Masyarakat mengenal MSG atau Monosodium Glutamat dengan nama micin atau vetsin. Harus diakui kalau reputasi MSG sangat buruk di masyarakat. Banyak sekali mitos seputar penggunaan micin, hingga masyarakat menciptakan istilah "generasi micin" untuk menggambarkan generasi yang bodoh. Wah, benarkan MSG seburuk itu?
Banyak masyarakat tidak tahu, bahwa asam glutamat yang ada di MSG itu ada juga di tubuh manusia dan di alam, misalnya dalam bahan-bahan makanan alami seperti keju, ekstrak kacang kedelai, dan tomat. Glutamat adalah salah satu jenis asam amino, bahan pembentuk protein.
Jadi benarkah MSG itu buruk untuk kesehatan dan menurunkan kecerdasan? Kita sebaiknya tidak mudah termakan informasi yang tidak benar, dan simak penjelasan dokter spesialis gizi klinik berikut!
Apa itu MSG?
Monosodium Glutamate atau MSG telah umum digunakan sebagai bahan penambah rasa masakan sejak puluhan tahun yang lalu. Sejak berabad-abad yang lalu, MSG merupakan penyedap rasa alami yang diperoleh dari hasil pengolahan rumput laut dan kini dengan berkembangnya teknologi, MSG dibuat dari proses fermentasi tepung yang pengolahannya mirip seperti membuat cuka, minuman anggur (wine) ataupun yoghurt.
MSG berbentuk seperti bubuk kristal berwarna putih yang kandungannya terdiri dari 78% asam glutamat dan 22% sodium dan air. Dijelaskan Prof. DR. Dr. Nurpudji A. Taslim, MPH, SpGK(K) selaku Ketua Umum PDGKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Gizi Klinik Indonesia), MSG itu sering disebut garam glutamat karena memang memiliki unsur garam, seperti garam dapur. Di banyak negara, MSG sering disebut sebagai “garam Cina (China salt).
“Jadi kalau kita sehari-hari menggunakan garam untuk memasak, mengapa MSG ini harus dihindari? MSG itu aman, selama digunakan dengan bijak,” jelasnya dalam acara Konferensi Pers yang diselenggarakan PDGKI dan PT Sasa Inti tentang "Penggunaan Bumbu Penyedap Rasa Tidak Membahayakan Kesehatan Jika Digunakan dengan Bijak" di Jakarta (5/2).
Manfaat MSG, Bukan Sekadar Penambah Rasa
Indera pengecap di lidah mengenal lima rasa yakni manis, asam, asin, pahit, dan umami. Umami berasal dari bahasa Jepang yang artinya gurih. Jadi sebenarnya umami ini adalah rasa kelima, yang memang dikenali oleh lidah kita. Umami didapatkan dari MSG.
Selain sebagai penambah rasa gurih, MSG dalam hal ini glutamat memiliki fungsi sebagai penghubung otak ke seluruh jaringan syaraf dan pengendali fungsi tubuh. Sebuah hasil riset pernah dipublikasikan tahun 2015 melalui jurnal terbuka berjudul “Flavour” yang berisikan berbagai artikel mengenai “The Science of Taste.” Dikatakan bahwa rasa umami dapat memperbaiki rasa makanan rendah kalori yang justru dapat menguntungkan bagi kesehatan.
Menurut Prof Puji, di Jepang pernah dilakukan penelitian pada orang lanjut usia dan orang yang jauh lebih lanjut usianya. Mereka diberikan makanan yang ditambah umami. Ternyata penambahan MSG meningkatkan asupan makan orang lanjut usia.
"Mereka kan umumnya sudah mengalami gangguan fungsi indera pengecap. Pemberian MSG menambah rasa di makanan, sehingga para orang lanjut usia ini bisa lebih nikmat menyantap makanan, dan menghindarikan mereka dari malnutrisi," jelas Prof. Puji.
Batas Aman Mengonsumsi MSG
Meksipun aman, namun seperti halnya gula, garam dan lemak, mengonsumsi MSG pun tidak boleh berlebihan. Dampak mengonsumsi MSG berlebihan adalah obesitas.
“Mengonsumsi MSG berlebihan akan menyebabkan resistensi leptin. Leptin adalah hormon yang mengontrol rasa kenyang. Semakin banyak mengonsumsi makanan yang mengandung MSG, orang biasanya tidak bisa berhenti makan. Lama kelamaan terjadi resistensi leptin. Jika tidak bisa lagi mengontrol rasa kenyang, kita akan makan terus dan menjadi kelebihan berat badan,” jelas Prof. Puji.
Cara bijak mengonsumsi MSG adalah dengan membatasi asupannya. “Apapun yang dikonsumsi berlebihan tidak baik. Bahkan air putih pun jika kebanyakan juga berbahaya. Jadi batasi penggunaan MSG sama seperti kita membatasi konsumsi garam, gula, dan lemak,” jelas ahli nutrisi DR. med. dr. Maya Surjadjaja Mgizi, SpGK.
PDGKI merekomendasikan konsumsi MSG dalam sehari tidak boleh lebih dari 10 mg/kgBB atau 0,1 gram/kgBB. Jika berat badan seseorang 60 kg maka ia hanya boleh mengonsumsi MSG 6 gram, atau setara dengan setengah sendok teh dalam sehari.
Kata Prof. Puji, yang menjadi masalah adalah MSG ini banyak ditambahkan di jajanan anak-anak. Hampir semuanya memiliki rasa gurih sehingga pengawasan diperlukan pada anak yang suka jajan agar tidak berlebihan. “Selain itu penderita hipertensi juga sebaiknya mengurangi asupan MSG karena MSG mengandung natrium atau garam,” tambahnya.
Agar tidak berlebihan mengonsumsi MSG, penting untuk membaca label makanan. “Jangan terpengaruh dengan iklan “No MSG” karena bisa jadi justru mengandung banyak garam dan gula, serta bahan tambahan lain.
Di Indonesia sendiri, pengaturan penggunaan MSG dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang diatur dalam peraturan Kepala BPOM RI N0. 23 Tahun 2013 mengenai batas maksimum penggunaan bahan tambahan pangan penguat rasa yang mana pada keseluruhan peraturan tersebut dinyatakan bahwa tidak ada ADI yang spesifik atas penggunaan asam glutamat, Mononatrium L-Glutamat maupun Monokalium L-Glutamat.
Terkait edukasi penggunaan MSG dan bumbu penyedap rasa, PT Sasa Inti melakukan kerja sama edukasi bersama PDGKI. Rencananya edukasi akan dilakukan sdi beberapa kota di Indonesia seperti di Jakarta, Semarang, Surabaya dan beberapa kota besar lainnya.
Albert Dinata, GM Marketing PT Sasa Inti, menjelaskan, “Kami ingin meluruskan persepsi yang kurang tepat yang selama ini berkembang dalam masyarakat. Kami ingin agar masyarakat merasa aman untuk menggunakan MSG dalam masakan, dan mengedukasi bahwa MSG itu terbuat dari bahan alami dan diolah melalui proses fermentasi sehingga selain dapat memperkaya rasa berbagai masakan, MSG juga aman dikonsumsi selama tentunya digunakan dengan bijak”.