Selamat Hari Guru! Ini 3 Kisah Mengharukan Guru Yang Bikin Kita Makin Semangat Sekolah

Oleh : Dimas Anugerah Wicaksono - 25 November 2016 13:00 WIB

Guru, kalau kata orang-orang sih, guru itu orang tua kita di sekolah. Bagaimanapun juga, kita harus hormati guru. Apalagi kalau kamu baca kisah mengharukan para guru ini. Kamu pasti jadi makin semangat sekolah.

Yap. Nggak semuanya guru itu beruntung. Ada yang gajinya mungkin lebih kecil dari nominal uang jajan bulanan kita. Tapi, mereka tetap semangat. Karena mengajar bagi mereka bukan cuma buat ngedapetin uang, tapi bikin generasi berikutnya makin cemerlang.

Guru memang agen perubahan. Berkat mereka, banyak orang sukses di berbagai bidang. Semangat dan prinsip mereka patut kita tiru. Mau baca kisah mengharukan guru yang bikin kita makin semangat sekolah? Cek aja nih!

alt="" src="http://assets.hai-online.com/media/article_image/series/original/49285-3-kisah-mengharukan-guru-yang-bikin-kita-makin-semangat-sekolah-1.jpg" style="height:300px; width:600px" />

Ilustrasi guru (Kompas.com)

 

1. Pak Kustopo, Guru Anak Jalanan dan Napi yang Raih Prestasi Nasional

Mengajar anak-anak jalanan dan anak yang ditahan di rumah tahanan atau narapidana tentu memiliki tantangan yang berbeda. Tantangan kian berat karena stigma negatif masyarakat yang melekat pada kedua kelompok anak itu tak pernah hilang. Beruntung, di Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang, Jawa Tengah, masih ada orang yang peduli pada pendidikan mereka.

Mereka yang peduli ini lalu mendirikan sanggar kegiatan belajar (SKB) bersama untuk menampung mereka, merayu agar anak jalanan bersedia belajar. Gratis. Pak Kustopo dan teman-temannya mendirikan tempat mengajar itu. Anak jalanan yang belajar relatif banyak. Anak yang kejar paket C, misalnya, berjumlah 25 orang, sementara narapidana berjumlah 80 orang.

"Kalau nggak diajar, nggak dididik, mereka mau jadi apa? Ini yang coba kami lakukan untuk kerja sosial. Yang jelas, pertama harus mengubah image dulu, kemudian pola pikir. Mengajar di lapas sama, mengubah pola pikir," ujar Pak Kustopo kepada Kompas.com.

Dalam mengajar, Kustopo tak langsung mengajarkan materi. Ia lebih ingin mengajarkan prinsip hidup yang baik bagi anak. Prinsip itu misalkan soal keberuntungan hidup.

"Saya selalu mengajarkan ke anak, 'Bayangkan suatu saat Anda punya keberuntutangan bertemu orang hebat, kemudian meminta ijazah.' Kalau mereka hanya lulus SD atau SMP kan minder. Nah, ini kebetulan membantu dan dengan cara itu mereka mau belajar," kata dia.

Ia mendapat penghormatan menjadi tutor berprestasi paket C tingkat nasional setelah sebelumnya terpilih di tingkat Jawa Tengah. "Walau kecil, saya yakin, apa yang diberikan itu bermanfaat bagi mereka," ujar dia.

Uniknya, pada paket C bukan ditulis mantan narapidana, tetapi kelompok belajar sehingga nggak membuat sang narapidana malu. Bahkan, melalui pendidikan itu, nggak jarang anak didik terentaskan dari kemiskinan.

Menurut Kustopo, mereka yang didik diterima di banyak perusahaan. "Ini jadi kebanggaan tersendiri dengan bantuan tutor yang lain. Mereka menganggap kami sebagai pahlawan. Rasa seperti itu bangga sudah menjadi pahlawan bagi dia," ujar dia.

 

2. Pak Noldy, Guru di Sekolah Berdinding Bambu

Pak Noldy Lumangkibe terlihat begitu bersemangat datang sepagi mungkin. Posisinya sebagai Kepala Sekolah SMA Udamakatraya membuatnya bertekad menjadi teladan. Bukan saja karena dia sebagai guru, tetapi lebih dari itu dia harus menjadi motivator bagi anak didiknya dan guru-guru lainnya.

Jangan membayangkan SMA Udamakatraya seperti sekolah pada umumnya. Bangunan sekolah yang berada di Desa Bannada, Kecamatan Gemeh, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara ini jauh dari layak.

Dindingnya dari bambu, atapnya dari rumbia dan lantai tanahnya nggak disemen. Bangunan ini lebih mirip gubuk besar daripada sebuah sekolah. Namun toh kondisi itu nggak melunturkan semangat Noldy mengabdi sebagai pengajar. Padahal, dia bukan asli orang Talaud, namun dari Tanah Minahasa terpisah lautan yang terbilang jauh.

"Sebagai abdi Negara, saya harus siap ditempatkan di mana saja, termasuk di kabupaten perbatasan dan terluar ini," kata Noldy kepada Kompas.com.

Awalnya Noldy adalah guru SMP, lalu dia diminta menjadi kepala sekolah di SMA itu. Merasa terpanggil Noldy mengiyakan permintaan itu.

SMA Udamakatraya dibangun dengan prakarsa masyarakat Bannada, karena jika anak-anak mereka lulus SMP harus berjalan sangat jauh ke kecamatan lain. Padahal, akses jalan penghubung di Kecamatan Gemeh belum terbangun dengan baik. Rusak di sana sini.

"Saya mau anak-anak didik saya nggak minder dengan kondisi sekolah mereka. Dan saya ingin mereka juga nggak kalah berprestasi dengan sekolah lainnya yang lebih layak," ujar Noldy.

 

class="unruly_ia_closebutton" src="http://cloud-video.unrulymedia.com/native/in-art-countdown-icon-128x128x3s.gif?d=1480043247515211141.04798305623" style="border:0 !important; float:right !important; height:18px !important; line-height:normal !important; margin:1px 0 !important; min-width:0 !important; opacity:0.25 !important; outline:1px solid transparent !important; padding:0 !important; transition:all 0.25s cubic-bezier(0.445, 0.05, 0.55, 0.95) !important; width:18px !important" />
–– ADVERTISEMENT ––

3. Kisah Guru Honorer Bergaji Rp 100.000 di Pedalaman NTT

Kesejahteraan guru honorer yang mengabdi di sekolah di pedalaman Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, memang masih jauh dari harapan. Beberapa guru yang menjalani nasib itu adalah Adrianus Maneno, Petronela Kenjam, dan Meliana Eba.

Tiga orang guru muda yang mengajar di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Kristen Huetalan di Desa Huetalan, Kecamatan Tobu, setiap bulan hanya menerima gaji sebesar Rp 100.000.

Namun demikian, meski gaji mereka hanya setara dengan beras 10 kilogram, semangat ketiganya untuk mengajar nggak surut. Kebanyakan, murid yang mereka ajar berasal dari latar belakang keluarga yang nggak mampu.

Ketiganya, saat ditemui Kompas.com mengaku menikmati pekerjaan mereka. Meski demikian, gaji yang mereka terima berbeda jauh jika dibandingkan dengan gaji pembantu rumah tangga dan buruh bangunan.

“Setiap bulan kami hanya terima gaji Rp 100.000. Karena sekolah kami ini swasta, maka gaji yang kami peroleh ini, dikasih melalui sumbangan dari para siswa,” kata Adrianus yang diamini Petronela dan Meliana.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka membuka usaha kecil-kecilan di rumah orangtua angkat mereka di Desa Huetalan.

“Kami bertiga ini orang Kefa (TTU). Saya dan Petronela tamatan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Negeri Timor (Unimor) Kefamenanu, sedangkan Meliana adalah tamatan FKIP Universitas PGRI Kota Kupang," kata dia.

"Di desa ini kami tinggal bersama orangtua asuh yang dengan senang hati mau menerima kami. Setiap hari selain mengajar kami juga membuka usaha kios kecil-kecilan,” kata Adrianus lagi.

“Meski gaji kami kecil, tapi semangat kami hanya pengabdian untuk anak-anak di desa ini yang juga punya semangat yang sama untuk belajar. Kami tetap mengabdi karena daripada ilmu kami mati, mending kami transferkan kepada 45 murid di sekolah ini,” sambungnya.

Menurut Adrianus yang mengasuh mata pelajaran ekonomi, jumlah guru di SMK Kristen Huetalan ada sembilan orang. 

class="unruly_ia_closebutton" src="http://cloud-video.unrulymedia.com/native/in-art-countdown-icon-128x128x3s.gif?d=1480043294491838495.7103060659" style="border:0 !important; float:right !important; height:18px !important; line-height:normal !important; margin:1px 0 !important; min-width:0 !important; opacity:0.25 !important; outline:1px solid transparent !important; padding:0 !important; transition:all 0.25s cubic-bezier(0.445, 0.05, 0.55, 0.95) !important; width:18px !important" />
–– ADVE

 

Tag

Artikel Terkait

Kuis Terkait

Video Terkait

Cari materi lainnya :