Affandi adalah seorang pelukis ekspresionis yang terkenal melalui teknik khas menumpahkaan cat dari tube-nya langsung pada kanvas, kemudian menyapukan sebagian cat dengan jari-jarinya. Affandi menyebut dirinya sendiri sebagai “Pelukis Kerbau” yang tak mau baca teori. Namun dalam perjalanan karirnya ia tetap mampu memahami dan menggeluti bidang seni rupa. Ia lebih senang mempelajari sesuatu dengan cara langsung terjun ke lapangan.
Affandi koesoema adalah seorang seniman lukis terkenal indonesia yang beraliran Ekspresionisme. Aliran Ekspresionisme adalah aliran yang mengusung ide bahwa seni muncul dari dalam diri seniman, bukan dari penggambaran alam dunia disekitarnya. Meskipun asalnya tetap dari alam disekitarnya, namun seniman memiliki ingatan dan cara pandang tersendiri yang kemudian diekspresikan pada karyanya. Seniman ekspresionis lebih fokus pada ekspresi tersebut dan menghiraukan berbagai teori dan teknik penciptaan. Terdengar tidak mengherankan jika Affandi dilansir sebagai seniman ekspresionis yang hebat, karena gaya berkeseniannya sendiri memang sudah seperti itu.
Biografi Affandi
Affandi lahir di Cirebon, Hindia Belanda pada tahun 1907, putra dari R. Koesoema yang berprofesi sebagai mantri ukur di pabrik gula Ciledug. Affandi lahir pada saat Indonesia masih dibawah kekuasaan Belanda, sehingga sulit bagi keturunan pribumi biasa untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi. Affandi hanya menyelesaikan pendidikannya hingga AMS (Algemene Middelbare School) setara dengan SMA.
Awal Karir
Affandi telah gemar menggambar dari semasa kecilnya. Affandi juga telah memperlihatkan bakat seni-nya dari semenjak sekolah dasar. Namun ia baru benar-benar menggeluti dunia seni lukis di sekitar 1940-an. Sulit bagi Affandi untuk memperoleh pekerjaan seni di masanya, masa dimana Indonesia masih dikuasai oleh Belanda.
Awal karir Affandi diawali dengan menjadi seorang guru dan juru sobek karcis. Karena lebih tertarik pada bidang seni lukis ia juga sempat menjadi penggambar reklame bioskop di salah satu bioskop di Bandung. Namun pekerjaan tersebut tidak lama digelutinya.
Selain tidak mendapatkan pendidikan formal, Affandi juga bukan tipikal orang yang gemar membaca. Ia lebih senang mempelajari berbagai hal dengan terjun langsung mengpraktikannya. Hal ini dapat dilihat dengan aktifnya seniman yang satu ini dalam berbagai kegiatan organisasi selama masa hidupnya.
Kelompok Lima Bandung
Pada tahun 1930 ia bergabung dengan kelompok Lima Bandung, yaitu kelompok lima orang pelukis yang berada di Bandung. Sekumpulan orang yang semuanya memiliki andil besar dalam perkembangan seni rupa Indonesia. Lima pelukis tersebut adalah: Barli Sasmitawinata, Sudarso, Hendra Gunawan, Wahdi dan Affandi sebagai pimpinan kelompok tersebut. Dapat dilihat meskipun Affandi adalah tipikal orang yang tidak suka belajar teori, ia adalah praktisi yang handal dalam berorganisasi hingga dipercaya sebagai pimpinan kelompok.
Kelompok Lima Bandung memiliki pengaruh yang lumayan besar dalam perkembangan seni rupa di Indonesia. Namun berbeda dengan kelompok serupa lainnya, Lima Bandung lebih fokus terhadap kegiatan melukis dan belajar bersama antar pelukis. Tidak se-formal kelompok lain seperti Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia). Kegiatan tersebut sangat cocok untuk Affandi yang kurang menyukai pendidikan formal namun tetap dapat belajar dan saling memberikan pengaruh satu sama lain antar seniman.
Pameran Tunggal Pertama
Tahun 1943, Affandi berhasil menggelar pameran tunggal pertamanya di Gedung Poetera Djakarta. Saat itu Jepang sedang menduduki kekuasaan Indonesia, setelah berhasil merebut kekuasaan Belanda. Empat Serangkai proklamator kemerdekaan Indonesia yang terdiri dari Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyur ikut ambil bagian dalam pameran tersebut.
Mereka memimpin Seksi Kebudayaan Poetera, atau Poesat Tenaga Rakyat. Dalam Seksi Kebudayaan tersebut Affandi juga ikut berpartisipasi sebagai tenaga pelaksana. Tokoh penting Indonesia lain, yaitu S. Soedjojono juga ikut andil sebagai penanggung jawab, Ia adalah orang yang berhubungan langsung dengan dengan Soekarno.
Era Proklamasi
Tahun 1945 menjadi tahun yang sangat penting bagi Indonesia. Saat itu semua tokoh kemerdekaan tengah sibuk untuk mempersiapakan proklamasi kemerdekaan. Termasuk para seniman dan budayawan yang ikut mempersiapkan berbagai propaganda positif untuk menyerukannya ke seluruh negeri. Tembok-tembok dipenuhi kata-kata penyeru kemerdekaan seperti “Merdeka atau mati” yang dikutip dari pidato Bung Karno.
Affandi sebagai salah satu seniman yang aktif berkarya bersama Empat Serangkai ikut ambil bagian. Ia mendapatkan bagian untuk membuat poster yang dapat menyerukan serta menggalang seluruh masyarakat Indonesia dalam proklamasi kemerdekaan. Poster itu berupa gambar seseorang yang dirantai dan berhasil memutuskannya sambil mengibarkan bendera merah putih. Gambar simbolis yang blak-blakan dalam pesannya. Dibawahnya terdapat tulisan “Boeng, Ajo Boeng!” (Bung, Ayo Bung!) yang menyerukan semangat bagi rakyat untuk turut menyukseskan kemerdekaan.
Poster Boeng Ajo Boeng, oleh Affandi. dgi.or.id
Kata-kata tersebut diperoleh dari Penyair ternama Chairil Anwar. Saat itu Affandi berkonsultasi pada Chairil mengenai kata-kata yang tepat untuk ditaruh pada posternya. Rupanya kata-kata itu terinspirasi dari ucapan yang biasa digunakan oleh pekerja seks komersil yang menawarkan dirinya pada zaman itu. Meskipun datang dari ucapan yang sebetulnya kontroversial, namun Penyair era 45 itu tahu bahwa ajakan tersebut dapat mengandung makna yang positif dengan konteks yang benar. Kata ajakan yang sederhana sekaligus kuat untuk disebarkan ke seluruh negeri.
Beasiswa Santiniketan
Bakat melukis Affandi mendapat banyak perhatian dari dunia, salah satunya adalah dari India. Ia mendapatkan tawaran Beasiswa sekolah melukis dari Akademi Santiniketan. Affandi menerima tawaran tersebut, namun setibanya disana ia ditolak dalam program beasiswa tersebut. Alasannya karena pihak Santiniketan menganggap bahwa Affandi tidak memerlukan pelatihan melukis lagi.
Akhirnya biaya beasiswa itu digunakan untuk menggelar pameran-pameran di negeri tersebut. Ia mengadakan pameran keliling India. Ia tinggal disana selama dua tahun untuk terus melukis dan anggap saja mengikuti program residensial, karena ia tidak jadi untuk bersekolah disana. Disanalah namanya semakin menggema di dunia sebagai salah satu pelukis terbaik dari Indonesia.
Pameran Keliling Eropa
Pada tahun 1951 hingga 1977, ia mengadakan pameran keliling di negara-negara Eropa. Affandi ditunjuk oleh pemerintah Indonesia untuk menjadi wakil Indonesia dalam pameran Internasional di Brazili dan Venezia tahun 1954. Ia berhasil memenangkan hadiah pertama di San Paolo. Pada tahun 1957, ia mendapat tawaran program residensial dari Amerika Serikat untuk mempelajari metode pendidikan seni di sana selama empat bulan. Affandi juga sempat menggelar pameran tunggal di World House Gallery, New York.
Pada tahun 1962, ia mendapatkan gelar guru besar kehormatan dari Ohio State University. Ia mengajar mata kuliah seni lukis di universitas tersebut. Selang tujuh tahun pada tahun 1969, ia menerima anugerah seni dan medali emas dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Pemerintah juga mengangkatnya menjadi anggota kehormatan untuk seumur hidup di Akademi Jakarta. Pada tahun yang sama pula, ia dipilih untuk menjadi ketua IAPA (International Art Plastic Association) perwakilan Indonesia. IAPA adalah badan seni international di bawah naungan UNESCO.
Penghargaan
Affandi kemudian Menerima gelar kehormatan Doctor Honoris Causa dari University of Singapore pada tahun 1974. Tak berhenti disana saja pada tahun 1977, ia menerima hadiah perdamaian International dari Yayasan Dag Hammerskoeld. Kemudian ia juga memperoleh gelar Grand Maestro dari San Marzano Florence, Italia. Ia juga sekaligus diangkat menjadi anggota Komite hak-hak asasi manusia dari Diplomatic Academy of Peace PAX MUNDI di Castello ditempat yang sama. Sepulangnya dari Itali, ia mendapat undangan dari Raja Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji bersama istrinya, Maryati.
Pada tahun 1978, ia menerima penghargaan piagam tanda kehormatan Bintang Jasa Utama dari Presiden Indonesia yang menjabat pada orde tersebut, yaitu Presiden Soeharto. Penghargaan tersebut diberikan atas jasa-jasanya yang besar terhadap negara dan bangsa Indonesia secara umum, termasuk bidang seni. Tahun 1984 Affandi menggelar pameran bersama di Houston, Texas, Amerika Serikat, berbarengan dengan pelukis besar Indonesia lainnya: S. Sudjojono dan Basuki Abdullah.
Tahun 1986, Affandi diangkat menjadi Anggota Dewan Penyantun Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Pada tahun 1987, ia mengadakan pameran tunggal pada ulang tahunnya yang ke-80. Pameran tersebut sekaligus menjadi peresmian penggunaan gedung pameran seni rupa milik Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang terletak di jalan Medan Merdeka Timur, Gambir Jakarta, yang kini telah berganti nama menjadi Galeri Nasional.
Meskipun telah mendapatkan banyak penghargaan Affandi tetap memiliki pemikiran yang sederhana dan bersikap low profile. Bahkan ketika kritikus Barat menyatakan bahwa lukisan Affandi memberikan perspektif baru pada aliran ekspresionisme, ia malah balik bertanya “Aliran apa itu?”. Ia juga sering menyebut dirinya sendiri sebagai “Seniman Kerbau” yang secara implisit menyebut dirinya sendiri terlalu rendah untuk disebut sebagai seniman. Ia juga sering mengatakan bahwa ia lebih pantas untuk disebut sebagai tukang gambar.
Kematian
Sejak tahun-tahun tersebut kesehatannya mulai sering terganggu, bahkan kehadirannya pada pembukaan pameran ia sudah menggunakan kursi roda. Namun, semangatnya untuk melukis tak kunjung padam. Pada pembukaan itu Ia mendemostrasikan cara melukis potret diri yang disebut tenggelam di pusaran tujuh mata hari. Karya itu kemudian dihadiahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia, melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang diterima oleh Prof. Dr. Fuad Hassan.
Affandi kembali mendapatkan penghargaan dari Badan Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia (BKKNI) yang prosesinya dilakukan di Istana Negara dan diberikan langsung oleh Presiden Soeharto. Affandi saat itu masih menggunakan kursi roda karena kesehatannya kian menurun. Penghargaan tersebut berlanjut dengan dibangunnya Museum Affandi, di sisi kali Gajah Wong Yogyakarta dan sempat dikunjungi oleh Presiden Soeharto bersama tamu negara dari Malaysia, Dr. Mahathir Mohammad.
Salah satu koleksi yang dipamerkan dalam ulang tahun Affandi yang ke-80 adalah sebuah karya yang memuat gambar seekor ayam jantan yang mati karena dipertarungkan pada sabung ayam. Lukisan itu dibubuhi tulisan yang berbunyi “1987, Mati”. Karya tersebut menimbulkan banyak penafsiran yang ikut dihubungkan dengan kondisi kesehatannya pada waktu itu. Affandi meninggal dunia pada tanggal 23 Mei 1990.
Karya Affandi
Karya Affandi yang ditinggalkan sangatlah banyak. Affandi adalah seniman yang sangat produktif dan telah menghasilkan lebih dari 2000 lukisan semasa hidupnya. Ia dikategorikan menganut aliran ekspresionisme oleh banyak kritikus. Meskipun begitu, awal karirnya dimulai dengan lukisan yang mencirikan aliran realisme yang masih sedikit dipengaruhi oleh romantisisme.
Lebih lanjut mengenai aliran ekspresionisme dapat disimak di:
Lukisan Penting Karya Afandi
Ibuku, oleh: Affandi. galeri-nasional.or.id
Lukisan berjudul “Ibuku” belum menggunakan ciri khas Affandi yang membuatnya terkenal. Namun lukisan ini menjadi catatan yang penting, bahwa meskipun Affandi mengabaikan teknik pada karya ekspresionisnya, ia dapat melakukan teknik lukis realistik (naturalis tepatnya). Sosok ibunya sendiri yang sudah tua digambarkan mengenakan pakaian sehari-harinya. Namun ibunya berpose anggun seperti pada lukisan-luksan era renaisans – romantisisme. Tangannya ditaruh di pundaknya, menunjukkan bahwa Affandi mengerti mengenai pose potret yang dianggap indah untuk menunjukkan sosok potret perempuan berdasarkan teknik lukis Barat.
Sapuan kuasnya sudah tampak sangat berani dan menunjukkan bahwa ia sudah terbiasa untuk melukis lukisan yang tampak natural dan mirip aslinya. Ekspresi wajahnya menimbulkan enigma yang selalu mempertanyakan perasaan apa yang sedang dirasakan oleh sang Ibu. Sedih? Marah? atau memang raut wajahnya saja yang sudah menggambarkan manis-pahitnya kehidupan yang telah dijalaninya.
Potret Diri dan Topeng-Topeng Kehidupan, oleh: Affandi
Affandi terkenal karena karya figuratifnya, terutama pada tahun 1960-an. Ia senang bermain dengan tema pertunjukan wayang topeng dan peran stereotip dari karakter bertopeng. Presentasi subjek topeng dapat meperlihatkan kepribadian tertentu dengan disposisi yang apik dari potret dirinya sendiri. Penekanan estetikanya melalui sapuan cat yang dinamis dan khas (menumpahkan cat langsung dari tube) diiringi dengan pilihan palet warna yang kelam semakin menjadi identitasnya.
Baginya potret diri terkadang menjadi perwakilan dari manusia. Ia menggunakan potretnya karena ingin melukis walaupun tidak memiliki subjek sebagai referensi. Maka, potret dirinya sendirilah yang di lukis. Topeng-topeng kehidupan bisa menjadi representasi ide spiritualnya sendiri yang merasa bahwa mendapatkan godaan dan bisikan dari setan. Kelemahannya sebagai manusia yang tidak kuasa melawan godaan dituangkan dalam lukisan ini.
Meskipun bisa jadi kita memproduksi makna lain seperti mungkin topeng-topeng tersebut adalah kegetiran di masa tenarnya. Orang-orang “bertopeng” kian menghampiri hanya untuk memanfaatkan ketenarannya saja. Muak akan hal itu ia tidak mengutarakannya secara langsung, tetapi membicarakannya melalui lukisannya.
Potret Diri, oleh Affandi. galeri-nasional.or.id
Potret diri adalah salah satu tema yang paling sering dibawakan oleh Affandi. Lukisan didominasi oleh wajah seorang tokoh laki-laki. Lukisan ini berfokus pada wajah sosok laki-laki yang merupakan dirinya sendiri. Terdiri dari garis-garis melengkung, bergelombang, tebal, berantakan dan bertekstur kasar. Warna yang digunakan sangat kontras dan hangat.
Lukisan itu menggambarkan sang seniman sendiri, dalam suasana hati yang sangat spiritual dan emosional (berkontemplasi, bukan marah). Subjeknya adalah cerminan diri yang sudah tua karena memiliki rambut putih dan kepala yang hampir botak. Potret tampak sedang menghisap pipa tembakau, yang bisa jadi menunjukan insting self destruction yang makin menjadi pada usianya yang sudah tidak lagi muda. Meskipun begitu melalui sapuan, atau tepatnya tumpahan catnya, ia masih menunjukkan gairah estetis yang membara.
Affandi pernah berkata: “Motif yang paling aku hafal dan paling aku senangi ialah rupaku dhewe yang elek, mirip Sukrasana ini,” Ia terus menerus mengulang-ulang menggambar Potret wajahnya sendiri hingga puluhan kali. Namun setiap potret wajah memiliki ekspresi yang berbeda, meskipun masih dalam satu teknis yang hampir sama.
Terdapat catatan yang Affandi tulis sendiri tentang lukisan potret diri yang berjudul Oongkol (1946) Ia menulis menulis: “Pernah terdjadi, bahwa saja beberapa bulan tida bisa melukis, walaupun tiap pagi saja pergi untuk melukis. Pada suatu hari saja pulang kerumah dengan tangan hampa, tida dapat lukisan. Merasa marah dongkol, sekonjong-konjong lihat dalam katja muka saja sendiri dengan expressi dongkol ini. Itu waktu djuga lukisan dibikin. Aneh, berbulan2 tida dapat motiet, sekonjong motiet dekat sekali, muka sendiri”