Konon, tradisi halal bihalal mula-mula dirintis oleh Pangeran Sambernyawa. Untuk menghemat waktu, tenaga, dan biaya, maka setelah shalat Idul Fitri diadakan pertemuan antara raja, pra punggawa, dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Apa yang dilakukan Pangeran Sambernyawa kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam dengan istilah halal bihalal.
Sementara itu, budayawan Umar Kayam (alm) menyatakan, bahwa tradisi lebaran dan halal bihalal merupakan terobosan akulturasi budaya Jawa dan Islam. Dalam kegiatan tersebut, umat Islam di Jawa saling bersilaturahim dan sungkem kepada orang yang lebih tua. Tujuan sungkem, pertama, adalah sebagai lambang penghormatan. Kedua, sebagai permohonan maaf atau nyuwun ngapura. Istilah nyapura tampaknya berasal dari bahasa Arab, ghafura. Tradisi ini kemudian meluas ke seluruh wilayah Indonesia dan melibatkan penduduk dari berbagai pemeluk agama.
Sejarawan lainnya menyatakan, halal bihalal dipopulerkan oleh Bung Karno pada 1946. Saat itu, Bapak Proklamasi Indonesia ini mengadakan halal bihalal di Yogjakarta. Tujuannya, agar semua pejabat dan pegawai bisa bertemu serta saling memaafkan. Ternyata, ide Bung Karno ini menjadi tradisi tahunan. Hampir semua instansi pemerintah, mulai pusat hingga tingkat RT, menggelar halal bihalal. Bagi kalangan santri, seperti pondok pesantren, ma’had, madrasah, dan takmir masjid, halal biasanya diselenggarakan dengan menghadirkan seorang kiai atau habib untuk memberikan tausiah atau nasihat.
Kini, tradisi tersebut tak pernah luntur. Hanya saja, halal bihalal masih diperdebatkan. Sebagian ulama ada yang menganggapnya sebagai bid’ah. Juga tak sedikit ulama yang berpendapat, bahwa halal bihalal sebagai ajang untuk menjalin silaturahim, bermaaf-maafan, dan wujud rasa syukur.
Menurut Ketua Umum Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Hamid Fahmy Zarkasyi, halal bihalal bukanlah kegiatan yang diwajibkan dalam Islam. Kegiatan ini hanyalah sebentuk tradisi sosial, namun bukan pula dianggap sebagai bid’ah. Meskipun demikian, umat Islam hendaknya tidak merayakan Idul Fitri atau halal bihalal secara berlebihan. Karena esensi Idul Fitri adalag ketakwaan.
“Halalbihalal itu tidak ada di luar negeri, hanya ada di Indonesia saja. Mereka yang mudik lebaran tujuan utamanya kan pulang menemui kedua orang tua untuk bermaafan dan bersilaturahim. Begitu juga dengan halalbihalal. Jadi esensinya baik. Namun, banyak juga yang mudik bukan untuk orang tuanya, melainkan sekedar untuk liburan atau piknik. Akhirnya, kegiatan yang mereka lakukan tidak bermakna,” ujar Hamid.
Lantas bagaimana cara Rasulullah merayakan Idul Fitri? “Rasulullah merayakan Idul Fitri dengan sewajarnya. Tidak ada kegiatan meriah yang dilakukan. Sunnahnya hanya bertakbir dan bertahmid, mengagungkan asma Allah saat Idul Fitri. Juga disunnahkan untuk berpuasa syawal selama enam hari,” tukas Hamid.