Era demokrasi parlementer di Indonesia, juga sering kali disebut sebagai era demokrasi konstitusional. Munculnya sistem parlementer di Indonesia karena jatuhnya kabinet Presidensial Pertama pada 14 November 1945 yang disebabkan oleh keluarnya Maklumat Wakil Presiden No. X/1945 pada 16 Oktober 1945 dan diikuti kemudian oleh Maklumat Pemerintah pada 3 November 1945 yang berisi tentang seruan untuk mendirikan partai-partai politik di Indonesia. Demokrasi Parlementer adalah demokrasi yang memberi lebih banyak kekuatan kepada legislatif atau disebut juga dengan demokrasi parlementer. Pihak eksekutif memperoleh hak kekuasaan atas demokrasinya hanya dari legislatif, yaitu parlemen. Kepala negaranya juga berbeda dari kepala pemerintahan, dan keduanya memiliki tingkat kekuasaan yang berbeda-beda. Namun, dalam kebanyakan kasus, presiden adalah raja yang lemah (Inggris) atau pemimpin resmi (India). Baca juga: Indonesia di Masa Demokrasi Terpimpin Ciri-ciri pemerintahan parlemen yaitu: Dikepalai oleh seorang perdana menteri sebagai kepala pemerintahan sedangkan kepala negara dikepalai oleh presiden/raja. Kekuasaan eksekutif presiden ditunjuk oleh legislatif sedangkan raja diseleksi berdasarkan undang-undang. Perdana menteri memiliki hak prerogratif (hak istimewa) untuk mengangkat dan menyetop menteri-menteri yang memimpin departemen dan non-departemen. Menteri-menteri hanya bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif. Kekuasaan eksekutif bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif. Kekuasaan eksekutif dapat dijatuhkan oleh legislatif. Masa Demokrasi Parlementer (1950-1959) Demokrasi Parlementer atau yang disebut pula dengan demokrasi liberal merupakan salah satu sistem demokrasi yang pernah diterapkan di negara Indonesia. Melihat rentang waktunya, Indonesia menerapkan sistem demokrasi liberal terjadi pada tahun 1950 hingga 1959. Melihat sejarahnya, demokrasi parlementer memiliki kabinet-kabinet sepanjang tahun 1950 hingga 1959. Dalam kabinet-kabinet tersebut mencetak atau telah menulis sejarah yang mewarnai sejarah Republik Indonesia dalam cakupan sejarah demokrasi parlementer di Indonesia. Kabinet-kabinet tersebut, seperti kabinet Natsir, kabinet Sukiman, kabinet Wilopo, kabinet Ali Sastroamidjojo I, kabinet Burhanuddin Harahap, kabinet Ali Sastroamidjojo II, hingga kabinet Djuanda yang terdapat dalam kabinet di masa demokrasi liberal atau parlementer. Baca juga: Indonesia Pada Masa Orde Baru Pemilihan umum 1955 dilaksanakan dalam 2 tahap. Tahap pertama dilaksanakan pada 29 September 1955 dan tahap kedua pada 15 Desember 1955. Pemilu tahap pertama adalah untuk memilih anggota DPR yang berjumlah 250 orang. Pemilu tahap kedua adalah untuk memilih anggota Dewan Konstituante yang akan bertugas untuk membuat Undang-undang Dasar yang tetap, untuk menggantikan UUD Sementara 1950. Gangguan Keamanan pada Masa Demokrasi Parlementer (1950-1959) 1). Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) Gerakan APRA dipimpin oleh Kapten Raymond Westerling. Tujuan gerakan APRA adalah untuk mempertahankan bentuk negara federal di Indonesia dan memiliki tentara tersendiri pada negara bagian RIS. 2). Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) Pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan) dipimpin oleh Mr. Dr. Christian Robert Steven Soumokil yang menolak terhadap pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia 3). Pemberontakan Andi Azis Peristiwa pemberontakan Andi Aziz terjadi pada 5 April 1950. Peristiwa ini berawal dari tuntutan Kapten Andi Aziz dan pasukannya terhadap pemerintah Indonesia agar hanya mereka yang dijadikan sebagai pasukan kemanan untuk mengamankan situasi di Makassar. 4). Pemberontakan PRRI dan Permesta Pemberontakan PRRI/Permesta terjadi di Sulawesi yang disebabkan oleh adanya hubungan yang kurang harmonis antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal itu dikarenakan jatah keuangan yang diberikan oleh pemerintah pusat tidak sesual anggaran yang diusulkan. Hal tersebut menimbulkan dampak ketidakpercayaan terhadap pemerintah pusat. Puncak pemberontakan ini terjadi pada tanggal 10 Februari 1958. Konferensi Asia Afrika (KAA) dan Deklarasi Djuanda 1). Penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA) Konferensi Asia Afrika (KAA) diselenggarakan pada tanggal 18–24 April 1955 di Bandung bermanfaat terhadap dukungan bagi pembebasan Irian Barat yang saat itu masih diduduki Belanda. 2). Deklarasi Djuanda Kabinet Djuanda mendeklarasikan hokum teritorial. Deklarasi tersebut kemudian dikenal sebagai Deklarasi Djuanda. Pengakuan atas Deklarasi Djuanda menyebabkan luas wilayah Republik Indonesia meluas hingga 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km². Penyebab Gagalnya Demokrasi Parlementer 1. Karena seringnya koalisi partai tidak pernah utuh sampai selesai, banyak kabinet pemerintahan di masa demokrasi parlementer jatuh bangun dengan cepat, ditambah partai yang menjadi oposisi sering kali menunjukkan sikap kritik destruktif dengan mengangkat sisi negatif partai penguasa, hal ini menunjukkan bahwa partai politik di Indonesia saat itu belum dewasa. 2. Menurut Miriam Budiardjo dalam bukunya Dasar-Dasar Ilmu Politik demokrasi parlementer di Indonesia dirasa kurang cocok, karena persatuan dan kesatuan diantara elemen kekuatan politik bangsa dan negara menjadi kendor dan sulit untuk dikendalikan. 3. Menurut Miriam demokrasi parlementer di Indonesia telah melahirkan dominasi partai politik dan lembaga legistalif yang justru mendorong politik nasional menjadi tidak tidak stabil. 4. Ketidakstabilan dalam politik nasional Indonesia pada masa demokrasi parlementer disebabkan karena kebanyakan kabinet pemerintahan hanya bertahan selama delapan bulan, hal ini bukan hanya berdampak pada bidang politik, tetapi juga menghambat pertumbuhan ekonomi nasional pada saat itu. 5. Gagalnya anggota Konstituante dalam membentuk suatu undang-undang dasar yang baru bagi Indonesia. Credits Photo: Kompas.com