Baca Juga :
Gaya Hidup Hijau dengan Urban Farming
Permasalahan Lingkungan: Saat Sebuah Solusi Justru Menimbulkan Masalah
Generasi Muda Harus Ngerti Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan!
Menurut penelitian Koalisi Jakarta 2030, pencemaran udara di Jakarta setiap tahunnya merenggut 38.000 nyawa. Jelas, ini jumlah kematian yang sangat besar yang menimbulkan beban sosial ekonomi yang amat besar bagi warga Jakarta. Shanty Syahril dari Koalisi Jakarta 2030 mengatakan polusi udara di Ibu Kota menjadi beban sosial masyarakat yang berlanjut pada peningkatan jumlah penyakit. Koalisi mencatat biaya kesehatan masyarakat Jakarta pada 2008 mencapai USD180 juta.
Pada 2015 biaya itu diperkirakan mencapai USD430 juta. Ini jumlah yang amat besar yang bila dipakai untuk membangun taman kota, hutan lingkungan, danau buatan, dan restorasi hutan mangrove di pantai utara sangatlah memadai. Memang benar, pencemaran udara di Jakarta yang parah ini 80%-nya bersumber dari kendaraan bermotor. Saat ini jumlah kendaraan bermotor di Jakarta mencapai lebih dari 8,5 juta buah. “Biaya kesehatan akibat polusi udara ini dikeluarkan oleh individu,” ujarnya.
Kondisi demikian, menurut anggota Dewan Transportasi Kota (DTK) Jakarta Iskandar Abubakar, sudah tergolong menyeramkan. Karena itu, harus segera didesain solusi tepat dan cepat. “Idealnya memang pertumbuhan kendaraan pribadi harus distop tanpa pengecualian,” ujar mantan Dirjen Perhubungan Darat tersebut. Memang membatasi jumlah kendaraan di Jakarta adalah salah satu cara untuk mengurangi pencemaran udara.
Tapi, masalahnya, siapakah yang dapat mencegah aliran dan difusi udara di atmosfer? Jika jumlah kendaraan di Jakarta dikurangi, sementara kendaraan di pinggiran Jakarta seperti Jawa Barat dan Banten terus bertambah, dampaknya akan mengenai Jakarta pula. Karena itu, mengurangi jumlah kendaraan untuk mencegah bertambahnya polusi kurang efektif meski memang ada manfaatnya.
Dengan demikian, harus ada solusi lain yang lebih efektif, yang akan berdampak positif terhadap polusi secara keseluruhan. Di antara solusi yang efektif, pertama, adalah memperluas ruang terbuka hijau (RTH). Sampai 2010, realisasi RTH di DKI Jakarta hanya 9,80%. Padahal, idealnya, 30%. Perluasan RTH ini harusnya tidak hanya dilakukan di Jakarta, tapi juga di daerah pendukungnya, yaitu Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Tanpa dukungan perluasan RTH di daerah sekeliling Jakarta, pembatasan jumlah kendaraan nyaris tak ada artinya.
Solusi kedua adalah merehabilitasi hutan mangrove di pantai utara Jakarta. Hutan mangrove merupakan hutan yang sangat efektif untuk menyerap karbon dioksida yang selanjutnya mengeluarkan oksigen gas yang amat penting dalam komposisi udara yang sehat. Pohon mangrove yang mampu menyerap gas karbon dua sampai tiga kali lipat dibandingkan pohon lain semestinya menjadi pilihan untuk memperluas ruang terbuka hijau.
Saat ini, di Jakarta hanya ada sekitar 25 hektare hutan mangrove yang sehat, letaknya di Muara Angke. Ini jumlah yang terlalu kecil untuk “menghijaukan” Jakarta Ibu kota negeri yang memiliki hutan mangrove terbesar di dunia. Dampak lanjutan dari restorasi dan rehabilitasi hutan mangrove ini menjadikan air laut makin jernih dan sehat. Air laut yang baik dapat berfungsi untuk menyerap gas karbon dari atmosfer.
Dengan demikian perluasan hutan mangrove di pantai utara dapat memperbaiki kualitas udara di Jakarta. Solusi ketiga, memperbanyak hutan kota, hutan lingkungan, dan waduk. Semua itu dapat mengurangi polusi udara yang berakibat makin sehatnya kehidupan penduduk Jakarta. Masih banyak strategi lain untuk mencegah bertambahnya pencemaran udara karena udara merupakan komponen penting manusia yang tak bisa dibatasi pergerakannya.
Seluruh dunia berkepentingan untuk memperoleh udara yang sehat. Dan kontribusi Jakarta dalam menghasilkan udara yang sehat niscaya akan mendapat acungan dunia! Apalagi pemerintah SBY sudah bertekad untuk mengurangi emisi gas karbon sampai 26% pada 2020.