Integrasi adalah proses penyatuan, atau proses untuk membuat sesuatu menjadi utuh kembali. Proses integrasi akan melahirkan satu kekuatan bangsa yang ampuh untuk bersama-sama menghadapi segala persoalan yang timbul. Proses integrasi bangsa Indonesia mengalami kemajuan sejak proses Islamisasi. Misalnya, Ulama-ulama dari Minangkabau sudah berhasil mengislamkan saudara-saudara masyarakat Sulawesi. Baca juga: Akulturasi dan Perkembangan Budaya Islam Integrasi suatu bangsa merupakan suatu proses historis yang panjang. Integrasi terjadi dalam suatu proses yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor integrasi nusantara Terdapat tiga faktor yang memengaruhi proses integrasi nusantara yaitu: a. Peran para ulama Ulama menduduki posisi penting dalam masyarakat Islam tidak hanya sebagai figur ilmuan yang menguasai dan memahami ajaran-ajaran agama, tetapi juga sebagai penggerak, motivator dan dinamisator masyarakat ke arah pengembangan dan pembangunan umat. Peranan para ulama dalam proses integrasi Nusantara antara lain mengajarkan kebersamaan dan mengembangkan toleransi dalam kehidupan beragama. Melalui para Ulama Islam mengajarkan persaman dan tidak mengenal kasta dalam kehidupan masyarakat. b. Peran perdagangan antarpulau Pelayaran dan perdagangan antarpulau di kawasan Nusantara merniliki peran penting dalam proses integrasi bangsa Indonesia. Perdagangan antarpulau dengan pelayaran menimbulkan pergaulan dan hubungan kebudayaan antara para pegadang dengan penduduk setempat. Awalnya penduduk di suatu pulau cukup memenuhi kebutuhan hidup dengan komoditas yang ada. Pada perkembangannya, mereka ingin mendapatkan barang-barang dari pulau lain. Untuk memenuhi kebutuhan, terjadi hubungan perdagangan antarpulau. Proses integrasi itu juga diperkuat dengan berkembangnya hubungan kebudayaan. Bahkan juga ada yang diikuti dengan perkawinan. Baca juga: Jaringan Keilmuan di Nusantara (Islamisasi dan Silang Budaya) Kelas 10 c. Peran bahasa Faktor pemersatu dari segi bahasa adalah bahasa Melayu. Bahasa Melayu diadopsi sebagai lingua franca para penyiar Islam, ulama dan pedagang. Pada mulanya bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa dagang. Akan tetapi lambat laun bahasa Melayu tumbuh menjadi bahasa perantara dan menjadi bahasa pergaulan di seluruh Kepulauan Nusantara. Kedudukan bahasa Melayu menjadi semakin kuat ketika bahasa Melayu ditulis dengan aksara Arab. Serta para ulama menulis banyak karya dengan bahasa Melayu berhuruf Jawi. Sehingga, tulisan Jawi menjadi alat komunikasi dan dakwah tertulis bagi masyarakat Melayu-nusantara. Sebelum kedatangan Islam, bahasa Melayu digunakan hanya di lingkungan etnis terbatas. Yaitu suku bangsa Melayu di Palembang, Riau, Deli (Sumatera Timur), dan Semenanjung Malaya.