Maaf ya bukannya pamer, aku sudah memperoleh juara sebanyak 3 kali berturut-turut dalam lomba tersebut. Lomba tersebut diadakan setiap satu semester dan sekarang sudah semester 4, dan kalau kali ini aku mendapat juara lagi, hahaha, dunia benar-benar berada dalam genggamanku hii, hihihi.
“Hei, sayang, udah bangun yah, ceria banget hari ini, gak seperti biasanya.” sapa Mama sambil menyodorkan susu kepadaku yang telah duduk di meja makan.
“Yah, tunggu aja kejutannya.” kataku sambil tersenyum bahagia. Sambil nyengir sana-sini, tiba-tiba tertangkap olehku sebuah sosok. Sebuah makhluk. Apa-apaan ini, apa dia itu dari planet pluto, wajahnya benar-benar asing.
Dia menatapku dengan senyum lebar di wajah aliennya. Dia benar-benar membuatku tidak nyaman, tidak nyaman. Entah dari mana asalnya, dan bagaimana dia bisa masuk ke rumahku dan duduk satu meja denganku. Aku benar-benar merasa dia itu berasal dari dunia lain. Yah, seorang LAKI-LAKI. Kenapa aku menggaris bawahi kata tersebut dan menuliskannya dengan ukuran besar dan mencetak tebalnya. Pasalnya aku punya dendam kesumat terhadap makhluk yang bernama laki-laki itu.
Usut punya usut ayahku pergi meninggalkan ibuku demi untuk menikah dengan perempuan lain yang punya lebih banyak uang dan menghilang dari lingkunganku dan juga ibuku, meninggalkan aku yang masih dalam kandungan. Ha.. dasar makhluk rendahan. Dan sebagai ganjarannya, setiap laki-laki yang ku lihat selalu ku tatap dengan kesinisan, semua laki-laki di sekolahku pun merasa canggung untuk mendekatiku. Dan di rumahku sama sekali tidak ada makhluk seperti itu, hanya ada aku, Mama, dan Nenek.
Aku membuang pandanganku darinya, wajahku yang semula berseri hangat, kini menjadi dingin. Ha, aku kira ini hari keberuntunganku, dari mana datangnya makhluk ini, batinku.
“Eh, iya Mama lupa, kamu pasti bingung ya. Ini Lans.” Lans? Ha, jangan-jangan dia benar-benar makhluk dari Pluto.
“Dia ini anak dari sepupunya Papa yang ada di luar negeri. Orangtuanya menitipkannya di sini supaya dia bisa sekolah di sini.” terang Mama. Wao, hebat sekali. Sepupu Papa? Papa apa? Papa siapa? Apa itu Papa? Aku benar-benar kesal hari ini, dan untuk seterusnya.
Bagaimana mungkin aku bisa satu rumah dan satu sekolah dengan makhluk seperti dia. Rumah ini akan segera menjadi neraka. Dia terus menatapku dengan senyum lebar yang masih terpampang di wajahnya. Aku benar-benar risih. Aku segera meraih tasku dan bangkit dari kursiku. “aku pergi dulu, Ma” Kataku lalu kemudian meraih tangan Mama dan menciumnya. Aku benar-benar tidak nyaman, sama sekali.
“Loh, apa-apaan ini? Kamu kan belum makan apa pun kok udah mau berangkat.” kata Mama keheranan.
“Mm, lagi buru-buru Ma.. ada urusan di sekolah.” jawabku sambil berlalu ke luar dari rumah dan berjalan menuju halte yang tidak jauh dari rumah. Dan sungguh membuatku naik darah, makhluk aneh itu mengekor di belakangku. Aku berbalik melihatnya barang sejenak, lalu kemudian berbalik kembali untuk mendengus sepanjang-panjangnya.
Aku sama sekali tidak mempedulikannya sampai kami tiba di halte. Kurang dari 15 menit, bus sudah datang dan aku pun menaikinya, dan kembali dia mengekoriku. Hu.
“Mm, bisakah kau tunjukkan di mana ruang kepala sekolah?” tanyanya saat kami telah memasuki sekolah dan berjalan di lorong-lorongnya.
Aku tidak mempedulikannya, aku terus berjalan dan meninggalkannya.
“Hey, tunggu! Kau–”
Ini dia yang ku tunggu-tunggu. Upacara telah tiba. Sebentar lagi akan diumumkan pemenang lomba cipta puisi semester ini. Wao benar-benar menegangkan. Teman-temanku sudah bersorak meneriaki namaku saat detik-detik terakhir nama pemenang akan disebutkan.
“Dan pemenang lomba cipta puisi semester ini adalah….”
“Tari Tari Tari!”
“Astarii!!! yee.” teriak teman-temanku yang begitu mendukungku.
“Pemenangnya adalah–” ya ampun, lama banget sih nih Pak Kepsek, bikin orang menggigil aja.
“Lisa Andini!” nama itu dikumandangkan oleh Pak Kepsek yang diikuti sorakan siswa yang mendukung sang pemenang.
“Apa?” gumamku tak percaya. Para teman yang mendukungku pun kecewa, lebih-lebih aku. Padahal kan udah menang sampai tiga kali berturut-turut, kok sekarang kalah sih. Parah!! Ini sial namanya.
15 menit setelah bel masuk berbunyi, Pak Ronald guru Bahasa Indonesia masuk ke kelasku dengan membawa seorang laki-laki. Entah, aku tidak memperhatikannya. Aku pura-pura sibuk menulis sesuatu, padahal aku hanya mencoret-coret nggak jelas. Aku masih memamerkan bibir manyunku gara-gara juara yang ku pegang tiga kali berturut-turut harus jatuh ke tangan orang lain. Sakitnya tuh di sini.
“Selamat pagi anak-anak!” sapa Pak Ronald dengan ramah.
“Selamat pagi Pak!” jawab anak-anak serempak.
“Hari ini kita kedatangan teman baru, Bapak harap kalian bisa akur satu sama lain.”
“Perkenalkan dirimu.” kata Pak Ronald sembari menoleh pada anak baru itu.
“Mm, perkenalkan nama saya Harlans Asesi. Saya pindahan dari Amerika.”
Seketika aku mengarahkan pandanganku padanya karena teman-temanku bersorak dengan gembira, udah kayak menang lotre aja. “Ha? Dia? Kok–” gumamku. Hh, belum cukup aku satu atap dengannya, aku mesti satu sekolah juga dengannya. Dan sekarang, aku juga harus satu kelas dengannya. Ini benar-benar menyebalkan!
Saat ini dia duduk bersebelahan dengan bangkuku dan Caca di baris ketiga. Ia satu bangku dengan Amer, anak yang menurutku paling menyebalkan satu sekolahan. Ya Tuhan, kutukan apa yang telah menimpa kehidupanku. Setelah dua minggu ia berada dalam kehidupanku yang benar-benar sukses membuat hidupku acak-acakan gak karuan. Pasalnya dia adalah anak yang manjanya gak ketulungan dan juga sangat merepotkan. Tingkahnya itu seperti putri kerajaan. Benar-benar membuatku ingin membunuhnya.
Setiap saat makhluk pluto itu selalu saja mengekor di belakangku. Benar-benar membuatku ingin menendangnya sampai ke tempat asalnya, planet pluto. Yang membuat stresku sampai ke tiitk puncak adalah saat semua teman sekelasku bersorak dan bersiul gak jelas sambil tersenyum-senyum menatapku dan juga makhluk pluto itu yang kini mengekor di balik punggungku. Aku menaikkan satu alisku, keheranan.
“Ciye.. yang setiap hari sama-sama.” goda Benu.
“Hm, hm. Udah satu rumah, satu sekolahan, satu kelas lagi. Apa nggak jodoh tuh?” kata si Ardi gentong menimpali.
“Yang setiap detik sama-sama, apa nggak bosen tuh Lans.” sahut Nana sambil tersenyum masam.
“Ciye, ciye, ciye.”
“Khm, hm hm hm.”
“Suit, suit.”
Dengan buasnya mereka melontaran kata-kata yang membuat telingaku mengepulkan asap. Sedangkan cecurut di belakangku itu malah cengar-cengir kayak unta bego.
“Diam!” bentakku sembari memukul meja dengan tanganku. Dan semuanya seketika menjadi hening.
“Apa kalian pikir aku suka dengan keadaan seperti ini? Sebelum aku membuat bibir kalian tidak bisa terbuka untuk selamanya sebaiknya sekarang kalian tutup rapat-rapat mulut kalian akan hal ini, sekarang dan untuk seterusnya. Mengerti!” ancamku dengan penuh sungguh-sungguh, dan tidak ada suara apa pun.
“MENGERTI!!” bentakku sekali lagi, membuat seluruh teman sekelasku kaget dan kembali ke tempat duduk mereka masing-masing tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Hahaha, di sini aku yang berkuasa. Aku ketua kelas XI MIA1 dan tak akan ada yang berani untuk menyanggah satu pun kata yang ke luar dari mulutku.
“Dia itu ketua kelas killer. Baru kali ini aku menemukan cewek segualak dia. Uhh, lebih galak dari singa. Bener deh.” suara yang terdengar seperti suara bisikan itu dapat sampai ke telingaku yang membuatku menoleh dengan sinisnya ke arah bangku sebelah dan memolototi si Amer yang tengah mendekatkan mulutnya ke telinga makhluk pluto itu.
Ketika melihat mataku yang bener-bener siap membunuh, dia langsung buang muka, tapi tidak menunjukkan ekspresi ketakutan. Yah, mungkin hanya dia yang cuek dan tidak menampakkan ekspresi takut saat mendengar kemarahanku. Dia adalah wakil ketua kelas, tapi aku sama sekali tidak menganggapnya.
—
“Apa kau begitu membenciku? Apa yang membuatku begitu marah.” tanya si makhluk pluto itu sesaat setelah duduk di hadapanku sembari meletakkan piring makanannya di atas meja yang ku tempati makan saat ini. Aku meraih gelasku dan meminumnya. Setelah merasa semua makanan di mulutku enyah, aku mulai membuka mulut untuk menjawab pertanyaannya. “Karena kau seorang laki-laki!” jawabku dengan ketus lalu kemudian bangkit dari kursiku dan berjalan meninggalkan kantin.
Sejak saat itu ia tak pernah lagi berada di sampingku atau pun mengekor di belakangku. Ketika kami bertemu pandang, baik itu di rumah, di sekolah atau pun di kelas, kami saling tidak peduli. Makhluk pluto itu juga tidak pernah lagi menampakkan senyumnya padaku. Baguslah, itu sebuah anugerah bagiku. “Kalian ini kenapa sih, diem-dieman gitu. Biasanya kan selalu sama-sama. Kayak kuning telur sama putih telur.” oceh nenek saat kami sekeluarga tengah asyik memandangi layar televisi. Tak ada satu pun yang menanggapi omongan nenek itu. Hh, males deh ah.
“Minggir, ini kursiku.” usirku dengan dinginnya saat ku lihat makhluk pluto itu duduk di atas kursiku dan berada satu bangku dengan Caca, teman sebangkuku. Ia tidak mengindahkan perkataanku dan tetap diam.
“Apa kau tuli? Minggat sekarang juga dari kursiku!” kataku dengan suara yang pelan tapi memaksa.
“Mm, Tar, kamu duduk di sebelah Amer aja.” Kata Caca dengan sedikit ragu.
“Kenapa aku harus duduk di sana? Ini bangku aku Ca.”
“Hari ini kita ulangan harian Matematika.” akhirnya makhluk pluto itu membuka mulut juga.
“Tadi Bu Lesti datang dan mengatur tempat duduk, terus pergi lagi. Dia memberikan kita waktu sepuluh menit untuk mempersiapkan diri.” lanjutnya dengan nada datar dan dingin.
Aku masih saja berdiri di samping bangkuku, menatapnya dengan dingin. “Makanya datang cepat.” sahutnya lagi. “Ketua kelas kok datang terlambat.” sembari menoleh ke arahku, nada suaranya terdengar ketus.
Aku mendengus kesal dan duduk di sebelah Amer. Sungguh tidak nyaman. Satu menit kemudian, Bu Lesti datang dan menuliskan soal untuk kami. Aku yang pertama kali maju ke depan kelas dan mengumpulkan kertas ulanganku. Setelah itu aku langsung menghilang dari kelas. Memikirkan sudah berapa lama si makhluk pluto itu menginjakkan kaki di rumahku, sekarang aku sudah menginjakkan kaki di kelas XII. Sekarang kami semua tengah sibuk mempersiapkan diri untuk ujian nasional, sampai-sampai tidak ada waktu untuk memikirkan hal lain.
—
Perutku keroncongan sekali hari ini. Aku lupa sarapan karena buru-buru ke sekolah, biasalah anak rajin hanya memikirkan tentang belajar, belajar, dan belajar sampai lupa semuanya. Untung aku tidak lupa untuk mandi dan berpakaian seragam ke sekolah. Aku tiba di kantin dan menemukan sebuah tangan yang melambai ke arahku. Ah, ternyata Caca. Aku segera menghampirinya dan mendapati si makhluk pluto itu juga ada di sana. Bodohnya aku.
“Ayo duduk, Tar.” tawar Caca.
“Aku duduk di tempat lain aja.” tolakku dengan cuek. Aku melangkahkan kakiku untuk enyah dari meja itu. Tapi tiba-tiba lenganku digenggam oleh seseorang. Aku menghentikan langkah kakiku dan menoleh. Mataku seketika membola dan wajah singaku pun kembali muncul. Untuk apa sih makhluk pluto itu melakukan ini? Dasar gila!
“Bisakah kau enyahkan rasa benci dan marah itu dalam bola matamu?” katanya dengan pelan. Dan aku terus saja menatapnya dengan sinis seolah siap untuk mencakarnya.
“Bisakah kau tidak menyiksa dirimu seperti ini?” lanjutnya.
“Sudah cukup bicaranya?” kataku dengan dingin. Ia pelan-pelan melepaskan genggamannya. Dan aku langsung mengangkat kaki dari tempatku tadi berdiri.
Setelah aku berjalan sekitar lima langkah dari tempat makhluk pluto itu berdiri. Tiba-tiba ada sebuah suara yang menghentikan langkahku sekaligus menghujaniku dengan tatapan mata-mata yang penuh dengan keheranan.
“Apa kau akan terus seperti ini? sampai kapan kau akan terus seperti ini? Membenci orang-orang yang tidak pernah menyakitimu? Apa semua ini masuk akal?” benar-benar si makhluk pluto itu! Apa maksudnya? Apa ia mau mempermalukanku di tempat umum. Aku menoleh, memasang tampang datar. Aku melangkah mendekatinya. Dan mengatakan sesuatu tepat di depan wajahnya yang terpaut ekspresi kesal. “Bisakah kita selesaikan ini di rumah!” pintaku bernada perintah.
Sepanjang perjalanan ke rumah aku terus memikirkan perkataan si makhluk pluto itu, walaupun perjalanan dari sekolah ke rumah lumayan jauh tapi aku lebih memilih untuk berjalan kaki kali ini ketimbang naik bus seperti biasanya. Entahlah, tiba-tiba aku memikirkan semua sikap dan perilakuku selama ini. Apa aku terlalu egois? Kata-kata Lans terus menggema di pikiranku, apa aku akan terus seperti ini? Kata Mama aku tidak akan pernah hidup tenang di dunia ini kalau aku terus seperti itu.
Tanpa sadar aku sudah melangkahkan kaki ke dalam rumah, ku lihat sekilas mata mama dan nenek yang menatapku dengan keheranan di sofa ruang tamu.
“Kamu ada jam tambahan ya?” tanya Mama tanpa beranjak dari posisi duduknya.
“Mm?” ku lirik jam yang melekat di pergelangan tanganku, ya ampun hampir maghrib, pantes aja Mama dan Nenek terlihat khawatir.
Setelah salat Maghrib berjamaah dengan keluarga di ruang salat, mengaji bersama, dan salat Isya berjamaah pula aku kembali ke kamarku. Sesaat setelah melangkah masuk ke dalam kamar aku memikirkan kata-kata Lans, bukankah aku bilang kalau aku akan menyelesaikan persoalan ini di rumah. Aku meraih ponselku dan mengirimkan pesan pada makhluk pluto itu.
“Tunggu aku di taman belakang..” Setelah pesan itu terkirim, aku langsung menjatuhkan tubuhku ke kasur, entahlah tapi aku merasa hati dan pikiranku sedang kacau saat ini. 10 menit kemudian aku beranjak dari posisiku dan ke luar dari kamar menuju taman.
Di sana aku melihatnya berdiri dengan posisi membelakang di bawah lampu taman yang tidak begitu terang, sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celananya. Aku mendekatinya dan setelah aku semakin dekat dengannya, “Jadi katakan padaku mengapa kau begitu membenci makhluk sepertiku.” sahutnya dengan nada pelan dan suara yang berat tanpa menoleh padaku.
“Aku nggak tahu apa mata Papa bulat atau almond, apa hidung Papa pesek atau mancung, gimana bentuk wajahnya, warna rambutnya, apa dia pendek atau tinggi. Aku nggak tahu. Karena dia nggak pernah kasih aku kesempatan untuk melihat dia walau hanya sedetik seumur hidupku. Dia membuat aku nggak tahu arti sebenarnya dari kata ‘Papa’ dia membuat aku membenci kata itu.” kataku sambil menunduk.
“Dan dia membuat aku membenci semua laki-laki yang ada di dunia ini. Dia pergi! Dia pergi saat aku masih berjuang dalam perut Mama, dia ninggalin Mama dalam keadaan yang menyedihkan. Dia pergi bersama wanita lain yang punya banyak uang. Saat itu Mama berjuang keras untuk makan dan untuk mempertahankan aku dalam kandungannya, bahkan aku dan Mama hampir aja meninggalkan dunia ini saat Mama akan melahirkan.” lanjutku dengan nada kesal campur sedih.
Setelah mendengar semua penjelasanku, dia berbalik dan memandangku dengan mata beningnya, “Tapi setidaknya kamu nggak berpikiran sempit seperti itu.” ujarnya dengan nada sedikit membentak dan anehnya aku sama sekali nggak marah dan hanya menunduk dengan mata berkaca-kaca. Biasanya kalau ada manusia yang bersikpa tidak sopan padaku aku akan langsung menggamparnya.
“Kamu nggak akan pernah mengerti.” kataku dengan lemas.
“Aku mengerti.” sahutnya dengan suara yang lembut sambil memgang kedua bahuku dengan kedua tangannya kemudian jari-jari panjangnya meraih daguku dan mensejajarkan pandanganku dengan pandangannya, mata bening yang lembut itu merobohkan pertahananku. 30 detik kemudian setetes air bening meluncur melewati kelopak mata kananku.
“Aku takut. Aku takut. Aku nggak mau seperti Mama, aku nggak mau jadi lemah. Aku nggak mau aku dan anak aku mengalami hal yang serupa, aku nggak mau.” jelasku dengan penuh kemanjaan.
“Aku nggak pernah melihat kamu serapuh ini.” sahutnya dengan nada prihatin.
“Dengar, aku akan selalu ada di belakangmu, kamu akan selalu ada dalam masa depanku. Aku akan selalu melindungi kamu, kamu harus tahu itu dan jangan pernah berpikir kalau aku akan pergi meninggalkan kamu. Oke!” urainya dengan nada yang begitu lembut dan yah 2, 3, 4 tetes air mataku meluncur dan sekejap aku berubah menjadi Astari yang lemah, cengeng, manja, dan memang seperti itulah aku. Berusaha menjadi kuat dengan menahan semua air mataku membuatku menjadi sangat tersiksa.
Aku menggeleng, “Aku ingin kamu selalu ada di sini.” kataku sambil menunjuk samping kananku, “Aku ingin kamu selalu merangkulku ke mana pun kamu pergi.”
Senyumnya seketika merekah dan ia langsung merubah posisinya ke samping kananku dan merangkulku, “Oke.” katanya.
“Apa itu berarti kamu mau jadi Ibu dari anak-anakku?” lanjutnya mengagetkanku. Aku menoleh memandang mata beningnya dan mengerutkan keningku. Dia mengangkat kedua alisnya dan sedikit mengerutkan bibirnya dan tanpa mendengarkan sepatah kata pun dariku ia langsung berjingkrak-jingkrak kegirangan. Dasar! Dengan hanya melihat senyumku dia sudah tahu isi hatiku dan itu untuk pertama kalinya aku tersenyum.
Dunia seketika berubah, semua udara yang ku hirup terasa sangat sejuk dan sama sekali nggak menyesakkan. Nggak ada lagi kebekuan di kelas, di rumah, dan di mana pun, semua terasa longgar dan inilah kehidupan baruku. Dan kau tahu siapa yang sudah merubah wanita penyihir sepertiku menjadi seorang Cinderella? Bukan, bukan seorang pangeran berkuda putih tapi seorang alien dari planet Pluto, alien yang sangat tampan yang menghembuskan sejuta kekuatan padaku.
Saatnya aku menutup diary hitamku dan membuka diary dengan sejuta warna. Terima kasih, Tuhan.