Sepi Malam 1 Suro Yogya: Nihil Lampah Budaya dan Tirakatan

Oleh : Lies Halizah - 20 August 2020 17:00 WIB

Kondisi pandemi Covid-19 membuat tradisi malam 1 Suro di Yogyakarta sepi dari ritual massal. Tak terkecuali di Keraton Yogyakarta dan kompleks makam Panembahan Senopati, Kotagede, Yogyakarta.

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat meniadakan gelaran lampah budaya "Tapa Bisu Mubeng Beteng" setiap malam tahun baru Jawa 1 Sura atau tahun baru Islam 1 Muharam demi menghindari penularan Covid-19.

"Ditiadakan karena kondisi pandemi Covid-19 ini. Kalau dijalankan yang bergabung banyak sekali dan itu sangat berbahaya," kata Pengageng Tepas Dwarapura Kraton Ngayogyakarta KRT Jatiningrat, di Yogyakarta, dikutip dari Antara.

Menurut pria yang akrab disapa Romo Tirun ini, keputusan peniadaan Tapa Bisu Mubeng Beteng bukan perintah Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X. Menurutnya, itu inisiatif dari para abdi dalem.

"Keputusan peniadaan itu mutlak inisiatif abdi dalem. Mereka tahu sendiri. Dengan adanya protokol kesehatan di lingkungan keraton maka mubeng beteng ini ditiadakan," kata dia.Pasalnya, ritual yang biasa diwujudkan dengan berjalan mengelilingi beteng Keraton tanpa berbicara serta diikuti ribuan warga Yogyakarta itu merupakan hajat kawula dalem atau diinisiasi oleh para abdi dalem.

Menurut Romo Tirun, kegiatan yang melibatkan ribuan warga sangat berisiko apalagi berpotensi diikuti para wisatawan dari luar daerah.

"Di Yogyakarta ini kan wisata sudah dibuka. Biasanya wisatawan luar ikut bergabung. Itu yang tidak bisa dikendalikan," kata dia.

Doa bersama di kompleks Panembahan Senopati, DIY. (Foto: CNN Indonesia/Damar Sinuko)

Sebagai penggantinya, kata dia, beberapa abdi dalem bakal menggelar doa bersama di Keben Keraton atau di sekitar Bangsal Ponconiti Keraton Yogyakarta, pada Kamis (20/8), bertepatan Malam 1 Suro Jimakir 1954 pukul 21.30 WIB.

"Dilakukan para abdi dalem tanpa mengundang warga. Itu kan masih di dalam kompleks Keraton," kata dia.

Romo Tirun menjelaskan ritual "tapa bisu lampah mubeng beteng" dapat dimaknai sebagai sarana introspeksi diri terhadap apa yang dilakukan pada tahun lalu, dan memperbaiki diri memasuki tahun baru.

"Mengelilingi Beteng Keraton biasanya dengan diam tidak diperkenankan berbincang-bincang untuk memusatkan diri. Memohon maaf kepada Allah serta mensyukuri segala nikmatnya," kata dia.

Ribuan warga bersama para abdi dalem keraton yang mengikuti acara itu biasanya berkumpul di sekitar Bangsal Ponconiti Keben Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.Diketahui, Mubeng Beteng Keraton Yogyakarta merupakan ritual untuk menyambut awal tahun baru penanggalan Jawa, 1 Sura atau 1 Muharam.

Tepat pukul 00.00 WIB, mereka menyusuri jalan tanpa berbicara mengelilingi seluruh benteng keraton yang berjarak 5 kilometer.

Ritual itu dimulai dari Keben Keraton menuju Jalan Retowijayan, Jalan Kauman, Jalan Agus Salim, Jalan Wahid Hasyim, hingga Pojok Beteng Kulon, Jalan Mayjen MT Haryono sampai Pojok Benteng Wetan, Jalan Brigjen Katamso, Jalan Ibu Ruswo, Alun-Alun Utara, dan berakhir di Keben Keraton.

Ilustrasi abdi dalem Keraton Ngayogyakarta. (ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/foc/16)

Tak hanya di keraton, pemangkasan sejumlah ritual juga dilakukan di kompleks makam Panembahan Senopati, Kotagede, Yogyakarta. Yakni, prosesi doa tirakatan dan tradisi bubur suro yang biasanya dibagi usai doa tahlil.

"Untuk Suronan tahun ini, doa tahlil tirakatan dan bubur suro ditiadakan. Tapi kompleks ini tetap dibuka 24 jam untuk warga yang ingin berdoa secara pribadi sendiri-sendiri," kata Endri, salah satu abdi dalem Kotagede, Rabu (19/8) malam.

Meski tanpa doa tirakatan dan bubur suro, beberapa warga tetap datang ke Kotagede untuk melakukan ritual pribadi, dari padusan atau mandi di Sendang hingga tahlil sendiri. Tak sedikit juga dari warga yang beberapa hari sudah bermalam di Kotagede.

"Saya dari Madiun. Sampai Kotagede kita hari Senin, terus tidur bermalam disini. Kita ingin ikut doa tirakatan, tapi ternyata tidak ada karena covid, ya sudah kita ritual sendiri", ungkap Utami, salah seorang pengunjung.

Setiap malam 1 Suro, warga Kotagede menggelar doa dengan zikir serta tahlil. Itu dilanjutkan dengan pembacaan ayat kursi selama hampir 1 jam. Pemimpin Ritual, Suro Budoyo, dengan diiringi kidung tembang Jawa, kemudian memberikan penjelasan singkat tentang tradisi dan ritual yang ditandai dengan simbol dua tumpeng dan bubur suro itu.

Dalam filosofi Jawa, tumpeng adalah simbol ungkapan syukur manusia kepada Tuhan Sang Pencipta. Sedangkan bubur suro yang terdiri atas bubur putih dengan sayur sambel goreng krecek dan lodehan disertai bergedel, tahu, tempe, dan ayam merupakan simbol peleburan diri manusia kembali ke fitri/suci usai melawan angkara murka dalam dirinya.

"Ada dua simbol disini, tumpeng dan bubur suro. Tumpeng itu ungkapan syukur manusia kepada Tuhan, sedangkan bubur itu perlawanan angkara murka. Suro adalah angkara murka yang harus ditaklukan manusia dalam hidupnya," ungkap Suro Budoyo.

Bubur Suro yang dibagikan di kompleks Panembahan Senopati. (Foto: CNN Indonesia/Damar Sinuko)

Kotagede sendiri merupakan kompleks bangunan yang utamanya adalah makam dari Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram yang dulunya bernama Danang Sutowijoyo.

Bagi masyarakat Jawa, bulan Suro dipercaya sebagai momentum yang sakral karena sarat dengan kekuatan magis atau supranatural, sehingga oleh para leluhur diminta untuk diisi dengan tirakat dan doa.

Tag

Artikel Terkait

Kuis Terkait

Video Terkait

Cari materi lainnya :