Sekali tepuk, dua-tiga lalat mati. Mungkin itulah pepatah yang tepat untuk menggambarkan Akhsar Foundation. Sekolah yang terletak di sebuah desa di Guwahati, kota terbesar di kawasan timur laut India ini tidak menerima uang sebagai pembayaran, melainkan sampah plastik. Wah, sekarang sampah bisa jadi mata uang pembayaran?
Setiap awal minggu, siswa-siswa berbaris di depan pintu membawa puluhan sampah plastik untuk “bayar SPP”
Setiap minggunya, anak-anak berusia 4 – 15 tahun akan membuat beberapa baris di halaman dengan membawa sampah-sampah plastik di tangan. Inilah sistem pembayaran Akhsar Foundation. Alih-alih benar-benar gratis tanpa biaya, para siswa diperbolehkan membayar biaya pendidikan dengan sampah plastik. Mulai dari botol, bungkus makanan, hingga kantong plastik.
Meski biayanya hanya 25 sampah plastik seminggu, pelajaran yang diberikan nggak asal-asalan. Kurikulumnya pun diakui oleh PBB
Umumnya sebuah sekolahan tentu membutuhkan biaya operasional. Mulai dari buku ajar, tenaga pengajar, seragam, dan lain sebagainya. Lalu, kalau bayarnya saja pakai sampah, jangan-jangan belajarnya juga sembarangan? Tentu saja tidak demikian. Model pembelajaran di Akhsar Foundation, kelas atau level belajar siswa disesuaikan dengan skill yang sudah dimilikinya, alih-alih usia. Artinya, tidak masalah bila baru berusia 8 tahun tapi sudah bisa menyelesaikan kurikulum untuk kelas 6 SD.
Selain itu, model pembelajaran di Akhsar Foundation juga mengacu pada kurikulum yang diakui PBB. Misalnya dalam pelajaran bahasa Inggris, mereka mengacu pada Cambridge Global English curriculum. Jadi, ilmu yang diberikan pada anak didik pun nggak asal-asalan. Selain ilmu teoritis, kurikulum di Akhsar Foundation juga menerapkan sistem praktik. Misalnya, mereka nggak hanya belajar soal fisika dan ekologi, tapi juga belajar menjadi teknisi panel surya.
Siswa-siswa juga dilibatkan proses daur ulang sampah ataupun tenaga pengajar. Di sana, mereka bisa dapat penghasilan
Awalnya, Parmita dan Mukhtar berniat mendirikan sekolah gratis untuk anak-anak miskin. Namun, ternyata para orangtua berpikir bahwa daripada sekolah, lebih baik anak-anak langsung diajak bekerja dengan supaya bisa berkontribusi pada perekonomian keluarga. Kebanyakan dari anak-anak di sana bekerja di pertambangan batu dengan upah maksimal Rp49.000,- setiap harinya.
Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi sistem meta-teaching di sekolah ini. Siswa-siswa yang lebih senior akan diminta untuk mengajari siswa yang lebih junior dengan imbalan berupa mainan, snack, baju, dan sebagainya. Selain itu, di luar waktu belajarnya, para siswa juga bisa bekerja di pabrik pengolahan sampah plastik ataupun shelter hewan untuk merawat anak anjing. Dengan demikian, nggak ada alasan lagi mereka dilarang sekolah, karena bisa tetap sambil cari uang. Konsepnya saja “earning with learning“.
Demi mendirikan sekolah ini, Mukhtar menolak kesempatan kerja di Boeing Amerika dan Parmita harus promosi door to door
Sebelum mendirikan Akhsar Foundation di tahun 2016, Mazin Mukhtar adalah mahasiswa Fakultas Teknik Penerbangan di Universitas Maryland, Amerika Serikat. Akan tetapi, di tahun ketiganya, Mukhtar merasa kurang sejalan dengan sistem pendidikan dan ia sadari tidak adil dan membeda-bedakan antar siswa. Karenanya, ia memilih drop out dan pulang ke India di tahun 2013. Saat itulah ia bertemu Parmita Sharma yang kini menjadi istri sekaligus co-founder Akhsar Foundation bersama managing director mereka, Prof Alexa Sharma.
Melalui Akhsar Foundation, mereka ingin membangun sekolah dengan sistem pendidikan yang adil bagi seluruh siswa. Hal ini jelas tidak mudah pada awalnya. Mukhtar bahkan harus merelakan kesempatannya untuk bekerja di Boeing. Sedang Parmita harus melakukan promosi door to door untuk meyakinkan para orangtua untuk mengizinkan anaknya bersokalh di sana.
Apa yang dibidik oleh Akhsar Foundation ini bukan hanya soal pendidikan, lho. Tapi juga child labour dan lingkungan
Meski fokus pada pendidikan, Akhsar Foundation juga menjadi solusi untuk beberapa persoalan lain lho. Misalnya isu-isu lingkungan. Karena seperti kita dan banyak negara di dunia, sampah plastik menjadi salah satu masalah yang sulit diselesaikan. Di Akhsar Foundation, sampah yang disetorkan oleh para siswa akan diolah kembali menjadi sumber energi yang bernama ecobrick alias batu bata ramah lingkungan.
Selain itu, sekolah ini juga mencoba membidik persoalan tenaga kerja anak-anak (child labour) yang juga menjadi masalah besar di India. Meskipun di sini para siswa juga bisa bekerja dan mendapatkan uang, mereka tetap mendapatkan ilmu dan juga penghasilan yang setimpal. Sehingga mereka tidak kehilangan kesempatan untuk menjadi anak-anak, meski harus bekerja sambil belajar.
Meski berbeda, di Indonesia juga ada warung makan dan klinik asuransi yang bisa bayar pakai sampah
Menjadikan sampah sebagai “mata uang” ternyata juga dilakukan beberapa orang di Indonesia lho. Misalnya di Semarang, pasangan suami-istri membuka warung makan “Mbah Min” yang alih-alih uang, pembeli hanya perlu menukarkan sampah plastik dengan seporsi makanan dengan menu pilihan. Sarimin dan Suyatmi, pemilik warung, membuka warung tersebut untuk pemulung dan pengepul di sekitar kota semarang. Selain berbagi dengan sesama, hal itu juga bisa menjadi alternatif untuk menghadapi problematika sampah plastik yang sulit diurai.
Lalu, jangan lupakan pula klinik asuransi sampah yang digagas oleh dr. Gamal Albinsaid. Awalnya, dokter asal kota Malang ini prihatin karena banyak masyarakat yang tidak punya biaya untuk berobat. Kemudian, digagasnya klinik asuransi ini, agar masyarakat kurang mampu bisa mendapatkan layanan kesehatan hanya dengan membayar premi asuransi berupa sampah plastik. Wah, keren banget ya idenya?
Isu pendidikan dan lingkungan adalah isu yang sudah sangat lama. Kini kita memang harus ikut turun tangan untuk membantu mengatasinya
Baik isu pendidikan dan lingkungan adalah dua hal yang masih menjadi pe-er untuk diselesaikan. Namun, kita nggak bisa hanya berpangku tangan dan berharap pemerintah atau siapa pun dengan power yang lebih besar untuk mencari solusi. Meskipun nggak bisa menyelesaikan semua masalah, kita bisa kok turut turun tangan untuk mengatasi masalah-masalah ini semampu kita. Nggak harus dengan mendirikan sekolah, warung, ataupun klinik yang menerima pembayaran dengan sampah, sesederhana membuang sampah plastik di tempat yang sudah disediakan pun sudah cukup membantu.
Ada banyak cara untuk urun partisipasi dalam mengatasi berbagai isu-isu besar di dunia. Akhsar Foundation, warung makan Mbah Min, dan klinik asuransi sampah dr. Gamal Albinsaid sudah memulai langkah. Kita juga bisa dengan hal-hal paling sederhana yang kita bisa. Yuk, lebih peduli lagi~