Wajan antilengket diletakkan di atas kompor. Gas dinyalakan membuat api birunya keluar. Beberapa mililiter minyak kelapa dituang. Tidak, beberapa mililiter lagi rupanya. Setengah ragu memilih butiran-butiran telur dalam lemari es. Setelah terpilih, butir telur dipecah dengan membenturkan cangkangnya di sisi tepi wajan dan digoreng hingga menimbulkan bunyi ‘plok’. Secara alami, putih telurnya membentuk kontur wajah yang lucu dengan kuning telur menyerupai mata sapi.
Serius sekali tampaknya ia meracik telur ceplok layaknya menu hidangan spesial sebuah restoran berbintang. Keningnya sedikit berkeringat, tapi tak acuh dan hanya mengusapnya dengan punggung telapak tangan.
Lalu ia meraih stoples kecil tempat garam, setengah ragu menjumput sedikit bubuk garam dan menabur rata di atas telur ceplok itu. Tapi, keningnya berkerut. Tak mantap, ia lalu menambahkan sedikit lagi.
Gas dimatikan. Gagang teflon diangkat. Telur ceplok itu lalu ditiris di atas piring. Belum berhenti, beberapa lembar daun selada, potongan tomat merah, dan taburan bubuk lada hitam melengkapi hidangan sarapan pagi itu. Sempurna.
Ia, perempuan yang masih muda, sekitar dua puluh empat tahun, mengambil tempat di seberang meja. Ia adalah istri sang suami, laki-laki yang masih sibuk dengan koran pagi yang dibaca. Atmosfer berita dari televisi menyala, samar terdengar. Ragu, ia mencoba memberi tahu sang suami, “Sarapan sudah siap, Mas….”
Sang suami menurunkan koran pagi yang dibacanya. Ia adalah laki-laki yang juga masih muda. Penampilannya rapi dengan setelan kemeja kerja. Ia menyeruput sedikit teh hangat sebelum memulai sarapan. Sedang itu, istrinya menunggu cemas seperti juru masak yang masakannya sebentar lagi akan diuji layak sajinya. Sang suami mulai menikmati masakan istrinya yang menunggu cemas karenanya.
Sang suami tampak ragu untuk berkata, “Kamu… lupa garamnya lagi, ya?” Akhirnya reaksi itu datang juga. Reaksi yang membuat nyala mata perempuan itu padam seketika. Pundaknya langsung turun lemas. Ia terpaku. Senyumnya memudar. Sia-sia. Usahanya pagi itu untuk menyenangkan sang suami dengan sarapan telur ceplok buatannya gagal tak tersisa. Dan, sang suami tak menghabiskan sarapannya. Ia segera beranjak. Mendekati sang istri. Mencium keningnya sambil berkata, “Aku terlambat pulang lagi, nanti.”
Selama beberapa puluh detik, perempuan itu jadi diam. Samar mendengar mesin mobil sang suami menyala di luar sana, pergi berangkat bekerja. Perempuan itu mencoba mencari napas, tapi tak ketemu di mana. Ia menahan sesak di dada. Ruang jadi sunyi karenanya. Ia menatap bisu sarapan pagi sang suami yang tersisa, mencicipi apakah benar lupa garam. Ia terenyak. Televisi masih samar menyiarkan berita.
JALANAN RAMAI lalu-lalang kendaraan dan panas yang membakar kota. Langit biru menggantung pasi pucat di atas sebuah rumah dengan aksen Jawa kental di arsitekturnya. Perempuan itu sudah ada di depan pintu utama. Setelah mengatur napas, ia mencoba mengulum senyum untuk kemudian mengetuk daun pintu. Sesaat, seseorang muncul.
Ibu mertua, perempuan matang sekitar empat puluh lima tahunan. Ia terkejut dengan kedatangan anak menantunya. “Oalah, Nduk, cah ayu. Kamu, tho….” Tangan kanan ibu mertua dicium.
Foto-foto di dinding ruang memperlihatkan potongan-potongan gambar sang suami tercinta: waktu masih kecil, waktu sekolah, hingga ketika wisuda, dan potongan gambar… pernikahan mereka, membuat perasaan perempuan itu hampa.
Secangkir minuman ibu mertua letakkan di atas meja, membuyarkan tatapan sendu menantunya yang seketika menoleh dan duduk berhadap-hadapan.
“Diminum dulu,” ibu mertua menawarkan minuman.
“Tidak usah repot, Ibu. Saya kan bisa buat minuman sendiri….”
Ibu mertua menangkap nada bicara menantunya yang berat itu.
“Kamu itu. Kan, jarang-jarang, anak menantuku yang cantik ini datang berkunjung. Janur gunung. Ada maksud apa tho datang pada hari yang tak biasa. Suamimu baik-baik saja, ‘kan?”
Bukannya langsung menjawab, perempuan itu malah mengambil cangkir minuman yang disajikan, meneguk beberapa kali. Lalu ia meletakkan kembali cangkir itu di atas meja. Menunduk.
“Nduk… kamu ada masalah dengan suamimu, Cah Ayu?” Ibu mertua mulai khawatir karenanya.
Perempuan itu lalu malah terisak dan akhirnya ia mengangguk juga.
“Cerita sama Ibu, Nduk. Siapa tahu Ibu bisa membantu,” kata si ibu mertua, menawarkan diri.
Dan, anak menantunya itu pun mendekat, tersungkur di depannya.
“Ada apa dengan telur ceplok saya, Bu?”
Perempuan itu meluapkan tangis tertahan di depan ibu mertuanya yang lalu mengelus–elus lembut rambut menantunya itu.
Mata ibu mertua menerawang. Ia harus membantu anak menantunya itu.
SANG IBU MERTUA mengambil wajan dan meletakkannya di atas kompor. Menantunya mulai memperhatikan saksama Di tangannya tergenggam buku catatan kecil dan pulpen. Ibu mertua mengerutkan kening bertanya. Menantunya kikuk. Tersenyum getir ia meyakinkan sang ibu sambil berkata, “Saya cuma mau mencatat tiap detail yang Ibu lakukan.”
Ibu mertua memicingkan mata tanda tak suka. “Membuat telur ceplok itu dengan hati…,” katanya sambil menunjuk letak hati di dada, “… bukan ini.” Ibu mertua merebut lembut buku dan pulpen itu dari menantunya.
Ia kemudian memejamkan kedua matanya sebentar.
Gas pun dinyalakan. “Lakukan saja. Jangan dipikirkan.”
Minyak kelapa dituang mantap. “Tuangkan mantap. Jangan ditakar-takar.”
Dengan gerak cepat, ibu mertua mengambil telur di antara butiran-butiran telur yang ada. “Tentukan cepat. Jangan memilih-milih telur yang mau dibikin.” Ibu mertua lalu menatap sebentar menantunya. “Telur itu memilih dirinya sendiri,” katanya kemudian.
Perempuan itu mulai terhanyut. Butir telur yang telah dipilih itu lalu dipecah dan digoreng. “Biarkan semua berjalan apa adanya….” Putih telurnya seperti biasa secara alami membentuk kontur wajah yang lucu. Dan, kuning telurnya pastinya mirip mata sapi.
Perempuan itu tambah asyik memperhatikan ibu mertuanya yang rupanya tak main-main juga untuk urusan membuat telur ceplok.
Lalu ditunjukkannya tempat garam. “Ini yang paling penting,” ujarnya dengan penuh keyakinan. Perempuan itu terenyak. Dengan gerak cepat juga ibu mertua menjumput garam, lalu menabur pelan rata di atas telur itu. “Taburkan sekali saja.…”
Dan, gas dimatikan. Sepiring telur ceplok dihidangkan di depan menantunya itu.
“Terakhir, biarkan suamimu melihat detik ketika sang istri tercinta menyiapkan sarapan pagi yang dinanti-nantikannya.”
Ibu mertua menaburkan lada bubuk hitam di depan menantunya itu sebagai sentuhan terakhir hidangan telur ceploknya.
Takjub. Perempuan itu menyimpulkan seperti itulah seharusnya yang mesti ia lakukan. Sedetail itu, biarpun sederhana. Perempuan itu pun mencicipi masakan ibu mertuanya. Sesuap. Hanya sesuap. Tapi, yang sesuap itu rupanya mampu membuat mata perempuan itu menyala terang. Telur ceplok. Hanya telur ceplok. Tapi, telur ceplok itu mampu membuat ia kembali mengeluarkan senyum tercantiknya itu.
Perempuan itu sulit berkata-kata, “Ibu… tak salah memang kalau Mas tergila-gila dengan telur ceplok buatan Ibu.” Ia lalu melahap sisanya.
“Tapi… apa saya bisa membuat telur ceplok seperti buatan Ibu?” Perempuan muda itu lalu kembali sendu.
Ia meletakkan sendok garpu. Nafsu makannya tiba-tiba hilang. “Mas selalu bilang, tak ada yang bisa bikin telur ceplok seperti Ibu. Jujur, saya cemburu… cemburu sama Ibu.”
Ibu mertuanya terkejut. Ia lalu beranjak, berdiri di belakang menantunya. Tangan mereka saling menggenggam erat.
“Nduk, Ibu sangat menyayangi suamimu, anak satu-satunya Ibu. Waktu kalian memutuskan untuk menikah muda, Ibu seperti merasa belum saatnya melepas anak Ibu untuk menjadi suamimu. Itu sebabnya, Ibu belum mau menunjukkan bagaimana bikin telur ceplok kesayangan suamimu itu. Sampai detik ini. Detik ketika akhirnya waktu itu telah tiba,” kata ibu mertuanya.
“Percayalah satu hal, Nduk. Telur ceplok itu… cinta. Jadi, bikinlah dengan hati, jangan perasaan.” Menantunya mencoba meresapi kata-kata ibu mertuanya itu.
“Hati akan membuatmu berpikir cepat dan membuat segalanya jadi pas dengan sendirinya. Tapi, perasaan? Perasaan hanya akan menggiringmu pada pikiran-pikiran tentang apa jadinya nanti. Dari situlah kemudian muncul banyak keraguan hingga kamu tanpa sadar melakukan kesalahan yang sama, berkali-kali.”
Perempuan itu masih duduk di depan meja makan. Dan, ibu mertuanya memeluk erat di belakang. Mereka terisak bersama.
PEREMPUAN ITU pamit pulang. Sambil berjalan beriringan, perempuan itu berhenti tiba-tiba dan dengan getir berkata, “Ngomong-ngomong, Ibu, tadi pagi saya menaburkan garam tiga kali lipat taburan garam Ibu pada telur ceplok buatan saya. Tapi, rupanya Mas masih berpikir kalau telur ceplok buatan saya lupa dikasih garam lagi.”
Ibu mertua terenyak.
“Saya pamit, Ibu. Terima kasih atas pelajaran telur ceploknya. Saya berharap, besok Mas bilang, telur ceplok saya sama enaknya dengan telur ceplok buatan Ibu. Dan, semoga saya tidak lupa garamnya lagi.”
Perempuan itu lalu mencium tangan kanan ibu mertuanya yang tiba-tiba melepas dengan cemas kepergian anak menantunya itu dari belakang.
Payung disibakkan. Hujan rupanya mengguyur sore itu. Menantunya berjalan menembus hujan dengan langkah yang berat.
HUJAN MASIH MENGGUYUR sesampainya perempuan itu di rumah. Garasi masih kosong. Mobil sang suami belum pulang, padahal magrib sudah lewat.
Sampai jam berdetak empat tiga puluh pagi. Samar azan subuh memanggil. Perempuan itu terjaga tiba-tiba. Ia rupanya tak sadar telah menunggu tidur pulang sang suami di sofa depan. Beranjak ia membuka tirai depan. Mobil belum tampak juga. Ia lalu mengambil air wudu. Dari balik celah pintu yang sedikit terbuka, perempuan muda itu sedang khusyuk berdoa.
Sampai pagi berteriak.
“Ibu, Mas tidak pulang lagi malam ini. Terlambat pulang katanya. Sudah kesekian kali,” Perempuan itu berbicara pada diri sendiri.
Mengintip perempuan itu ke jalanan depan. Siapa tahu suami datang. Tapi, hanya beberapa orang yang berlari terburu dikejar waktu bekerja. Dan, anak-anak sekolah yang diantar orang tuanya.
Anak-anak. Perempuan itu berkaca-kaca karenanya. Sudahlah, memikirkan anak-anak hanya akan merusak konsentrasinya pagi ini. Bukankah ia ingin bergegas menyambut sang suami?
Seperti biasa, perempuan itu menyiapkan beberapa potong kemeja, celana, serta sepatu kerja. Setelah itu, ia langsung ke dapur. Ia ingin menyiapkan sarapan spesial untuk sang suami tercinta.
“Saya mau bikin kejutan, Ibu. Telur ceplok spesial. Siapa tahu, Mas pulang pagi ini. Semoga Mas berkenan. Dan, semoga saya tidak lupa memberi garam lagi.” Perempuan itu tersenyum penuh harap.
Ia lalu mengikuti apa yang ibu mertuanya lakukan saat membuat telur ceplok. Memejamkan kedua mata, menarik napas, meletakkan wajan, menyalakan gas, menuangkan minyak dengan mantap, memilih telur dengan cepat, menaburkan garam sekali saja. Perempuan itu tampak yakin sekali dengan telor ceplok yang sedang dibuatnya. Telur ceplok spesial.
Di tangannya tergenggam botol kecil lada hitam. Ditatapnya botol itu sambil berkata dalam hati, “Bantu aku menutup sajian sarapan pagi telur ceplok spesial buat suamiku tercinta, ya….” Perempuan muda itu tersenyum getir.
Suara mobil terdengar terparkir di luar sana. Suara pintu terbuka. Perempuan itu tersenyum menyambut. Tapi, sang suami melewatinya langsung menuju kamar. Sang suami sudah kembali setelah beberapa saat, dengan tas kerja dan sudah berganti pakaian yang tadi telah disediakan.
“Mas, sarapan pagi sudah siap. Telur ceplok spesial, lho. Mas pasti suka….”
Belum sempat perempuan muda itu menyelesaikan kata-katanya, sang suami hanya mengambil koran pagi di dekat sarapan sambil berkata, “Aku sudah sarapan telur ceplok tadi.” Terburu, sang suami pergi meninggalkan istrinya.
Begitu saja. Tapi, cukup jelas membuat perempuan itu terpaku untuk kesekian kali. Dalam hati ingin rasanya ia berteriak bertanya, “Makan telur ceplok di mana, Mas?”
Dan, diletakkan dengan kesal botol kecil berisi lada hitam itu di meja.