Rafflesia merupakan bunga sekaligus tanaman parasit terbesar di dunia. Tidak cuma ukurannya yang istimewa, bunga raksasa ini juga merupakan tumbuhan paling modern karena karena daur hidupnya berbeda dengan tumbuhan pada umumnya. Sofi Mursidawati, seorang peneliti LIPI, mengibaratkan tumbuhan ini seperti simpanse yang kecerdasannya di atas rata-rata hewan pada umumnya. Apalagi mengingat rafflesia merupakan tanaman parasit sempurna yang murni menggantungkan hidupnya pada tanaman inang, tanpa bisa melakukan fotosintesis untuk memproduksi makanannya sendiri. Ia memiliki haustrorium atau sejenis akar berupa serabut yang berfungsi menyerap nutrisi dari inangnya. Rafflesia menerapkan sejumlah strategi agar bisa bertahan hidup melewati evolusi selama jutaan tahun dan eksis sampai sekarang. Salah satunya, pembatasan populasi demi menjaga kelangsungan hidup inangnya yang secara tidak langsung juga menjaga kelangsungan hidupnya sendiri. Pada Rafflesia patma, dari sekitar 30 kuncup bunga yang tumbuh pada tanaman inang, hanya satu atau dua yang berhasil hidup dan mekar sebagai bunga. Sementara pada Rafflesia arnoldii yang ukurannya jauh lebih besar, kuncup bunganya bahkan tidak sampai 10 buah. Bibit yang berhasil tumbuh menjadi kuncup belum tentu bisa bertahan sampai mekar. Kebanyakan mati di tengah jalan lantaran kekurangan nutrisi dan air, atau dimangsa hewan pengerat. Berbagai karakteristik lain yang menyertai tumbuhan ini pun merupakan bagian dari strategi untuk membatasi populasinya dan melindungi dirinya dari kepunahan. Misalnya jumlah bunga jantan dan betina yang tak seimbang dan nyaris tak pernah mekar pada saat bersamaan. Di habitat aslinya di Pangandaran, bunga Rafflesia patma yang tumbuh kebanyakan berkelamin jantan, sedangkan di Kebun Raya Bogor justru betina. Waktu mekarnya cuma beberapa hari kemudian layu dan busuk. Masa penyerbukannya pun teramat singkat, sekitar 8 jam. “Ada banyak bottle neck dalam proses daur hidup rafflesia yang membuat peluang terjadinya penyerbukan sangat kecil.” Bottle neck bukan hanya terdapat pada rafflesia sendiri, melainkan juga inangnya. Rafflesia hanya mau hidup pada inang tertentu. Masih ada syarat lain. Si inang harus mengeluarkan hormon tertentu yang kemudian ditangkap biji rafflesia pada proses inokulasi biji ke inang agar ia bisa hidup. “Misalkan inangnya lagi enggak mood dan tidak mengeluarkan hormone, maka enggak bisa,” kata Sofi. Kerepotan lain adalah soal serangga. Sebab proses penyerbukan ini cuma bisa dibantu oleh lalat jenis tertentu yang memiliki daya jelajah puluhan kilometer.