“Kira-kira siapa yang ingin menempuh pendidikan hingga ke Perguruan Tinggi ?” Tanya ibu Endang. “Kami semua tentu menginginkannya bu !” Jawab Duta. “Iya benar bu, kami semua menginginkannya.” Sahut Marsha. Sambil tersenyum berkatalah ibu Endang, “Syukurlah kalau kalian semua sangat bersemangat mengenyam pendidikan. Ibu begitu gembira mendengarkannya.”
Bu Endang dan mereka semua begitu bersemangat belajar bersama meski bertempat di gubuk bambu. Hal ini terus berlanjut hingga menjelang Ujian Akhir Sekolah Dasar.
Suatu ketika tiba-tiba gubuk bambu tempat mereka belajar ambruk karena terpaan angin kencang saat hujan. Ibu Endang dan murid-muridnya kaget melihatnya. “Astaga, gubuknya jadi ambruk begini.” Ucap ibu Endang. “Ini pasti karena hujan lebat yang disertai angin kencang kemarin bu.” Ujar Duta. “Terus bagaimana ini belajarnya ?” Tanya Intan kebingungan. Lalu Catur punya ide mengatasi masalah ini. “Bagaimana kalau belajarnya di rumah ibu Endang saja ?” Marsha lalu berkata, “Wah... ide yang bagus, aku setuju.” Duta dan Intan juga setuju. Catur lalu berkata, “Sekalian kita berkenalan sama suami dan anak bu Endang.”
Namun ibu Endang tidak setuju. Dengan segera dia berkata, “Jangan di rumah ibu anak-anak !” Duta yang penasaran dengan ketidaksetujuan bu Endang lantas berkata, “Memangnya ada apa bu ?” Ibu Endang lalu menjawab, “Lebih baik kita belajar di Masjid. Ibu akan meminta izin pada pengurusnya.” Anak-anak pun menuruti permintaan ibu Endang. Tapi tidak seterusnya belajar di Masjid. Karena di Masjid tersebut juga sering diadakan berbagai acara keagamaan.
Beberapa hari kemudian saat hari terakhir ujian akhir, mereka kembali dibingungkan dengan tempat belajar. Saat itu Masjid dipakai untuk acara pengajian. Anak-anak kemudian menyarankan untuk belajar di rumah bu Endang. Tapi lagi-lagi ibu Endang menolak. Ibu Endang lalu mengajak mereka semua untuk belajar di sebuah taman kecil yang berada di sebelah Balai Desa. Mereka akhirnya juga mengikuti permintaan ibu Endang.
Sebulan berikutnya pengumuman kelulusan sudah tiba. Catur dan teman-temannya lulus dengan hasil yang sangat memuaskan. Ibu Endang sangat senang dengan prestasi murid-muridnya dan memutuskan untuk menggelar syukuran kecil-kecilan di Masjid. Tapi keempat muridnya juga sedih lantaran sudah tidak bisa belajar lagi dengan bu Endang karena mereka sebentar lagi sudah menginjak bangku SMP. Bu Endang juga sedih. Tapi dia memberi semangat dan motivasi untuk keempat muridnya agar terus belajar dan jangan pernah menyerah.
Bertahun-tahun telah berlalu. Catur dan teman-temannya berhasil menamatkan belajarnya di SMP. Mereka semua lalu mengenyam pendidikan di bangku SMA hingga ke perguruan tinggi. Cita-cita mereka pun berhasil mereka capai. Catur menjadi seorang dokter, Duta menjadi arsitek, Marsha mejadi dosen, sedangkan Intan menjadi perancang busana. Mereka semua bersepakat untuk mengunjungi bu Endang untuk menceritakan kesuksesan mereka.
Sebelum ke rumah bu Endang, mereka berkumpul di rumah Catur terlebih dahulu. “Kalian semua ingin minum apa ?” Ucap Catur. “Gak perlu tur, kan bentar lagi kita ke rumah bu Endang.” Jawab Duta. Kemudian Marsha berkata, “Oh iya... aku penasaran sama bu Endang dulu.” Lalu Catur berkata, “Penasaran bagaimana mar ?” Lalu Marsha menjelaskan pada mereka semua, “Dulu waktu gubuk bambu tempat kita belajar ambruk. Terus kita mengusulkan untuk belajar di rumah bu Endang. Tapi bu Endang terus menolak. Nah... aku penasaran apa yang menyebabkan kita jangan belajar di rumahnya.” Catur, Duta dan Intan lalu juga merasakan hal yang samadengan Marsha. Kemudian semuanya sepakat untuk datang ke rumah bu Endang sekaligus menanyakan hal tersebut.
Bu Endang begitu terkejut sekaligus bahagia kedatangan murid-muridnya yang kini sudah sukses. Pertemuan antara Bu Endang dan murid-muridnya seperti reunian. Namun dalam hati Bu Endang berharap agar mereka tidak bertamu lama-lama. Setelah berbincang-bincang mengenai perjalanan karir, Catur dan teman-temannya segera menanyakan sesuatu yang sebenarnya tidak ingin bu Endang jawab. “Oh iya bu, mengapa kami dulu tidak boleh belajar di rumah ibu saat gubuk bambunya ambruk ?” Tanya Catur. “Benar bu, kan bu Endang tak perlu mondar-mandir keluar rumah.” Sambung Marsha. Duta dan Intan juga berharap agar bu Endang mau menjawab pertanyaan mereka.
Karena tidak ada pilihan lain, akhirnya bu Endang menjelaskan pada mereka semua. “Baiklah, ibu akan jelaskan. Sebenarnya...., sebenarnya ibu sendirian di rumah ini. Ibu tidak pernah punya seorang anak. Ibu divonis oleh dokter tidak bisa hamil hingga akhirnya suami ibu pergi meninggalkan ibu sendirian. Maka dari itu, ibu tidak ingin kalian tahu keadaan ibu yang sebenarnya. Bahkan saat kalian datang tadi, ibu berharap kalian tidak lama-lama bertamu agar kalian tidak tahu.”
Tampak bu Endang mulai meneteskan air matanya. Catur memberi kode pada teman-temannya agar meninggalkan bu Endang sejenak. Lalu Catur membicarakan sesuatu pada teman-temannya. Setelah itu, mereka kemudian kembali menghampiri bu Endang.
Catur kemudian berkata, “Bu... kami tahu bagaimana perasaan ibu setelah mendengar cerita ibu tadi. Kami minta maaf bu... kami tidak bermaksud untuk mengungkit-ungkit masa lalu. Kami benar-benar tidak tahu bu.” Sambil mengusap air mata, berkatalah bu Endang, “Kalian semua tidak bersalah. Ini ujian untuk ibu. Suka tidak suka, harus ibu jalani.”
Intan lalu memegang bahu bu Endang dan berkata, “Bu... kalau ibu mau kami bersedia menjadi anak-anak ibu. Kami semua bangga punya seorang guru seperti bu Endang yang tak kenal lelah memberi ilmu. Kami juga tidak tahu bagaimana cara membalas kebaikan ibu. Andai ibu mau menerima kami sebagai anak, tentu kami merasa senang.”
Sambil mengusap air matanya, berkatalah bu Endang, “Kalian semua bisa sukses saja ibu sudah sangat senang. Ibu ingin kalian menjadi generasi penerus terbaik untuk masa depan bangsa. Dan... ibu juga ingin menerima kalian sebagai anak ibu.”
Catur dan teman-temannya lalu memeluk bu Endang. Suasana haru lalu menyelimuti mereka semua. Sungguh kasih sayang terindah antara seorang guru dan murid.
***