Batik bukan satu-satunya warisan budaya yang patut dibanggakan dari Indonesia. Ada banyak kain tradisional lain, termasuk tenun ikat khas Nusa Tenggara Timur (NTT) yang makin populer. Pembaca acara Najwa Shihab adalah salah satu yang ikut memopulerkannya. Saat membawakan Mata Najwa kerap kali mengenakan pakaian bernuansa tenun ikat NTT. Masing-masing motif adalah ciri daerah asal kain, mulai dari Ende, hingga Sumba. Tenun ikat Ende, sama halnya seperti kain tradisional lain memiliki cerita di balik setiap guratan motifnya. Proses pembuatannya pun bukan dalam sekejap. Layaknya perempuan mengandung, 9 bulan lamanya. Pertama-tama kapas yang dimiliki para penenun terlebih dahulu harus dipintal hingga menjadi gulungan benang panjang. Alat yang digunakan pun masih sangat tradisional. Misalnya seperti tenun ikat Lio. Tenun Lio menjadi salah satu produk tenun ikat yang menarik untuk diperhatikan. Ekspresi kehidupan nenek moyang di zaman dahulu tergambar dalam motif kain tenun Lio. Seorang tokoh budaya Ndona, Jailani Aksa, yang mengetahui betul berbagai makna motif Lio menceritakan bahwa motif tenun ikat Lio sebenarnya menceritakan segala bentuk kehidupan masyarakat pada zaman dulu. Ada juga motif gajah yang dipercaya masyarakat lokal sebagai hewan kesayangan para dewa. Selain itu ada pula kain yang berhiaskan motif-motif mirip huruf kanji. Kain itu juga menggambarkan jejak para pendatang dari Indonesia-Tiongkok ke Tanah Flores, NTT. Coraknya yang halus namun padat karena terdiri dari motif dan ragam hias menjadi keunikan lain dari tenun ikat Ende. Cerita tersebut juga ditampilkan menjadi objek wisata dan edukasi di Museum Tenun Ikat Kabupaten Ende. Museum ini terletak di jalan Mohamad Hatta, kira-kira 100 meter dari taman kota dan bersebelahan dengan museum bahari dan berbentuk rumah adat, di sini dapat dilihat langkah-langkah pembuatan tenun secara mendetail. Dipajang pula peralatan menenun secara lengkap. Alat-alat yang digunakan untuk membuatan motif (tege), alat-alat yang digunakan untuk tenun dan masih bersifat tradisional seperti Woe, Ogo, Ngewi, kaka, Sisir, Kabhe, Keke, Ngewi dan juga dipajang beberapa jenis sarung yang sudah tua usianya. Pada masanya, sarung-sarung tersebut dibuat masih secara tradisional, baik obat pewarnaan seperti menggunakan akar atau batang mengkudu dan daun tarum. Sayangnya, kecantikan kain ikat Ende yang sarat akan cerita terancam punah di tanah asalnya. Meskipun sebenarnya sudah banyak perancang Indonesia yang tertarik untuk menjadikan tenun ikat Ende sebagai bahan pakaian rancangannya. Namun, sayangnya motif yang tersedia sering kali dianggap tak sesuai dengan selera pasar. Para perancang juga tak jarang meminta langsung agar para penenun membuat motif kain baru. Kendalanya, pembuatan kain tenun ikat Ende masih sangat terpaku pada pakem-pakem tradisional yang penuh mitos leluhur yang harus mereka taati. Untuk itu beberapa saat lalu, digelar pameran 'Pesona Kain & Budaya Ende' di Museum Tekstil, Jakarta Pusat, Rabu (15/12/2016). Selain pameran, juga digelar pelelangan kain, busana berbahan tenun Ende rancangan desainer Musa Widiatmodjo, serta lukisan. Dana hasil pelelangan akan disumbangkan untuk mendukung program revitalisasi Museum Tenun Ikat Ende dan pemberdayaan perajinnya.