Guru Budi, Dilan, dan Kartu Kuning Jokowi, Potret Generasi yang Terlahir "Aborsif"

Oleh : - 21 February 2018 13:00 WIB

Pasca peristiwa terbunuhnya Ahmad Budi Cahyono (kemudian lebih dikenal sebutan Guru Budi) dunia  pendidikan nampak terkejut dan sedikit shock. Orang baru sadar bahwa mimpi buruk itu menjadi kenyataan. Wajah Pendidikan diIndonesia mendadak bopeng-bopeng dan lebam. Semua habitus mulai penggiat pelaku dan tak terkecuali pengamat pendidikan dibuat terperanga. Mereka secara serentak ramai-ramai mengecam dan mengutuk sang pelaku pembunuhan yang tidak lain adalah anak didiknya sendiri.

Kalayak mendadak secara kompak  memakai dua jenis kacamata pandang yang berwarna hitam dan putih. Yaitu terkelompokkan dalam sudut pandang menghakimi pelaku sebagai sang durjana, dan sebaliknya memposisikan korban sebagai pahlawan yang harus dijunjung tinggi nama dan jasa-jasanya.

Namun sayangnya musibah  dalam kasus tersebut tidak menyisakan sebuah ruang "refleksi serius" bagi dunia pendidikan yang sedang sekarat. Tersebab dari sang pengampu kebijakan pendidikan sendiri yaitu para menteri terkait dan jajarannya tidak menganggap kematian Guru Budi adalah "malapetaka" tetapi dianggap sebuah bentuk kekhilafan saja.

Sehingga setelah tragedi tersebut kita tidak menemukan satu tekad yang dapat dijadikan antitesa  dari rapuhnya mentalitas dan moralitas pendidikan kita yang sudah begitu mengkuatirkan. Padahal harapannya tragedi itu akan menjadi prasasti penting bagi bangsa ini untuk berbenah kearah revolusi  sosial kebudayaan yang dicita-citakan oleh foundhing fathers kita. Bukan hanya berhenti dalam jargon sepereti sekarang ini.

Lantas benarkah penilaian yang sudah dianggap umum dan lumrah adanya tersebut menjadi sebuah silabi yang tidak perlu ditinjau ulang. Inilah masalahnya. Padahal kalau direfleksikan secara serius kasus terbunuhnya Guru Budi ditangan muridnya sendiri adalah adalah sebuah tragedi serius mengenai "jungkir balikya" sistem nilai dalam dunia pendidikan.

Karena keduannya baik itu si pelaku ataupun korban dari peristiwa tersebut sama-sama jadi "korban sistem" Pendidikan di Indonesia yang "kedodoran"dan tidak tuntas memahami potret sosial masyarakat kekinian yang pelik komplek dan mengglobal. Lembaga pendidikan semakin eksklusif dengan dengan realitas kebudayaan yang mengepung dan melingkupinya. Seolah ada fakta yang terpisah antara dunia pendidikan dengan dunia nyata ada diluarnya. Dan memang dirasakan ada kesengajaan yang terselebung antara tuntutan dan pencitraan dalam dunia pendidikan hingga sekarang.

Memang benar adanya bahwa  cara pandang sekaligus model berfikir masyarakat  adalah sebuah hasil dari produk sistem pendidikan yang sempat melahirkannya. Paradigma dan sudut pandang manusia terhadap dirinya,lingkungan dan sesamannya  tidak bisa terlepas dari induknya kebudayaan yang pernah mengandungnya.

Logika orang mengandung dipastikan adalah hasil dari sebuah perkawinan dua sejoli manusia pada altar suci pernikahan. Lantas pada saatnya sang janin membesar dalam buaian kasih sayang sang ibu kemudian pada hari yang telah ditentukan  sang bayipun terlahir kedunia. Perlu diingat bahwa pada proses kelahiran si jabang bayipun juga tidak bisa dilepaskan oleh peran penting dari sang bidan. Sehingga pada akhirnya sang bayipun lahir dengan selamat.

Demikian juga proses lahirnya sebuah generasi sekarang atau yang akrab disebut dengan Generasi Millenial  juga dikandung dan dilahirkan oleh sistem tertentu yang mana pendidikan adalah salah satu yang pernah menjadi "rahimnya". Kita boleh bertanya dengan alur berfikir seperti diatas.

Harus segera kita telisik secara jeli dan cerdas tentang sosok seperti apakah sistem kebudayaan yang sempat mengandung dan melahirkan sang generasi baru tersebut. Siapa juga sosok yang sempat menjadi bapak dari anak-anak kebudayaan tersebut. Apakah proses kelahiran sijabang bayi tersebut adalah buah dari hubungan yang didasari saling cinta atau berdasarkan keterpaksaan.  Atau bisa juga hasil dari perselingkuhan ataupun hubungan sepihak yang tidak diinginkan oleh sang ibu. Inilah pertanyaan-pertanyaan yang luput dari kesadaran banyak orang yang sempat hidup di zaman kekinian.

Sudah hampir dua dasawarsa terhitung pasca rezim orde baru,  bangsa ini sudah lupa dan melupakan jati dirinya. Gerak dan laju pemerintah hanya dipacu ,oleh logika kerja dan angka. Sebuah cara pandang yang dibangun diatas pondasi pragmatis.  Cara pandang demikian kemudian meletakkan  manusia dan derita akan beban  hidup tidak pernah dihayati dengan kepekaan hati nurani yang selalu berdenyut disaat menyepakati sebuah kebijakan. Faktanya jutaan derita manusia hanya disimpulkan dalam rumus ekonomi makro dengan sederet angka statistik yang rumit dan kering akan keberpihakan.

Baca juga :Apa Yang Salah Dengan Generasi Muda Kita?

Era Gemilang  yang sulit  terulang.

Sepeninggal para begawan dan para  bangsawan tulen sebutlah orang-orang seperti Goes Dur, Romo Mangun Widjaya, Umar Kayam , WS rendra serta tokoh-tokoh pembaharu yang lain nampak jelas bahwa  perjalanan bangsa ini seperti melaju tanpa rem dan tidak peduli dengan adanya rambu-rambu moralitas tradisi yang luhur dan beradab. Para tokoh yang  tersebut diatas adalah  orang-orang yang sempat menjadi "bidan" dari proses lahirnya orang-orang kritis dan peduli akan nasibnya republik serta generasi kedepan.

Untaian Pemikiran dan kritik yang tajam yang mereka lontarkan kemudian menjadi khasanah pemikiran sekaligus membuka cakrawala baru bagi dunia pergerakan. Gagasan  dan konsep tentang demokrasi terasa hidup dan penuh dengan sejuta makna. Terbukti dengan  merebaknya gerakan pemikiran yang begitu produktif merembes dan masuk tak terbendung keberbagai lokus dalam latar wacana dunia pemikiran yang tidsak jarang menjadi rumus bagi  teori-teori sosial yang paten. Tak heran jika menjamurnya banyak forum dan organisasi perlawanan kritis terhadap rezim pada waktu itu juga terinspirasi dari buah pemikiran para tokoh sang begawan yang saya sebut diatas.

Sungguh beruntung bagi orang-orang yang secara lahiriah pernah terlahir dan sempat merasakan "momongan dan belaian" orang-orang hebat diatas. Karena  Hampir semua peristiwa penting dan strategis yang tertoreh dalam lembaran sejarah bangsa adalah juga tidak lepas dari besutan serta "tirakatan pemikiran" para begawan tersebut.

Biarpun diantara mereka tidak selalu ketemu  dalam satu meja, ide dan gagasan yang mumpuni seolah terjalin  secara apik dan bernas. Kekuatan dan niat suci mereka selalu gayung sambut dengan kemauan serta keberanian generasi muda pada waktu mempunyai "ghiroh " perubahan bangsa yang begitu meluap---luap.  Ada sensor motorik yang selalu nyambung kemudian membentuk lingkar atmosfer pergerakan yang tak tertahankan.

Seperti halnya  Imajinasi tentang Dilan sebagai sosok fenomenal pemuda dalam novel yang ditulis oleh Biki Baiq. Novel ini juga sedikit banyak terilhami oleh tokoh-tokoh dizamannya yang secar kebetulan  setting sejarah dalam novel tersebut muncul diera 1990 an . Hal itu bisa kita amati dari sepenggal cerita yang sempat secara jelas menunjukkan bahwa sosok Dilan Memajang potretnya Tokoh Revolosioner Iran Yaitu Ayathulloh Rukhullah Khomaini. Seorang tokoh pejuang kemerdekaan sekaligus mampu menggulingkan Pemerntahan dikatator tiran Rheza Pahlevi.

Tidak salah  dan berlebihan jika sang Biki Baiq berupaya menghadirkan kembali sebuah "pergumulan aneh"  era 90-an tersebut ketengah zaman sekarang. Yaitu sebuah zaman yang boleh dibilang diliputi oleh atmosfer sosial yang heroik, menegangkan dan penuh dengan mozaik pergolakan sosial yang altruistik.

Bisa juga sang penulis juga lagi merindukan era yang oleh sebagian orang disebut sebagai momentum kebangkitan sekaligus lahan subur bagi benih-benih pemberontakan terhadap rezim-rezim kemapanan kala itu. Sehingga nampak paradok ketika impian dan lamunan  era 90-an jika dikontraskan dengan latar Zaman kekinian yang penuh sesak dengan peradaban  serba kulit, datar dan cenderung norak tapi sepi jika dikuliti isinya. Kecenderungan Orang hannya sibuk bicara tentang kesuksesan, eksistensi, cenderung primmordial dan latah.   

kartu kuning Jokowi adalah fenomena anak ingusan.

Hingga diujung laga perdebatan wacana politik kekinian ala Jokowi, publik lagi disuguhi tontotan Pro kontra tentang  adegan yang pasca pelontaran kartu kuning JOKOWI dinilai aksi yang fenomenal. Seluruh media massa tak terkecuali media sosial hampir dua pekan berjalan terus memberitakan tanpa bosan. Seolah aksi yang dilakukan oleh ketua BEM UI tersebut menjadi aksi yang spektakuler.

Padahal jika disimak dan dicermati dari muatan konten kritiknya tidaklah menyerempet pada portal kekuasaan politik Jokowi. Sebutlah misal sampai pada narasi yang berbau subversif seperti lontaran kata-kata seruan untuk "mundur atau turunkan" seorang Jokowi.

Menurut penulis tidak ada yang istimewa dari aksi nekadnya seorang zaadittaqwa. Hanyalah ketepatan momentum peristiwanya dan gorengan media yang kemudian menjadikan ulah ketua BEM UI tersebut menjadi trending topik hingga sekarang.

Labih-lebih ketika kelompok kontra terhadaap Jokowi maka akan menjadi angin segar untuk ikut meramaikan tariannya issu tersebut untuk dijadikan pintu masuk bagi kritik yang lebih luas terhadap kinerja Presiden Jokowi.

Sehingga cukup menggelikan ketika sekelas Amin Rois yang konon dijuluki salah satu tokoh reformasi juga ikut-ikutan menanggapi dengan narasi dialektika yang tidak cerdas dan kekanak-kanakan. Tokoh inipun juga tidak ketinggalan menyemprit Jokowi sembari menyerankan untuk memberikan kartu Merah terhadap kinerja Jokowi selama tiga tahun terakhir.

Makhlum akhirnya si zaadit terperangkap dalam pesona populeritas bak sleberitis dan artis dadakan. Bukannya menjadi sebuah titik picu yang memancing bentuk aksi pemikiran kritis yang berdampak pada dunia pergerakan Mahasiswa..

Ulah si zaadit akhirnya berghenti pada ratting populeritas didunia medsos. Apalagi setelah berita tersebut diendus dan diolah oleh Mata najwa sebagai barometer viral tidanya sebuah berita, sempurnalah bahwa ia  kemudian terkotak dalam "pelukan manja" mata najwa.

Lebih jauh jika model euforia dan genitnya berita tentang aksi kartu kuning Jokowi diletakkan sebagai kritik pada penguasa akan terasa hambar dan tidak signifikan.

Selebihnya, aksi personal tersebut sedikitpun tidak mampu menembus keranah perdebatan pemikiran serius dan subtansial.  Idealnya jika membicarakan gerakan mahasiswa dalam sejarah peergolakan bangsa maka kita seharusnya disuguhkan satu bentuk gelombang gerakan Pemikiran dan pencerahan terhadap bu ntunya siistem ekonomi Pemerintah serta memberkan angn segar bagi perubahan perekonomian politik mayoritas rakyat jelata..

Gerakan Pemikiran Mahasiswa seharusnya masuk keranah kritik oto-kritik terhadap haluan pradigma Politik ekonomi yang cenderung dan condong mengarah pada kuasa  korporatisme ekonomi yang pro pasar. Karena senyatanya ruang ekonomi mayoritas rakyat selalu kalah bertarung dalam kaidah pasar bebas.

Padahal teori ekonomi yang dikembangkan sebagai program  Pemerintah sudah saatnya menerepkan konsep kedaulatan ekonomi yang totalitas.Yaitu  Perubahan ekonomi yang bertitik tumpu pada mendayagunakan potensi kemandirian dan kekuatan sosial ekonomi Politik kerakyatan. Cara pandang  ini lebih dikenal dengan konsep aglomerasi yaitu sebuah upaya yang menjadikan rakyat menjadi "pemain utama dan sobyek dari pengembangan strategis ekonomi bangsa.

Pada konteks inilah seharusnya Blok politik independen Mahasiswa masuk menjadi kekuatan penyeimbang  dengan terus menyuarakan geliat penderitaan ekonomi dalam spketrum idiologi ekonomi pro kerakyatan. Selain melakukan resistensi kritik wacana sambil melakukan networking  kesemua organ Pergerakan  Mahasiswa dilevel nasional untuk melakukan pembelaan dan pendidikan politik ditingkat rakyat jelata.

Jika realitas empiris kondisi ekonomi rakyat dijadikan pintu masuk oleh gerakan mahasiswa maka tidak menutup kemungkinan ruang oposisi yang hari ini masih " kosong" akan menjadi momentum strategis untuk mengembalikan eksistensi gerakan Mahasiswa yang sudah lama terpuruk dan mati  suri.

Tag

Artikel Terkait

Kuis Terkait

Video Terkait

Cari materi lainnya :