Tahukah Anda? Kebiasaan makan nasi putih ternyata bisa mengakibatkan kerusakan lingkungan. Mengapa hal itu terjadi? Padahal, nasi putih tak bisa dipisahkan dari keseharian orang Indonesia dan Asia pada umumnya.
Foto: Pixabay
Selain di Indonesia, banyak orang di Malaysia, Singapura, dan Thailand yang juga mengonsumsi nasi putih sehari-hari. Kenikmatan semangkuk nasi putih hangat dan pulen seolah tak bisa ditolak. Namun, siapa sangka kebiasaan makan nasi putih ternyata berdampak besar pada kerusakan lingkungan. Paul Nicholson selaku kepala penelitian beras dan keberlanjutan untuk Olam International mengatakan, jumlah perhatian yangom diterima nasi untuk masalah ini relatif kecil dibanding besaran masalahnya. Paul menjelaskan, efek pertanian padi global bisa dibandingkan dengan setidaknya 1.200 pembangkit listrik berukuran rata-rata. Atau, emisi karbondioksida tahunan dari bahan bakar fosil di Jerman, Italia, Spanyol, dan Inggris bila digabungkan.
Alasan utama di balik hal itu adalah metode pertanian membanjiri sawah yang masih banyak digunakan. Biasanya, petani akan membanjiri sawah guna menghentikan pertumbuhan gulma. Namun, hal ini ternyata bisa membuat mikroba bawah air membusukkan bahan organik. Proses itu kemudian menghasilkan metana, gas rumah kaca yang 25 kali lebih kuat dibanding karbondioksida. “Kondisi pertanian banjir ini menghasilkan hingga 12 persen emisi global metana,” kata Paul.
Gas metana sendiri berkontribusi hingga seperempat dari pemanasan global yang disebabkan manusia. Berangkat dari temuan ini, Olam International yang merupakan penyuplai beras terbesar kedua di dunia memilih sawah yang punya alternatif lain dalam menanam padi. Mereka tidak memasok beras dari petani yang mengolah sawahnya dengan cara membanjiri air. Salah satu ide yang mereka ajukan untuk membantu petani menghindari efek pemanasan global adalah dengan menerapkan metode irigasi rotasi. Metode ini membasahi dan mengeringkan tanaman secara bergantian dibanding membuatnya terus-menerus dalam keadaan banjir (tergenang).
Petani pun disarankan tidak membakar apa yang tersisa dari tanaman setelah panen. Selain itu, para petani diharapkan menggunakan pupuk organik yang lebih baik untuk lingkungan. Mengingat metode irigasi rotasi membutuhkan waktu dan upaya karena petani perlu dilatih, para peneliti juga tengah melakukan brainstorming untuk menemukan metode lain. Hasilnya diharapkan cepat ditemukan karena konsumsi beras dari negara-negara Barat saat ini juga kian meningkat.