Beberapa waktu lalu, banyak kasus siswa yang melawan guru beredar di masyarakat luas. Berita ini tentu meresahkan berbagai kalangan, terutama guru, orangtua, dan para peserta didik. Kasusnya pun beragam sekali jenisnya. Sebut saja guru yang dipidana orangtua karena mencubit siswa, foto siswa yang bersikap kurang pantas pada gurunya, dan masih banyak lagi. Sebenarnya apa yang jadi penyebab siswa suka melawan?
Menjadi pendidik memang butuh tenaga ekstra untuk menghadapi bermacam-macam karakter. Ada yang kalem, biasa-biasa saja, pemberontak, bahkan pembuat onar. Nah, siswa 'trouble maker' inilah yang biasanya jadi keresahan para guru. Ruang kelas bisa jadi riuh dan tidak kondusif karena ulahnya. Ini jelas mengganggu proses belajar mengajar di kelas. Jika guru justru ingin 'menyerang', masalah ini tidak akan selesai. Yuk, jadi guru cerdas yang tahu kiat menghadapi siswa yang suka melawan!
1. Sedikit kelonggaran
Cobalah beri sedikit kelonggaran dalam aturan. Hal ini mungkin terkesan Bapak/Ibu "mendukung" pemberontakan siswa. Namun, tujuannya adalah agar tidak terlalu memusingkan hal-hal kecil. Tetap berkomitmen dengan aturan yang penting, seperti saling menghormati, melakukan hal yang benar, serta tidak merugikan pihak lain, dan sebagainya.
Misalnya saja ketika siswa menggunakan topi di kelas dan itu melanggar aturan sekolah, Bapak/Ibu dapat mengatakan, “Saya juga pernah jadi siswa. Beberapa peraturan terlihat sedikit konyol. Selama pengawas tidak ada, kamu boleh menggunakannya di kelas. Tapi jika mereka datang, kamu harus melepaskannya.”. Hal ini memberikan siswa pemberontak fleksibilitas dalam aturan, dan lebih merasa bahwa Bapak/Ibu berada di sisi mereka.
2. Pendekatan
Di sekolah, Bapak/Ibu adalah jalur utama untuk berhubungan dengan siswa. Oleh sebab itu, perlu kemampuan membaca tanda-tanda yang ditunjukkan siswa, juga harus mau terlibat pada setiap tindak-tanduk siswa. Hal yang harus dipahami, penyebab siswa melawan bisa jadi karena adanya perasaan bahwa dunia tidak memihak mereka. Banyak siswa yang sebenarnya bermasalah di rumah, lingkungan, dan sekitarnya dan membuat mereka merasa tidak ada cita-cita, hidup hampa, depresi, bahkan ada yang sampai berniat bunuh diri. Jangan sampai siswa mencapai titik tersebut.
Di sinilah betapa pentingnya peran Bapak/Ibu untuk mereka. Jadilah sosok yang selalu ada ketika siswa membutuhkan, sehingga mereka dijauhkan dari pikiran-pikiran yang akan membunuh karakter. Coba dekati mereka secara perlahan, sehingga tumbuh rasa percaya siswa pada Bapak/Ibu. Dengan adanya kedekatan, Bapak/Ibu akan lebih kenal dengan karakter asli para siswa. Juga, lebih memahami apa penyebab dibalik sikap-sikap kurang menyenangkan. Jika sudah paham, maka Bapak/Ibu jadi lebih sabar dan tahu bagaimana menanganinya.
3. Koordinasi
Acapkali berbagai informasi yang diperlukan berasal dari orangtua siswa. Nah, untuk kiat yang satu ini memang agak tricky. Bapak/Ibu tentu tidak mau siswa merasa terancam jika ada kedekatan dengan orangtua mereka. Rasa percaya siswa pun bisa luntur karena mereka pikir Bapak/Ibu akan melaporkan rahasia yang sudah mereka percayakan and vice versa. Triknya adalah pastikan hal-hal yang perlu dilaporkan pada orangtua sekiranya bisa mencegah hal-hal membahayakan bagi siswa. Misalnya, kalau hal yang diceritakan siswa agak riskan, Bapak/Ibu bisa langsung memberi tahu orangtua terlebih dahulu untuk pencegahan.
Selain itu, ceritakan juga pada orangtua jikalau ada perkembangan positif yang dilakukan siswa. Dengan demikian, orangtua akan lebih membuka tangan untuk bekerjasama dengan Bapak/Ibu. Bahkan, sebaiknya Bapak/Ibu bisa jadi jembatan perekat antara orangtua dan siswa. Tidak ada salahnya kok sesekali memberi masukan pada pola asuh terhadap siswa di rumah tanpa menggurui. EIts, tidak lupa untuk minta masukan dari orangtua juga ya.
4. Problem solver
Bapak/Ibu tentu menghindari adanya perilaku kekerasan di dalam kelas. Jadi, cobalah untuk menjaga komuniksi dengan siswa yang memberontak, dan tunjukkan bahwa Bapak/Ibu tetap menghargai mereka. Meskipun mereka sempat melakukan kekerasan. Seringkali yang jadi masalah adalah siswa merasa dipandang sebelah mata oleh banyak pihak. Jadi, mereka tidak tahu harus berbiara dengan siapa dan bagaimana harus bersikap. Jadi pendengar yang baik walaupun sikap mereka kurang bisa ditolerir. Sampaikan dengan kalimat positif dan hentikan memberi cap “bandel/nakal” pada siswa. Ubahlah menjadi “Saya rasa apa yang orang katakan tentang kamu tidak benar. Kamu jauh lebih baik dari apa yang orang pikirkan”. Dengan demikian, siswa akan tersentuh hatinya karena merasa ada orang yang masih percaya padanya. Perlahan, siswa akan paham bahwa tidak seharusnya mereka bersikap tidak menyenangkan.
Jika sampai terjadi kekerasan, misalnya ada siswa yang memukul siswa lain, sebaiknya jangan langsung menghakimi si pelaku. Coba tanya baik-baik, apa yang ada di pikiran mereka saat menerima ejekan, diganggu, dan sebagainya. Berdiskusilah dengan bijak tentang apa yang bisa dilakukan siswa untuk mengontrol perasaannya ketimbang jadi hakim. Jangan lupa tunjukkan bahwa Bapak/Ibu tidak setuju dengan perilaku negatif mereka ya. Jika disampaikan dengan cara yang tepat, niscaya siswa akan menurut.
5. The power of trust
Berikan siswa sebuah tanggung jawab dan percayakan padanya. Bisa dimulai dari hal-hal kecil seperti meminta bantuannya membawakan buku-buku ke ruang guru, menjadikan ia pemimpin dalam kelompok, dan sebagainya. Hal-hal tersebut akan membuatnya merasa lebih percaya diri. Jika siswa berhasil melakukan tugasnya dengan baik, jangan ragu untuk beri pujian. Apabila hendak menegur, gunakan kalimat seperti ini “Minggu ini Bapak/Ibu lihat kamu banyak kemajuan. Kamu bisa pertahankan ya? Bapak/Ibu percaaya kamu pasti bisa pilih hal yang baik untuk dirimu dan lingkunganmu.”
Sekian 5 kiat agar Bapak/Ibu bisa mengatasi siswa yang suka melawan. Semua kiat di atas tentu harus didukung dengan komitmen penuh dan introspeksi. Lihat lagi ke dalam diri, apa cara mengajar yang Bapak/Ibu aplikasikan sudah sesuai, membuat siswa nyaman atau tidak, dan lainnya. Semoga kiat-kiat tersebut bisa membantu ya. Happy teaching!