SAAT melintas di sejumlah pinggir jalan ibukota Jakarta dua pekan terakhir jelang lebaran, minimal di atas jembatan penyeberangan orang (JPO), di antara banyak para penjual kaki lima yang menggelar dagangannya, dengan mudah ditemukan penjual amplop lebaran. Gambarnya lucu-lucu. Ada yang bergambar ketupat, gambar masjid, tasbih, bunga, ataupun gambar tokoh-tokoh kartun kesukaan anak-anak. Warnanya pun beragam. Dijual dengan harga yang tidak mahal. Hanya Rp.10.000 saja untuk 3 pack amplop lebaran. Tinggal dibeli sesuai dengan kebutuhan jumlah amplop dan jumlah uang yang dimiliki. Bebas dan banyak pilihan. Setiap tahun, semakin mudah menemukan amplop lebaran. Melihat hal ini timbul pertanyaan dalam hati, kenapa banyak penjual amplop jelang lebaran? Tidak cuma di toko dan di warung, tapi juga di pinggir jalan juga? Para penjual amplop yang umumnya bergambar khas nuansa lebaran itu mengambil momen lebaran. Amplop memang ditujukan khusus untuk hari raya Idul Fitri. Lebaran, sudah dikenal dengan adanya bagi-bagi uang. Terutama untuk anak-anak yang datang bertamu ke rumah dalam rangka silahturahmi. Kenangan menerima uang saat berkunjung ke rumah saudara ataupun tetangga hingga dewasa masih teringat. Dulu, rasanya bahagia sekali mendapatkan sejumlah uang setelah berkeliling ikut silahturami lebaran bersama orang tua atau paklik. Ketika saat hendak pamit pulang, si pemilik rumah biasanya mendekati anak-anak. Di tangan pemilik rumah, ada sejumlah uang yang akan langsung berpindah ke tangan anak. Saat itulah rasanya bahagia. Sudah terbayang, jika simpanan di rumah berkah uang lebaran bertambah. Serasa sebentar lagi menjadi orang yang begitu kaya. Seiring dengan waktu, entah kapan mulainya, sekarang jika memberikan uang untuk anak-anak tidak lagi langsung dari tangan ke tangan. Ada amplop-amplop lucu yang isinya uang dari pemilik rumah. Amplop melengkapi tradisi pemberian angpao. Isi Angpao yang Meningkat Tidak ada aturan jumlah uang yang pasti untuk diberikan kepada anak-anak saat silahturahmi hari raya Idul Fitri. Semua terserah keikhlasan dari pemberi. Meski biasanya, ada pemberi di rumah tertentu yang senang memberikan uang dengan jumlah lebih banyak dibandingkan dengan rumah lainnya. Saat masih di sekolah dasar dulu, setiap anak sudah cukup senang saat diberi uang Rp.1000-2000. Sekarang, jumlah seperti itu sering dirasa tidak pantas diberikan. Jumlah amplop pun meningkat. Mungkin dilatari oleh perkembangan harga-harga jajanan yang saat ini pun kian mahal. Saat ini, untuk anak SD bisa sekitar Rp.5000-Rp.10.000. Untuk anak SMP Rp. 20.000-Rp30.000, untuk anak SMA ke atas Rp.50.000. Kalau untuk satu dua anak saja, mungkin tidak apa-apa. Nah, jika yang datang banyak, sudah terbayang jumlah uang yang harus dibagi-bagikan kepada anak-anak. Saat lebaran, anak-anak senang karena punya banyak uang, sedangkan bagi yang sudah bekerja dan sebagai pihak pemberi tentu harus memiliki persediaan uang yang cukup banyak. Bahkan bila pulang kampung, dana angpau yang yang harus disiapkan harus dalam jumlah lebih besar lagi. Kenapa? Karena harus memberikan pada orang-orang tua atau orang-orang yang dianggap perlu diberikan angpau. Makanya, saat lebaran berlalu banyak yang merasa kehabisan uang. THR sudah lenyap tak bersisa. Mendidikah Angpao? Saya pernah merasa bahagia sekali saat SD, begitu tahu uang yang saya kumpulkan dari ikut bersilahturahmi ke beberapa tempat ternyata jumlahnya cukup besar. Saya bisa membeli sesuatu yang sudah lama saya inginkan dari uang itu. Saya bisa membeli buku-buku cerita di toko buku gramedia. Tahun lalu, keponakan saya malah bisa memberi smartphone dari uang amplop lebaran yang terkumpul. Memang bukanlah yang mahal karena hanya cukup untuk kelas low end di bawah Rp. 1 juta. Namun, bocah SMP itu senangnya bukan main saat bisa memiliki hape seperti kawan-kawannya. Mungkin contoh yang dikemukakan terdengar konsumtif, tapi menurut saya, pemberian angpao lebaran itu cukup baik karena sebagai bentuk berbagi keberkahan. Memberi uang lebaran itu tidak apa-apa, bila : 1. Mengajarkan berbagi Berbagi itu indah. Meski nilainya tidak seberapa, sebuah pemberian terkadang merupakan suatu hal yang bisa membahagiakan. Dalam silahturahmi lebaran, tidak semua yang datang adalah anak-anak dari kerabat atau saudara yang memiliki kehidupan berada atau mencukupi. Lebaran, merupakan saat bagi mereka untuk memiliki sedikit uang lebih. Memang ada yang menerapkan pemberian uang berdasarkan prestasi beribadah selama bulan puasa. Namun menurut saya, hal itu hanya bisa berlaku pada keluarga inti atau keluarga yang sangat dekat. Untuk keluarga yang bersilahturahmi jarang-jarang, apalagi hanya bertemu saat lebaran saja, lebih baik menerapkan sesuai dengan jenjang pendidikan saja jumlah uang yang diberikan. Asumsinya semakin tinggi sekolah, kebutuhan pendidikan dan lainnya semakin banyak. Misalnya anak SD pasti beda jumlahnya dengan anak SMA. 2. Mengajarkan anak merencanakan uang Saat lebaran, anak memiliki uang yang lebih banyak dibandingkan dengan hari-hari yang biasa diterimanya. Dari uang yang diterimanya itu, anak bisa diajarkan mengenai perencanaan uang. Anak diajarkan untuk membagi-bagi uang yang dimiilikinya sesuai dengan kebutuhan dan keinginan. Uang yang didapat bisa digunakan untuk menabung, membantu orang tua untuk membeli keperluan sekolah, atau tambahan ongkos sekolah. Nah, kalau yang didapatkan banyak bisa juga untuk membeli yang sudah lama diinginkan, seperti keponakan saya itu. 3. Mengajarkan Bersedekah Setelah mendapatkan angpao lebaran berapapun jumlahnya, anak diminta untuk menyisihkan sebagian uang yang diterima sebagai bentuk amal. Istilahnya, setelah sebagai pihak penerima, anak diajarkan naik status sebagai pihak pemberi. Uang yang diambil sebagian dari uang lebaran disumbangkan kepada yang tidak mampu atau dimasukkan ke dalam kotak amal yang ada Para Pemburu Angpao Tidak dipungkiri meski mengandung nilai positif, saat lebaran terkadang ada para bocah pemburu angpao yang memang sengaja datang dari rumah ke rumah. Pernah, lebaran tahun lalu tiba-tiba datang sejumlah anak ke rumah. Semuanya tidak dikenal karena mereka tidak tinggal di lokasi tempat tinggal yang berbeda. Keinginan mereka sudah bisa ditebak, mengharapkan adanya uang yang dibagikan kepada mereka usai berkunjung. Nah menurut saya, pemberian angpao menjadi tidak tepat, jika : 1. Semata-mata mengejar uang yang akan didapat dari rumah ke rumahMengalahkan niat bersilahturahmi itu sendiri. Tradisi pemberian uang saat lebaran bukanlah untuk mengajarkan anak-anak menjadi orang yang suka meminta. Anak-anak yang baik, biasanya tidak pernah meminta sesuatu kepada orang lain begitu saja. 2. Bertujuan untuk pamer Saat mendapatkan angpao lebaran, uang yang diperoleh anak biasanya cukup banyak. Jika jumlah itu dibanding-bandingkan dengan yang lain untuk memperlihatkan siapa yang mendapatkan paling banyak, sudah pasti sangat tidak baik. 3. Tidak diajarkan Bersedekah Jika uang yang diterima selama lebaran hanya untuk keperluan jajan, senang-senang, ataupun hal-hal lain tanpa ingat meberikan sebagian kepada orang lain yang membutuhkan, tentu saja tidak bagus. Harus ada unsur edukasi kepada anak untuk bersedekah. 4. Bangkrut karena angpao lebaran Meskipun sudah menjadi tradisi, pemberian angpao lebaran menjadi tidak baik jika pihak pemberi menjadi bangkrut atau tidak punya uang sama sekali gara-gara angpao lebaran. Karena itu, pemberi angpao sebaiknya tidak memaksakan diri untuk memberikan uang dalam jumlah yang besar. Seadanya saja, sesuai dengan yang dimiliki. *** Mendapatkan uang lebaran setelah bersilahturahmi pasti sangat menyenangkan. Memang, saat ini posisi saya tak lagi sebagai penerima karena bukan anak-anak lagi. Menjelang lebaran, salah satu persiapan yang dilakukan adalah menyediakan uang dalam bentuk nominal antara Rp5.000-Rp50.000. Ini untuk memudahkan bila ada yang berkunjung ke rumah membawa anak-anak kecil. Menarik sisi positif pemberian angpao lebaran, ada berkah hari raya yang bisa dibagikan dan membuat tarikan senyum di wajah anak yang menerima. Anggaplah sebagai langkah untuk terus ingat berbagi di bulan-bulan lainnya, agar orang lain merasa bahagia. Tak bisa dipungkiri, angpao lebaran, pemberi kebahagiaan di hari Idul Fitri.