Saya lebih senang disebut sebagai pendidik daripada pengajar” (Prof. Dr. H. Djaali). “Guru itu adalah orang yang mau ikhlas mewakafkan dirinya demi kepentingan murid-muridnya”. Ungkapan bijak ini pertama kali saya dengar saat mengikuti seminar yang diselenggarakan oleh Prodi PGSD FKIP UM.BUTON.
Sebuah ungkapan yang langsung menyadarkan hati saya. “oh iya ya, ternyata guru harus seperti itu”, hati saya berbisik pelan. Ungkapan Prof. Jaali dalam seminar tersebut sejenak membuat saya merenung. Memang seharusnya kita sebagai guru (baca: tenaga pendidik) memiliki sense of high aducare, yang saya maknai sebagai rasa peduli yang tinggi.
Baca juga:
Cara Menumbuhkan Motivasi Belajar Siswa, Guru Harus Tahu Nih
6 Tips Menyambut dan Menghadapi Siswa Baru Agar Merasa Nyaman Serta Betah di Sekolah
10 Cara Menjadi Pintar Yang Efektif, Yuk Praktikkan!
Sebab jika rasa peduli telah hilang, maka mendidik hanyalah sekedar mengajar. Mengajar dalam arti sekedar menyampaikan informasi (baca: yang diisi otaknya saja), bukan lebih kepada keinginan untuk merubah individu secara sempurna (menyentuh domain kognitif, psikomotorik, dan afektif). Karena bagi saya mengajar hari ini jika tidak dibarengi niat yang tulus untuk mendidik, maka ia hanya menjadi sebuah penggugur kewajiban atau penambah asesoris keduniaan. Karena mengajar oleh segelintir orang menjadi sebuah profesi baru dalam menghasilkan pendapatan.
Terlepas dari itu, Ki hajar dewantara memaknai pendidikan sebagai upaya untuk memanusiakan manusia. Ungkapan ini sederhana sekali, namun bagi saya inilah tugas utama guru yang wajib dijalankan. Sebab sebagian manusia masih banyak yang berprilaku bukan seperti manusia. Mereka merusak, mengambil hak orang lain, mencederai bahkan sampai membunuh yang bagi saya tidak jauh berbeda dengan sifat-sifat kebinatangan (baca: kejam). Memanusiakan “manusia” berarti menyadarkan manusia akan tugasnya sebagai Khalifatullah yang memiliki sifat-sifatnya yang baik seperti menjaga, mengelola dan melestarikan alam semesta.
Sebagai guru, kita harus berupaya mengingatkan peserta didik kita untuk kembali mengenal dirinya sebagai manusia yang seutuhnya. Kapan seseorang dapat dikatakan sebagai manusia yang seutuhnya? Menurut hemat saya, seseorang dapat dikatakan sebagai manusia yang seutuhnya saat ia tahu dan sadar bahwa ia memiliki banyak potensi di dalam dirinya.
Salah satu potensi terbesar dan sangat luar biasa yang dianugrahkan Tuhan kepada manusia ialah manusia diberikan “akal dan hati”. Akal dan hati adalah dua dimensi yang ada dalam jiwa manusia yang memiliki fungsi dan peran yang berbeda . Akal berfungsi sebagai alat untuk berfikir, sedang hati berfungsi sebagai alat untuk mengelola rasa. Dua hadiah terbesar ini jika diolah dan dikembangkan dengan baik oleh guru, maka bagi saya kedepan akan lahir dari bangku-bangku sekolah kita pemimpin-pemimpin yang cerdas.
Baik cerdas secara intelektual juga cerdas secara spritual. Untuk itu tugas guru tidak hanya memberikan pengajaran dalam bentuk mentransfer ilmu pengetahuan saja, akan tetapi guru juga harus mulai menanamkan nilai. Baik nilai-nilai agama, budaya, maupun bangsa. Demikian tujuan hakiki dari sebuah pendidikan.