau guru yang tidak mengenal setiap pribadi siswanya pasti akan abai memperhitungkan faktor pemerataan karakter siswa demi terciptanya kelas yang hidup. Guru ini menganggap penting kelas yang berisi beragam siswa, baik tingkat kecerdasan maupun kecenderuangan perangai siswa. Pun beranggapan bahwa kelas yang baik mestinya terjadi proses saling melengkapi antar pribadi siswa di dalamnya. Para guru di sekolah yang melakukan pengelompokan siswa semacam itu tahu membedakan rasanya mengajar di kelas-kelas pintar atau kurang pintar. Di kelas yang berisi anak-anak yang tergolong pintar guru dimudahkan dan disenangkan dalam banyak mengajar. Untuk kelas pintar, guru akan menyanjung-nyanjung setiap prestasi yang dicapainya. Lain halnya dengan mengajar di kelas yang terlanjur dilabeli kelas kurang pintar, bahkan penuh problem. Ketika akan memasuki kelas yang terakhir ini sebagian guru menggerutu dan kehilangan gairah mengajar. Jika pemilihan siswa yang pintar dan kurang pintar akhirnya memunculkan diskriminasi perlakuan guru terhadap siswa, orangtua manakah yang rela anaknya jadi bahan percobaan dan diperlakukan tidak adil di sekolah? Guru mana yang sanggup mengembalikan hakikat pendidikan yang memberikan penghargaan kepada setiap pribadi siswa? Ketidakrelaan para orangtua akan perlakuan yang diterima anaknya mestinya diikuti evaluasi dan penjernihan kembali pemikiran pemikiran yang mendasari pengelompokan siswa pintar dan kurang pintar. Penelitian Carl Glikman (1991) menyimpulkan hasil bahwa tidak ada keuntungan yang diperoleh dengan menempatkan siswa ke dalam kelas berdasarkan kemampuan akademisnya. Siswa yang berprestasi lebih tinggi tidak menunjukkan adanya peningkatan yang lebih baik ketika ia bersama dengan siswa-siswa yang berprestasi sama tingginya. Di sisi lain, siswa yang prestasi belajarnya kurang justru semakin menurun prestasi belajarnya ketika ia dikelompokkan dengan siswa yang memiliki prestasi setara. Ada kebosanan yang dirasakan dalam kelas yang kurang pintar. Para siswa di kelas demikian mempunyai gambaran diri buruk, tidak sehebat kelas pintar. Kelas campuran dengan siswa yang beragam kemampuan akademiknya justru memunculkan persaingan yang dampak positif. Yang kurang pintar akan terpacu untuk belajar keras karena ada model teman sebaya. Pun bagi mereka yang pintar, sekelas dengan yang kurang pintar menjadi kesempatan untuk mengasah hati dan kepeduliannya kepada sesama yang butuh bantuan. Hal terakhir inilah yang sering dilupakan sebagai tugas sekolah, yakni sekolah tidak pertama-tama mendidik yang sudah pintar, tetapi mendidik siswa dengan tingkat kemampuan seperti apapun. Sekolah bukan hanya memintarkan, tetapi juga mengasah hati siswa. Orangtua mana yang rela anaknya dicap kurang pintar?