<p style='text-align:justify'><span style='color:#000000'><img src='https://cf.dvh.bz/library/3/5/0/4/0/35040_840x576.jpg' style='height:274px; width:400px' /></span></p> <p style='text-align:justify'><span style='color:#000000'>Ilustrasi keong (Pixabay)</span></p> <p style='text-align:justify'><span style='color:#000000'>Peneliti moluska atau Malacologist dari Lembaga </span><a href='https://www.arah.com/tags/31781/Ilmu-Pengetahuan.html' target='_BLANK'><span style='color:#000000'>Ilmu Pengetahuan</span></a><span style='color:#000000'> </span><a href='https://www.arah.com/tags/21329/Indonesia.html' target='_BLANK'><span style='color:#000000'>Indonesia</span></a><span style='color:#000000'> (LIPI) dan Centrum fu?r Naturkunde (CeNak), Universita?t Hamburg, Jerman, menemukan 16 spesies baru keong darat <em>Landouria</em> asal Pulau Jawa. Penemuan tersebut dipublikasikan dalam <em>Revision of the land snail genus Landouria Godwin-Austen, 1918 (Gastropoda, Camaenidae) from Java </em>yang<em> </em>diterbitkan oleh <em>European Journal of Taxonomyedisi</em> Mei 2019.</span></p> <p style='text-align:justify'><span style='color:#000000'>Peneliti moluska dari Pusat </span><a href='https://www.arah.com/tags/12718/Penelitian.html' target='_BLANK'><span style='color:#000000'>Penelitian</span></a><span style='color:#000000'> Biologi LIPI Ayu Savitri Nurinsiyah yang menemukan spesies baru ini mengatakan penelitian dilakukan terhadap spesimen yang menjadi koleksi beberapa museum di dunia, seperti Natural History </span><a href='https://www.arah.com/tags/29216/Museum.html' target='_BLANK'><span style='color:#000000'>Museum</span></a><span style='color:#000000'> of </span><a href='https://www.arah.com/tags/20813/London.html' target='_BLANK'><span style='color:#000000'>London</span></a><span style='color:#000000'> di Inggris, Naturalis Biodiversity Center di Belanda, Senckenberg </span><a href='https://www.arah.com/tags/29216/Museum.html' target='_BLANK'><span style='color:#000000'>Museum</span></a><span style='color:#000000'> of </span><a href='https://www.arah.com/tags/6788/Frankfurt.html' target='_BLANK'><span style='color:#000000'>Frankfurt</span></a><span style='color:#000000'> dan Zoological </span><a href='https://www.arah.com/tags/29216/Museum.html' target='_BLANK'><span style='color:#000000'>Museum</span></a><span style='color:#000000'> of the University of </span><a href='https://www.arah.com/tags/23655/Hamburg.html' target='_BLANK'><span style='color:#000000'>Hamburg</span></a><span style='color:#000000'> di Jerman, serta </span><a href='https://www.arah.com/tags/29216/Museum.html' target='_BLANK'><span style='color:#000000'>Museum</span></a><span style='color:#000000'> Zoologicum Bogoriense di Indonesia.</span></p> <p style='text-align:justify'><span style='color:#000000'>Selain dari museum, penelitian juga dilakukan terhadap koleksi keong darat <em>Landouriadari</em> penemuan lapangan di Jawa tahun 2013-2015.</span></p> <p style='text-align:justify'><span style='color:#000000'>“Kalau (koleksi) museum, yang paling lama koleksi tahun 1889. Koleksinya A. Strubell dari </span><a href='https://www.arah.com/tags/23300/Gunung.html' target='_BLANK'><span style='color:#000000'>Gunung</span></a><span style='color:#000000'> Salak. Sekarang tersimpan di Senckenberg </span><a href='https://www.arah.com/tags/29216/Museum.html' target='_BLANK'><span style='color:#000000'>Museum</span></a><span style='color:#000000'> of </span><a href='https://www.arah.com/tags/6788/Frankfurt.html' target='_BLANK'><span style='color:#000000'>Frankfurt</span></a><span style='color:#000000'> (SMF), Jerman,” ujarnya saat dihubungi Antara di Jakarta, Jumat (31/5/2019).</span></p> <p style='text-align:justify'><span style='color:#000000'>Dari hasil penelitian yang dilakukan bersama Marco Neiber dan Bernhard Hausdorf, Malacologist dari Centrum fu?r Naturkunde (CeNak), Universita?t Hamburg, </span><a href='https://www.arah.com/tags/21308/Jerman.html' target='_BLANK'><span style='color:#000000'>Jerman</span></a><span style='color:#000000'> ini, menurut Ayu, sebetulnya merevisi satu genus di Jawa bernama <em>Landouria</em>.</span></p> <p style='text-align:justify'><span style='color:#000000'>“Dalam melakukan revisi sistematika, penelitian ini menerapkan pendekatan integratif yang menggabungkan pemeriksaan morfologi cangkang, karakter genitalia, dan DNA,” kata Ayu.</span></p> <p style='text-align:justify'><span style='color:#000000'>Sehingga jika berdasarkan karakter morfologi cangkangnya ia mengatakan diketahui dari yang awalnya hanya tujuh spesies yang terungkap di Jawa, setelah ditelaah lebih mendalam dengan <em>examination </em><em>genitalia </em>dan<em> </em>DNA ternyata jumlahnya menjadi 28.</span></p> <p style='text-align:justify'><span style='color:#000000'>“Dari enam spesies <em>Landouria</em> yang diungkap oleh van Benthem Jutting (1950) dan satu spesies oleh Bunjamin Dharma (2015), kami berhasil mendeskripsi kembali 28 spesies di Jawa, 16 di antaranya adalah spesies baru dalam ilmu pengetahuan,” ujar dia.</span></p> <p style='text-align:justify'><span style='color:#000000'>Lebih lanjut Ayu mengatakan 16 spesies tersebut di antaranya adalah <em>Landouria parahyangensis</em> yang dinamakan berdasarkan area sebaran spesies tersebut yaitu di </span><a href='https://www.arah.com/tags/16218/tanah.html' target='_BLANK'><span style='color:#000000'>tanah</span></a><span style='color:#000000'> Sunda (Parahyangan). Sementara <em>Landouria petrukensis</em> diberi </span><a href='https://www.arah.com/tags/11446/nama.html' target='_BLANK'><span style='color:#000000'>nama</span></a><span style='color:#000000'> Petruk karena hanya ditemukan di kawasan Gua Petruk, Kebumen, Jawa Tengah.</span></p> <p style='text-align:justify'><span style='color:#000000'>“Sedangkan <em>Landouria abdidalem</em> terinspirasi dari </span><a href='https://www.arah.com/tags/151/abdi-dalem.html' target='_BLANK'><span style='color:#000000'>abdi dalem</span></a><span style='color:#000000'> Keraton </span><a href='https://www.arah.com/tags/20902/Yogyakarta.html' target='_BLANK'><span style='color:#000000'>Yogyakarta</span></a><span style='color:#000000'> di mana spesies tersebut ditemukan di Provinsi Yogyakarta,” ujar Ayu.</span></p> <p style='text-align:justify'><span style='color:#000000'>Sementara spesies-spesies lainnya masing-masing diberi nama <em>Landouria naggsi, Landouria nusakambangensis, Landouria tholiformis, Landouria tonywhitteni, Landouria madurensis, Landouria sewuensis, Landouria sukoliloensis, Landouria nodifera, Landouria pacitanensis, Landouria zonifera, Landouria pakidulan, Landouria dharmai, dan Landouria menorehensis.</em></span></p> <p style='text-align:justify'><span style='color:#000000'>Ayu menjelaskan hasil penelitian mengungkapkan bahwa <em>Landouria</em> merupakan keong darat yang memiliki keanekaragaman spesies tinggi di Jawa. Sebagian besar adalah hewan endemik atau hanya memiliki sebaran di daerah-daerah tertentu di Jawa.</span></p> <p style='text-align:justify'><span style='color:#000000'>“Keanekaragaman spesies <em>Landouria</em> tertinggi sebanyak 19 spesies terdapat di dataran rendah di bawah 500 mdpl. Keragaman tersebut berkurang dengan meningkatnya ketinggian,” ujar Ayu.</span></p> <p style='text-align:justify'><span style='color:#000000'>Menurut Ayu, hanya lima spesies yang tercatat berada pada ketinggian di atas 1000 mdpl, dan hanya dua spesies yang diketahui memiliki sebaran hingga ketinggian di atas 2000 mdpl. “Karena sebaran yang terbatas inilah, hewan endemik seperti <em>Landourias</em> terhadap ancaman kepunahan.”</span></p> <p style='text-align:justify'><span style='color:#000000'>“Ternyata di Jawa itu hampir di tiap gunung, atau lokasi </span><a href='https://www.arah.com/tags/8928/karst.html' target='_BLANK'><span style='color:#000000'>karst</span></a><span style='color:#000000'> (kapur) memiliki jenis <em>Landouria</em> yang berbeda. Dan masih ada kemungkinan bertambah jenis barunya, karena saya belum koleksi ke semua gunung di Jawa,” kata Ayu.</span></p> <p style='text-align:justify'><span style='color:#000000'>Peneliti yang baru bergabung dengan LIPI tahun 2018 ini mengatakan beberapa spesies keong darat yang baru terungkap tersebut masih banyak ditemukan di habitat aslinya.</span></p> <p style='text-align:justify'><span style='color:#000000'>“Tapi ada dua spesies yang saya kurang tahu dia masih ada atau tidak. Karena ditemukan dari koleksi lama </span><a href='https://www.arah.com/tags/29216/Museum.html' target='_BLANK'><span style='color:#000000'>Museum</span></a><span style='color:#000000'> Zoologicum Bogoriense yang ada di LIPI dan Zoologisches </span><a href='https://www.arah.com/tags/29216/Museum.html' target='_BLANK'><span style='color:#000000'>Museum</span></a><a href='https://www.arah.com/tags/2734/Amsterdam.html' target='_BLANK'><span style='color:#000000'>Amsterdam</span></a><span style='color:#000000'> (sekarang koleksinya ada di Naturalis, Leiden). Sedangkan satu spesies di antaranya malah koleksi tahun 1927-1932,” kata Ayu.</span></p> <p style='text-align:justify'><span style='color:#000000'>Dia mengungkapkan perubahan dan kehilangan habitat merupakan salah satu contoh ancaman yang sedang dihadapi oleh <em>Landouriadi</em> Jawa.</span></p> <p style='text-align:justify'><span style='color:#000000'>“Yang dikhawatirkan adalah mereka sudah keburu </span><a href='https://www.arah.com/tags/7555/hilang.html' target='_BLANK'><span style='color:#000000'>hilang</span></a><span style='color:#000000'> sebelum ditemukan. Kan sedih”.</span></p> <p style='text-align:justify'><span style='color:#000000'>Terkait adanya perizinan eksplorasi dan eksploitasi karts yang banyak menjadi habitat keong darat <em>Landouria</em> ini, dia hanya menduga mereka yang berperan mengambil </span><a href='https://www.arah.com/tags/25731/kebijakan.html' target='_BLANK'><span style='color:#000000'>kebijakan</span></a><span style='color:#000000'> bimbang untuk memilih antara memanfaatkan sumber daya untuk memasok kebutuhan pembangunan negara ataukah lebih baik menyelamatkan keanekaragaman hayati Indonesia.</span></p> <p style='text-align:justify'><span style='color:#000000'>Karena itu, lanjut dia, konservasi dan pengungkapan keanekaragaman hayati </span><a href='https://www.arah.com/tags/21329/Indonesia.html' target='_BLANK'><span style='color:#000000'>Indonesia</span></a><span style='color:#000000'> sangat penting dan mendesak untuk dilakukan.</span></p>