Makanan berlemak atau yang mengandung banyak minyak sering dikambing-hitamkan sebagai penyebab gagal diet dan kegemukan. Paling tidak, pernyataan ini salah satu yang saya percayai. Secara genetis, saya termasuk orang yang gampang gemuk, tapi gampang juga kalau mau menurunkan berat badan.
Dalam dua tahun terakhir berat badan saya naik hingga 12 kilogram, dari 45 kilogram menjadi 57 kilogram. Selama ini, memang sudah lelah dan "bodo amat" dengan yang namanya diet. Apalagi saya hobi kulineran, terutama makanan-makanan kekinian yang penuh minyak jahat.
Selain menghindari makanan yang digoreng, makanan berlemak juga harus dicoret dari daftar. Langkah pertama yang saya lakukan adalah mengganti minyak kelapa dengan olive oil. Meski demikian, menu yang dikonsumsi masih sebatas tumis-tumisan dan masakan yang tak banyak memerlukan minyak seperti orek telur.
Dari segi rasa, tidak ada yang berbeda. Masih bisa makan dengan porsi biasa dan menutup rasa lapar. Tapi,, saya baru sadar, mayoritas makanan yang ada di sekitar kita itu digoreng. Bahkan, tahu yang ada di bakso masih digoreng walau berkuah.
Belum lagi batagor, ayam penyet, gorengan, sampai telur. Semuanya digoreng. Itu pun menggunakan minyak yang warnanya sudah kehitaman dan gak tahu bagaimana kualitasnya. Seketika langsung merasa berdosa dengan tubuh sendiri.
Menurut ahli gizi dari Institut Pertanian Bogor, Ali Khomsan, minyak atau lemak tetap dibutuhkan tubuh. "Ada beberapa vitamin seperti A, D, E, K yang larutnya dalam lemak. Sehingga, kita tetap butuh sumber minyak," katanya saat dihubungi, Kamis, 1 Februari 2018.
Sumber minyak yang dimaksud bukan berarti makanan yang digoreng. Banyak jenis makanan yang mengandung lemak alami. "Telur rebus misalnya. Walau gak digoreng, dia tetap menyimpan minyak dan itu bisa memenuhi kebutuhan lemak tubuh," kata Ali.
Gejala yang paling terasa adalah badan jadi lemas dan rasa lapar gila-gilaan. Padahal porsi nasi masih normal, hanya mengganti lauk berupa sayur tumis dan telur orek yang menggunakan olive oil.
Ternyata ini merupakan respon tubuh terhadap perubahan pola makan baru yang belum terbiasa. Menurut Ali, sebenarnya tugas karbohidrat dan lemak saling beriringan, sama-sama sumber energi yang besar buat tubuh. "Kalau kekurangan karbo, tubuh akan ambil energi dari lemak, begitu pula sebaliknya," tutur Ali.
Akhirnya, saya banyak makan camilan di tengah hari untuk menghindari lapar. Di hari ketiga, snack berubah menjadi buah-buahan seperti apel, pir, dan buah naga. Hasilnya lumayan membantu, bikin tetap kenyang, tapi gak galau soal naik berat badan.
Setelah hari ketiga, saya mulai terbiasa mengubah porsi dan jenis makanan. Tiap lapar, biasanya langsung minum air putih, walau kadang makan biskuit. Yang dulunya gak bisa nahan makan berat di malam hari, sekarang mulai terbiasa mengganti menu jadi buah.
Ternyata, hal ini membuat badan makin enteng karena buang air besar jadi teratur. Sebelumnya, BAB saya bisa dua atau tiga hari sekali. Dulu tiap bangun pagi bawaannya ngantuk dan lemas, terus perut terasa gak nyaman. Kalau di kantor, duduk sambil menyilangkan kaki dua menit saja sudah kesemutan, tapi sekarang gejala itu berkurang.
Senangnya lagi, penulis berhasil turun berat badan sampai dua kilo dalam sepekan. Karena sudah terbiasa makan menu yang gak digoreng, ada perasaan enek dan mual waktu makan gorengan lagi. Semacam ada perasaan "bersalah".
Mungkin bisa jadi sugesti juga, karena sudah merasakan badan yang enak banget tanpa minyak goreng. Akhirnya sudah berpatok kalau minyak gak baik buat badan. Usai sepekan, saya mencoba makan fastfood pas nongkrong bareng teman kantor. Tapi, besoknya perut agak diare dan berat badan naik satu kilogram.
Sesuai standard, dalam sehari, seseorang bisa mengkonsumsi lemak maksimal 67 gram, baik alami mau pun tambahan. Ali menjelaskan, rata-rata orang Indonesia mengkonsumsi lemak sekitar 25-30 gram per hari. Mengatur porsi lemak sangat penting demi menghindari kegemukan atau obesitas. Nantinya kegemukan bisa memicu penyakit lain, seperti kolesterol, jantung, dan stroke.
Ali menurutkan sumber lemak alami yang baik berasal dari tumbuhan. Misalnya biji-bijian dan buah seperti alpukat. Produk hewani mengandung lemak jenuh tinggi yang tak baik bagi tubuh, kalau berlebihan. Kata Ali, tidak ada makanan khusus yang bisa menghancurkan lemak lebih cepat. Pencernaan lemak bakal terjadi secara alami menggunakan enzim dalam tubuh. Yang perlu kita lakukan adalah mengontrol jumlahnya yang masuk.
Ia juga memberikan tips kalau minyak goreng sebaiknya digunakan maksimal sebanyak 3-4 kali, sebelum akhirnya harus dibuang. Kalau tidak, kita bisa terkontaminasi efek buruk lemak jenuh.
Secara keseluruhan, saya akan meneruskan kebiasaan makan buah dan makan rendah lemak ini. Memang di awal gak akan semudah kelihatannya. Tapi percayalah, kalau sudah jadi rutinitas, semuanya bakal berjalan normal. Hasil yang didapat juga gak bakal mengecewakan.
Kalau kamu punya pengalaman serupa, jangan lupa tulis di kolom komentar, ya!