Saudaraku, sudah jadi perilaku manusia bahwa mereka menyukai sesuatu yang mampu menggembirakan hati dan menentramkan jiwa mereka. Oleh sebab itu, banyak orang sudi mengorbankan waktunya, memeras otaknya, dan kuras tenaganya, atau bahkan kalau wajib mengeluarkan cost yang tidak kecil jumlahnya demi menggapai apa yang disebut sebagai kepuasan dan ketenangan jiwa. Namun, ada sebuah fenomena memprihatinkan yang sukar sekali dilepas dari upaya ini. Seringkali kita jumpai manusia kenakan cara-cara yang dibenci oleh Allah demi menggapai permintaan mereka.
Ada di antara mereka yang terjebak didalam jerat harta. Ada yang terjebak didalam jerat wanita. Ada yang terjebak didalam hiburan yang tidak halal. Ada pula yang terjebak didalam aksi-aksi brutal atau tindak kriminal. Apabila masalah ini kita cermati, ada satu aspek yang mampu ditengarai sebagai sumber utama munculnya itu semua. Hal itu tidak lain adalah sebab manusia tidak kembali mendapatkan ketenangan dan kepuasan jiwa dengan berdzikir dan mengingat Rabb mereka.
Padahal, Allah ta’ala sudah mengingatkan hal ini didalam ayat (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan hati mereka mampu mulai tentram dengan mengingat Allah, ketahuilah bahwa cuma dengan mengingat Allah maka hati dapat mulai tentram.” (QS. ar-Ra’d: 28). Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa pendapat terpilih mengenai arti ‘mengingat Allah’ di sini adalah mengingat al-Qur’an. Hal itu disebabkan hati manusia tidak dapat mampu merasakan ketentraman kalau dengan iman dan kepercayaan yang tertanam di didalam hatinya. Sementara iman dan kepercayaan tidak mampu diperoleh kalau dengan menyerap bimbingan al-Qur’an (lihat Tafsir al-Qayyim, hal. 324)
Ibnu Rajab al-Hanbali berkata, “Dzikir merupakan sebuah kelezatan bagi hati orang-orang yang mengerti.” Demikian juga Malik bin Dinar mengatakan, “Tidaklah orang-orang yang merasakan kelezatan mampu merasakan sebagaimana kelezatan yang diraih dengan mengingat Allah.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 562). Sekarang, yang jadi pertanyaan kita adalah; mengapa banyak di antara kita yang tidak mampu merasakan kelezatan berdzikir sebagaimana yang diekspresikan oleh para ulama salaf. Sehingga kita lebih menyukai lihat sepakbola daripada turut pengajian, atau lebih senang menikmati telenovela daripada merenungkan ayat-ayat-Nya, atau lebih senang singgah ke lokasi wisata daripada memakmurkan rumah-Nya.
Perhatikanlah ucapan Rabi’ bin Anas berikut ini, bisa saja kita dapat mampu mendapatkan jawabannya. Rabi’ bin Anas mengatakan sebuah ungkapan dari beberapa sahabatnya, “Tanda cinta kepada Allah adalah banyak berdzikir/mengingat kepada-Nya, sebab sebenarnya tidaklah kamu mencintai apa saja kalau kamu pasti dapat banyak-banyak menyebutnya.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 559). Ini artinya, makin lama lemah rasa cinta kepada Allah didalam diri seseorang, maka makin lama sedikit pula ‘kemampuannya’ untuk mampu mengingat Allah ta’ala. Hal ini secara tidak segera melukiskan suasana batin kita yang begitu memprihatinkan, walau suasana lahiriyahnya tampak baik-baik saja. Aduhai, betapa sedikit orang yang memperhatikannya! Ternyata, inilah yang selama ini hilang dan menipis didalam diri kita; yaitu rasa cinta kepada Allah.
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Pokok dan ruh ketauhidan adalah memurnikan rasa cinta untuk Allah semata, dan hal itu merupakan pokok penghambaan dan penyembahan kepada-Nya. Bahkan, itulah hakekat dari ibadah. Tauhid tidak dapat sempurna sampai rasa cinta seorang hamba kepada Rabbnya jadi sempurna, dan kecintaan kepada-Nya wajib lebih diutamakan daripada segala sesuatu yang dicintai. Sehingga rasa cintanya kepada Allah mengalahkan rasa cintanya kepada selain-Nya dan jadi penentu atasnya, yang membawa dampak segala perkara yang dicintainya wajib tunduk dan mengikuti kecintaan ini yang dengannya seorang hamba dapat mampu menggapai kebahagiaan dan kemenangannya.” (al-Qaul as-Sadid Fi Maqashid at-Tauhid, hal. 95)
Kalau demikian keadaannya, maka solusi untuk mampu menggapai ketenangan jiwa melalui dzikir adalah dengan menumbuhkan dan menguatkan rasa cinta kepada Allah. Dan hanya satu jalur untuk mendapatkannya adalah dengan mengenal Allah melalui keagungan nama-nama dan sifat-sifat-Nya dan mencermati kebesaran ayat-ayat-Nya, yang tertera di didalam al-Qur’an ataupun yang berupa makhluk ciptaan-Nya. Syaikh Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimi hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya rasa cinta kepada sesuatu merupakan cabang dari pengenalan terhadapnya. Maka manusia yang paling mengenal Allah adalah orang yang paling cinta kepada-Nya. Dan setiap orang yang mengenal Allah pastilah dapat mencintai-Nya. Dan tidak ada jalur untuk menggapai ma’rifat ini kalau melalui pintu ilmu mengenai nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya. Tidak dapat kokoh ma’rifat seorang hamba terhadap Allah kalau dengan mengusahakan mengetahui nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang disebutkan di didalam al-Qur’an maupun as-Sunnah…” (Mu’taqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah fi Tauhid al-Asma’ wa as-Shifat, hal. 16)
Hati seorang hamba dapat jadi hidup, diliputi dengan kenikmatan dan ketentraman misalnya hati berikut adalah hati yang tetap mengenal Allah, yang terhadap akhirnya menghasilkan rasa cinta kepada Allah lebih di atas segala-galanya (lihat Mu’taqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah fi Tauhid al-Asma’ wa as-Shifat, hal. 21). Di sisi yang lain, kelezatan di akherat yang diperoleh seorang hamba kelak adalah tatkala lihat wajah-Nya. Sementara hal itu tidak dapat mampu diperolehnya kalau setelah merasakan kelezatan paling agung di dunia, yaitu dengan mengenal Allah dan mencintai-Nya, dan inilah yang dimaksud dengan surga dunia yang dapat tetap menyejukkan hati hamba-hamba-Nya (lihat ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 261)
Banyak orang yang tertipu oleh dunia dengan segala kesenangan yang ditawarkannya agar hal itu melewatkan mereka dari mengingat Rabb yang menganugerahkan nikmat kepada mereka. Hal itu bermula, tatkala kecintaan kepada dunia sudah meresap ke didalam relung-relung hatinya. Tanpa terasa, kecintaan kepada Allah sedikit demi sedikit luntur dan lenyap. Terlebih kembali ‘didukung’ suasana kira-kira yang jauh dari siraman anjuran al-Qur’an, apatah kembali pengenalan terhadap keagungan nama-nama dan sifat-Nya. Maka makin lama jauhlah sosok seorang hamba yang lemah itu dari lingkaran hidayah Rabbnya. Sholat mulai hampa, berdzikir tinggal gerakan lidah tanpa makna, dan al-Qur’an pun teronggok berdebu tak tersentuh tangannya. Wahai saudaraku… apakah yang kau cari didalam hidup ini? Kalau engkau melacak kebahagiaan, maka ingatlah bahwa kebahagiaan yang sejati tidak dapat pernah didapatkan kalau bersama-Nya dan dengan tetap mengingat-Nya.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Akan tapi ternyata kalian lebih mengedepankan kehidupan dunia, waktu akherat itu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. al-A’la: 16-17). Allah juga berfirman mengenai seruan seorang rasul yang terlampau menghendaki kebaikan bagi kaumnya (yang artinya), “Wahai kaumku, ikutilah aku niscaya dapat kutunjukkan kepada kalian jalur petunjuk. Wahai kaumku, sebenarnya kehidupan dunia ini hanya kesenangan (yang semu), dan sebenarnya akherat itulah tempat menetap yang sebenarnya.” (QS. Ghafir: 38-39) (lihat ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 260)
Apabila engkau menangis sebab ludesnya hartamu, atau sebab hilangnya jabatanmu, atau sebab orang yang pergi meninggalkanmu, maka sekaranglah saatnya engkau menangisi kerusakan hatimu… Allahul musta’aan wa ‘alaihit tuklaan.