Sebagaimana siaran pers yang diterima GNFI, Conservation International (CI) Indonesia pada 18 Oktober yang lalu mengungkapkan bahwa Indonesia ternyata memiliki luasan wilayah mangrove sebesar 3,1 juta hektare menurut data tahun 2015. Luasan tersebut dinilai setara dengan 22 persen ekosistem mangrove seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, wilayah mangrove terluas terletak di Papua Barat yang luasnya mencapai 482,029 hektare. Hutan mangrove sendiri merupakan salah satu ekosistem karbon biru yang mampu untuk menyerap karbon dioksida yang dihasilkan oleh aktifitas perubahan energi termasuk aktifitas manusia.
Kerjasama studi sejak tahun 2015 yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kaimana, Universitas Papua, CIFOR, Balai Rise dan Observasi Laut Kementerian Kelautan dann Perikanan (KKP), dan Conservation International berusaha mencari seberapa kemampuan serapan karbon di ekosistem karbon biru di Kabupaten Kaimana. Studi tersebut dilakukan di Teluk Arguni, Buruway, Etna dan Kaimana Kota yang mencakup lahan mangrove seluas 34.329 hektare.
Hasil yang didapatkan cukup mengejutkan. Marine Program Director CI Indonesia, Victor Nikijuluw menjelaskan bahwa ternyat a stok karbon pada empat kawasan yang diteliti setara dengan jumlah karbon yang dihasilkan oleh 19,7 juta unit kendaraan bermotor. Jumlah ini sama dengan pemakaian 39,3 miliar liter bensin setiap tahunnya.
Perhitungan lanjutan juga dilakukan, yang menunjukkan bahwa luasan kawasan mangrove yang mencapai 76 ribu hektare di Kabupaten Kaimana menyimpan 54 juta Mg Carbon. Sementara potensi serapannya sebesar 168.128 Mg C per tahun.
“Data ini menegaskan peran penting ekosistem mangrove dalam mendukung komitmen pengurangan emisi. Sayangnya, lebih dari setengah ekosistem mangrove Indonesia mengalami kerusakan dan karena itu kerjasama lintas sektor penting dilakukan,” ujar Victor.
Pemerintah Kabupaten Kaimana yang menyambut baik upaya menjadikan wilayahnya sebagai laboratorium Blue Carbon mengungkapkan dukungannya dalam inisiatif pelestarian ekosistem mangrove. Sehingga tindakan yang dilakukan tidak sebatas pada memberikan data ilmiah tetapi juga masukan strategis pelestarian mangrove, penguatan tata kelola konservasi, dan juga pengembangan alternatif mata pencaharian berkelanjutan masyarakat yang umumnya melakukan budidaya kepiting bakau.
“Studi ini akan menjadi referensi kami dalam tata kelola pelestarian mangrove Kaimana yang tak hanya mendukung pencapaian komitmen nasional dalam pengurangan emisi, namun juga mendukung ekonomi masyarakat,” ujar Bupati Kaimana Drs. Mathias Mairuma.
Hasil studi lintas instansi ini diharapkan akan bisa menjadi data ilmiah pemerintah pusat dalam mengambil kebijakan terkait Blue Carbon di Indonesia.
Blue carbon sendiri di tingkat Internasional telah digaungkan sebagai salah satu ekosistem yang mampu mengurangi emisi karbon dunia. Gaung tersebut secara resmi dilakukan di UN Cilmate Change Conference of The Parties (COP) ke 22 yang dilaksanakan di Maroko tahun 2016 yang lalu.