Seorang siswi SMA Negeri 1 Semarang, Anindya Puspita Helga Nur Fadhil, selama ini dikenal sebagai sosok yang aktif dan berprestasi. Karena itu, ia ditugaskan untuk memberi materi kegiatan Latihan Kepemimpinan Siswa (LKS) dan masuk kepengurusan OSIS.
Setelah menjalankan tugas sebagai pemateri, Anin tak lagi dianggap sebagai siswa SMAN 1 Semarang. Ia dikeluarkan terhitung mulai 6 Februari 2018 dan tak lagi berhak menyandang status siswa SMA Negeri 1 Semarang.
Kepada Liputan6.com, Anin mengisahkan peristiwa yang dialaminya diawali dengan menghela nafas panjang. Menurut Anin, tidak biasanya LKS yang selalu dilaksanakan selama dua minggu harus dipadatkan menjadi lima hari saja. LKS adalah agenda tahunan yang digelar OSIS di sekolahnya
"Konsekuensinya, agenda menjadi sangat padat," kata Anin, Senin, 26 Februari 2018.
Usai LKS, agenda pelatihan dilanjutkan dengan Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) pada akhir Desember sampai Januari awal. Lagi-lagi Anin dan panitia harus menggubah jurus untuk memadatkan materi. Tentu dengan materi yang penuh pertimbangan dan mengukur kemampuan peserta.
Pelatihan selesai dan semua selesai. Tinggal badan yang masih penat karena kegiatan yang sangat padat itu.
Belum hilang rasa penat, tiba-tiba tiga orangtua siswa berinisial BT, KR dan NT menghadap Kepala SMA Negeri 1 Semarang. Mereka melaporkan adanya perisakan dan kekerasan yang menimpa anak-anak mereka.
Para orangtua itu memaksa sekolah merazia seluruh ponsel pengurus OSIS. Ponsel Anin ikut diperiksa.Hasilnya, ada rekaman video kegiatan LDK. Dalam rekaman video itu pula, ada yang dianggap berlebihan dan manifestasi tindak kekerasan.
"Sesungguhnya yang terjadi adalah adu argumentasi saat pembekalan LDK," kata Anin.
Sebagaimana perlakuan yang ia terima dulu, panitia mengambil tindakan pendisiplinan terhadap juniornya karena berbuat suatu kesalahan. Akhirnya, panitia menawarkan sanksi apa yang diminta untuk menebus kesalahannya.
"Nah, junior itu yang meminta untuk ditampar. Ingat ya, ini pendisiplinan dan kami menawarkan sanksi apa, dia yang minta. Akhirnya, saya pura-pura menampar, padahal cuma saya puk-puk. Juga junior itu tidak merasa sakit," kata Anin.
Jeda sejenak. Anin kemudian mengambil air minum. Ia menghela nafas panjang lagi. Pengurus OSIS SMA Negeri 1 Semarang ini menerawang
Diusir Guru BK
Anin mengaku kaget ketika 5 Februari 2018 mendapat surat panggilan untuk orangtuanya. Orangtua Anin tiba di sekolah pukul 09.00 WIB. Anin sendiri dipanggil setelah lewat jam 09.00.
"Ternyata saat itu pula saya diminta untuk mengundurkan diri. Sempat ditawari, persoalan ini akan diselesaikan di dalam atau di luar, di dalam maksudnya adalah dengan cara mengundurkan diri, secara luar berarti dikeluarkan. Prinsipnya sama, saya enggak boleh sekolah di SMAN 1 lagi," katanya.
Kisah berlanjut karena bukan hanya Anin yang dipersilakan keluar dari SMAN 1 Semarang. Pada 7 Februari 2018, teman Anin sesama panitia dan pembina LDK, Muhammad Afif Ashor juga mendapat perlakuan sama. Kebetulan yang ada di rekaman video hanya dua siswa itu.
Anin merasa tidak bersalah dan hanya menjalankan tugas sekolah dalam LKS. Karenanya, ia tetap berangkat sekolah. Namun, pada 7 Februari 2018, tiba-tiba Anin diusir dan dilarang bersekolah lagi di SMAN 1 Semarang. Alasannya karena sudah dikeluarkan.
"Saya sudah empat kali diusir sama guru BK, atas perintah kepsek dan Waka kesiswaan 7, 12, 15 dan 21 Februari," kata Anin.
Kisah ini semakin membingungkan Anin dan Afif. Apalagi, junior yang minta ditampar itu tidak melaporkan adanya kekerasan.
"Junior saya bahkan mengaku tidak apa-apa, juga tidak menderita atau luka-luka," kata Anin.
Pipi Anin memerah. Air mata membayang. Ia berkisah bahwa LDK pada generasinya lebih "kejam". Pada LDK sebelumnya, juga ada yang berkelahi, tapi tidak dikeluarkan.
"Itu malah kekerasan beneran. LDK itu sudah di-acc sekolah. Sekolah juga sudah tahu materinya. Saya merasa janggal, karena yang dari junior tidak merasa ada kekerasan dan tidak melaporkan apa pun," kata Anin.
Menyimpan Bara Cita-Cita
Ketika dianggap ada ketidakadilan, solidaritas akan terbentuk. Dikeluarkannya Anin dan Afif membuat teman-temannya yang terlibat LDK tidak terima. Mereka menilai sekolah berlaku sewenang-wenang.
"Saya tidak melakukan kesalahan apa-apa. Bahkan saya tidak pernah mendapatkan poin. Tapi tiba-tiba saya dapat poin 120, Afif 135. Maksimal 101 dikembalikan ke orangtua. Ini poin apa? Pemberian sanksi kan mestinya bertahap," kata Anin.
Setelah dikeluarkan, dia mengaku disuruh pindah ke SMA Nasional, yang katanya banyak anak nakal. Meski pihak sekolah mengatakan akan dipilihkan SMA 11 atau 13.
"Saya malah tidak tahu kalau saya dipindah ke SMA 11. Lha saya tidak rela. Masuk SMA 1 kan tidak mudah," katanya.
Saat ini, ia tetap belajar dirinya di rumah dengan teman-teman yang sering berkunjung ke rumahnya. "Saya harus bertahan karena tidak salah. Karena saya masih memimpikan kuliah ke Undip atau UGM jurusan teknik sipil atau elektro. Kalau tidak, pengin ke Akpol," kata Anin.
Bibirnya mulai tersenyum saat bercerita tentang prestasinya. Anin menjabat Kasubsi Satgas Antinarkoba di OSIS. Selain itu, dia juga seorang atlet voli dan pernah menang mewakili sekolah juara dua tingkat kota.
"Bapak saya penjual roti keliling ke pasar-pasar dan warung-warung. Kalau ibu di rumah saja," kata anak ketiga dari empat bersaudara itu.
Sejumlah Kejanggalan
Sementara itu, Darsini, ibunda Anin mengaku syok. Ketika dipanggil sekolah, dia pikir ada rapat. Namun, ia hanya disodori surat pengembalian anak setelah sebelumnya disuruh melihat rekaman yang disebut video kekerasan.
"Cuma kayak gitu. Tiba-tiba pihak sekolah mengaitkan kejadian itu dengan kematian Bintang. Sayang langsung syok dan pingsan. Tidak percaya. Beberapa saat bisa bangun. Dan kembali diomongi bahwa video itu ada kaitannya dengan kematian Bintang, saya pingsan lagi," kata Darsini.
Yang dimaksud Darsini adalah Bintang Pramudya yang meninggal di Kolam Renang, Komplek GOR Jatidiri, Jalan Karangrejo Raya, Gajahmungkur, Kota Semarang, pada Minggu, 7 Januari 2018.
Kasus kematian Bintang oleh polisi disimpulkan sebagai kecelakaan air karena sedang berlatih loncat indah. Tak ada kaitan dengan LDK.
Peritiwa ini mengacaukan irama kehidupan keluarganya. Banyak yang terbengkalai karena suaminya harus rapat, sedangkan kerja cari nafkah harus terus jalan.
"Ini yang penyuplai barangnya mau kembali, padahal barangnya dibutuhkan untuk jualan Bapak," kata Darsini.
Tedi Bara, salah satu dari orangtua tujuh siswa yang diskors, mengatakan anak-anak mereka dikenai sanksi karena tata tertib yang tak jelas. Dijelaskan bahwa pada pasal 24 peraturan sekolah, sanksi diberikan bertahap.
Pertama, peringatan langsung atau lisan kepada peserta didik. Berlanjut peringatan tertulis kepada peserta atau wali peserta didik.
"Jika peserta didik yang melakukan pelanggaran beberapa kali diperingatkan tidak bisa baru kemudian diserahkan kepada kepala sekolah," kata Tedi.
Peraturan itu juga tak membahas soal poin. "Gampang banget mengatakan salah cetak. Peraturan kayak gini. Kalau mau dilegalkan ya ditata betul. Siswa dikasih satu per satu. Kenyataannya siswa banyak yang belum menerima," kata Tedi. Saat ini, anaknya empat hari belajar di ruang BP. Tidak boleh masuk kelas, tapi tidak tahu akan diberlakukan kapan.