Pria Betawi asli biasanya memakai sarung bermotif kotak-kotak dengan warna yang lembut, meskipun sebenarnya ada juga motif yang lain.
Kain sarung ini biasa dipakai melingkar di leher atau disampirkan di pundak seperti yang sering kita lihat pada acara-acara adat Betawi atau pada film-film yang menceritakan jagoan silat Betawi seperti Si Pitung atau Abang Jampang.
Disebut juga kain poleng, terbagi menjadi tiga jenis berdasarkan warnanya yaitu rwabhineda (hitam dan putih), sudhamala (putih, abu-abu, hitam), dan tridatu (putih, hitam, merah). Kain ini merupakan bagian dari kehidupan religius umat Hindu di Bali.
Tidak hanya dipakai di tubuh, kain ini juga digunakan sebagai hiasan terutama di pura diantaranya sebagai tedung (payung), umbul-umbul, untuk menghias palinggih (tugu), patung, dan kul-kul (kentongan), dan untuk melilit pepohonan.
Kain ini dipasok dari empat daerah masing-masing Majene, Polewali, Wajo dan Soppeng. Namun, yang terkenal baik lokal maupun mancanegara ialah kain yang berasal dari Wajo karena memiliki corak dan kualitas yang lebih unggul daripada produksi dari daerah lain.
Awalnya kain sarung ini diproduksi secara manual dan tradisional. Namun, karena mengejar waktu, akhirnya beberapa perajin lebih memilih alat tenun mesin daripada alat tenun bukan mesin.
Sarung ini terbuat dari benang sutra yang berasal dari China yang kemudian diolah dan ditenun menjadi kuat dengan menggunakan alat tradisional yang disebut “gedokan” atau menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) dengan memakan waktu sekitar tiga minggu. Kebanyakan perajinnya adalah suku Bugis yang tersebar di kelurahan Baqa dan Masjid.
Awalnya kain ini dipakai di dalam bentuk selendang atau sarung saja, kerap digunakan pada perhelatan resmi atau upacara adat Batak. Warna dominan ulos adalah merah, hitam, dan putih yang dihiasi oleh ragam tenunan dari benang emas atau perak.
Setiap ulos masing-masing mempunyai ‘raksa’ atau sifat, keadaan, fungsi, dan hubungan dengan hal atau benda tertentu. Ulos sangat erat dengan kehidupan orang Batak dan dianggap sebagai pengikat kasih sayang diantara sesama.
Kain sarung yang ditenun dengan tradisional ini terkenal dengan kualitas benangnya yang baik serta kaya motif dan corak yang memiliki nilai seni yang tetap memperlihatkan ciri khas natural berupa motif kembang dan hiasan alam lainnya.
Motif dan corak khas kain ini ialah warnanya timbul dengan corak beragam diantaranya corak kembang, garis-garis, gunungan, hingga corak laut biru dengan tiga bahan kain yaitu sutera, fiber, dan sisir 70.
Kain sarung ini tidak hanya beredar di kawasan Indonesia saja, namun sudah mencapai Afrika dan Timur Tengah. Sarung tenun ini berasal dari desa sederhana bernama desa Troso di Kecamatan Pecangaan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Kain tenun khas Donggala ini memiliki corak yang beragam diantaranya palekat garusu, buya sabe, serta kombinasi bomba dan sabe dengan waktu pengerjaan dua minggu saja. Sementara corak buya bomba merupakan yang paling sulit dengan waktu pengerjaan sekitar dua bulan.
Kain sarung ini dapat ditemukan di sepanjang Limboro, Salu Bomba, Tosale, Towale dan Kolakola di sebelah barat Kota Donggala.
Demikianlah pengertian, asal muasal, serta jenis dan ciri khas kain sarung di Indonesia. Semoga dapat menambah wawasan kita semua.
", "url" : "https://www.utakatikotak.com/tag/contoh-motif-kain-sarung", "publisher" : { "@type" : "Organization", "name" : "utakatikotak.com" } }