Pernahkah Anda bertanya-tanya berapa skor IQ Anda? Untuk mengetahui skor tes IQ Anda secara pasti, tentu bukan sekadar mengikuti tes gratis di Internet. Tes-tes macam ini tidak memberikan gambaran nyata tentang kemampuan Anda sebenarnya. Untuk itu, Anda perlu mendaftarkan diri untuk mengikuti tes IQ resmi yang disediakan oleh lembaga/organisasi psikologi resmi. Sebelum memantapkan hati untuk berkutat dengan lembar jawaban, ada beberapa hal yang perlu Anda tahu soal tes IQ. Fakta-fakta menarik seputar tes IQ yang perlu Anda tahu 1. Tes IQ tak hanya untuk mengetahui soal pintar atau tidaknya seseorang Tes IQ adalah hasil angka statistik untuk menunjukkan kemampuan relatif dan komparatif seseorang yang dapat digunakan untuk memperoleh keterampilan akademik dan pengetahuannya. Anda memiliki ratusan kemampuan mental tertentu. Beberapa dari kemampuan ini dapat diukur secara akurat, sehingga pengukuran ini dapat menjadi tolak ukur yang dapat diandalkan untuk menilai prestasi akademik individu. Tes ini mengukur kemampuan kognitif seseorang lewat empat bidang kecerdasan: pemahaman verbal, penalaran persepsi (visual-spasial dan auditori), memori kerja (termasuk memori jangka pendek), dan kecepatan pemrosesan informasi/pertanyaan. Keempat bidang ini dikenal berkorelasi sangat baik dengan kemampuan manusia lainnya. Seberapa tinggi skor Anda di salah satu kemampuan yang diukur, semakin tinggi pula ekspektasi performa Anda dalam melakukan kemampuan mental lain yang tak dapat diukur. Sebuah tes IQ yang baik juga harus memungkinkan pesertanya untuk dapat memelajari informasi baru. 2. Hasil tes IQ tak selalu tepat mencerminkan kualitas hidup Anda yang sebenarnya Skor IQ yang lebih tinggi bukan jaminan bahwa seorang individu akan mencapai kebahagiaan, menjaga kewarasan, atau mendapatkan kesejahteraan rohani. Begitu pula dengan skor IQ yang lebih rendah; tidak berarti bahwa seorang individu tidak akan berhasil secara finansial, emosional, atau moral. Ada orang-orang yang ber-IQ tinggi, seperti Einstein (190), Stephen Hawking (160), hingga Christopher Hirata dan Terence Tao yang memiliki skor IQ mencapai 225. Dan sebaliknya, ada juga individu yang pada teorinya termasuk golongan orang-orang cerdas amun memiliki kecerdasan “normal”. Hampir semua tugas manusia biasa hanya memerlukan seorang individu untuk memiliki skor IQ hanya 50 atau sedikit lebih tinggi. Meski nilai 50 pada teorinya menunjukkan bahwa individu tersebut membutuhkan metode pendidikan khusus dan menghabiskan lebih banyak waktu untuk belajar, perlu dicatat bahwa orang antara 50 dan 75 IQ biasanya bisa mendapatkan lisensi mengemudi, bisa sukses di 71% dari semua pekerjaan, dapat memiliki anak dengan IQ normal atau lebih di atas, dan umumnya dapat cukup mampu hidup sukses. Sejarah dunia penuh dengan kisah-kisah manusia dari kemampuan intelektual terbatas yang mampu membuahkan pemikiran atau tindakan paling penting untuk umat manusia. Dan sebaliknya, individu yang sangat cerdas pun ada yang tidak mampu untuk menjalankan tugas sesederhana menjadi manusia yang bisa memberikan dampak positif pada sesamanya. 3. Semakin cerdas hasil tes IQ, semakin tinggi risiko gangguan mental Jika Anda pernah menonton film A Beautiful Mind yang dibintangi Russell Crowe, sebuah biografi yang menceritakan kehidupan John Nash, peraih Nobel dalam bidang ekonomi, maka Anda akan ingat tragedi seorang ahli matematika terkenal yang berjuang menghadapi skizofrenia. David Foster Wallace, intelektual terkenal lain untuk karya-karya tulisannya, berjuang dengan depresi selama lebih dari 20 tahun — ia bunuh diri pada tahun 2008. Tren dari penyakit mental di kalangan intelektual juga tercatat dalam sejarah dunia yang mencatut nama-nama seperti Abraham Lincoln, Isaac Newton, dan Ernest Hemingway. Studi tentang gen yang bertanggung jawab untuk menyandi protein pengikat kalsium, disebut kalsium neuronal sensor-1 (NCS-1), telah menemukan bahwa gen juga bertanggung jawab untuk plastisitas sinaptik, yang merupakan kekuatan hubungan saraf yang berdasarkan pada seberapa aktif hubungan tersebut. Kebetulan, penelitian juga menunjukkan bahwa peningkatan jumlah reseptor NCS-1 telah dikaitkan dengan skizofrenia dan gangguan bipolar. Ini bisa menunjukkan bahwa semakin kuat plastisitas — artinya orang tersebut lebih cerdas — juga berarti peluang yang lebih tinggi untuk mengalami penyakit mental. Dalam studi lain, dari tahun 2005, para peneliti menemukan bahwa orang yang menghasilkan performa terbaik pada tes matematika juga lebih cenderung memiliki gangguan bipolar.