Dalam buku itu tertulis asal mula Soto adalah makanan Cina bernama Caudo, pertama kali populer di wilayah Semarang.
Dari Caudo lambat laun menjadi Soto. Akhirnya berkembang di Makassar dengan sebutan Coto, dan orang Pekalongan menyebutnya Tauto.
Antropolog dari Universitas Gadjah Mada, Dr Lono Simatupang, menyebutkan soto merupakan campuran dari berbagai macam tradisi.
Di dalamnya ada pengaruh lokal dan budaya lain. Mi atau soun pada soto, misalnya, berasal dari tradisi China. China-lah yang memiliki teknologi membuat mi dan soun.
Menurut Lono, Soto juga kemungkinan mendapat pengaruh dari budaya India. Ada beberapa soto yang menggunakan kunyit, seperti kari dari India. Karena ini soto bisa dikatakan merupakan campuran dari berbagai tradisi.
Serbuk koya pada Soto yang juga ditemukan di lontong cap go meh adalah budaya kuliner Tionghoa peranakan. Serbuk ini dibuat dari santan kelapa yang dikeringkan, berfungsi sebagai penyedap rasa dan penambah tekstur.
Irisan bawang putih yang digoreng kering, juga merupakan jejak budaya Tionghoa. Cara memasak seperti ini jelas merupakan selera Tionghoa, seperti ditemukan di masakan Tionghoa Pontianak.
Masakan Jawa biasanya menggunakan bawang merah, bukan bawang putih, untuk digoreng kering dan digunakan sebagai kondimen.
Akulturasi lain adalah sendok bebek dan mangkok. Kedua benda ini merupakan alat makan yang diduga berasal dari Cina. Alat-alat seperti sendok bebek sering digunakan sebagai alat makan sup di Cina.
Penyebaran soto ke berbagai daerah di Indonesia seiring dengan penyebaran manusia. Makanan yang tersebar itu kemudian bisa diterima di tempat lain. Selain itu, makanan juga menyebar karena ada proses industri.
Penyebaran ini, lanjut Lono, diikuti dengan upaya lokalitas. Proses lokalitas soto mungkin sama seperti lokalitas Islam maupun Kristen di Indonesia. Inilah yang mengakibatkan muncul berbagai jenis soto di Indonesia.