Home » Kongkow » kongkow » Teacher Zaman Old, Mendidik Kids Zaman Now

Teacher Zaman Old, Mendidik Kids Zaman Now

- Kamis, 15 Februari 2018 | 15:00 WIB
Teacher Zaman Old, Mendidik Kids Zaman Now

Sebagai seorang guru, saya menginsyafi jika pemakaian 4 kata asing (dari 7 kata) dalam kalimat judul tulisan di atas, sangat menyalahi kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Gamang memakai Bahasa Indonesia yang benar. Malah terasa seperti orang Malaysia atau Sigapura yang memang mencampurkan bahasa asing dengan melayunya, dan itulah bahasa nasional mereka.

Tapi apa mau dikata, istilah “kids zaman now” sudah menasional bahkan mendunia. Bahkan sayup-sayup terdengar dari kelas sebelah, guru Bahasa Indonesia pun memakai istilah tersebut ketika mengajar di depan siswanya.

Sebagai masyarakat perkotaan kita selalu memandang masyarakat Indonesia dengan perspektif modern yang bias Jakarta. Bahwa modernisasi, industrialisasi, penggunaan teknologi informasi dan komunikasi merupakan keniscayaan sosial, yang saat ini sedang mengalami puncaknya, tidak hanya di kota tetapi sampai ke pelosok-pelosok desa. Fenomena ini pasti akan memengaruhi pola pikir (mindset) anak-anak kita, yang nota bene adalah para pelajar.

Kids zaman now” adalah mereka yang disebut Generasi Z,  lahir rentang tahun 1995-2010. Lebih lanjut uraian tentang sosiologi generasi ini, bisa membaca pemikiran Karl Mannheim (1893-1947) yaitu dalam esainya berjudul “The Problem of Generations” (1923). Dia mengatakan bahwa sebuah generasi merupakan suatu kelompok yang terdiri dari individu, yang memiliki kesamaan dalam rentang usia, kemudian berpengalaman mengikuti peristiwa sejarah penting dalam suatu kurun waktu yang sama pula.

Berbeda hal kemudian yang dikenal dengan istilah Generasi Y atau lazim dikenal dengan Generasi Milenial. Generasi ini lahir sekitar 1981-1994. Istilah Generasi Milenial ini mulai berkembang di Amerika Serikat setelah terbitnya buku “Millennials Rising: The Next Great Generation” (2000), ditulis Neil Howe dan Bill Strauss. Masyarakat banyak keliru dengan mengatakan Generasi Z dengan Generasi Milenial itu sama. Padahal jelas perbedaannya.

Jika dihitung kemudian, anak-anak Generasi Z (oleh Bill Gates disebut i-Generation) saat ini memiliki rentang usia antara 7-22 tahun. Secara demografis, merekalah yang saat ini sedang duduk di bangku sekolah mulai dari SD, SMP, SMA sampai pada perguruan tinggi.

Data demografis menunjukkan pada tahun 2010, sekitar 19 persen penduduk Indonesia adalah anak yang umurnya di bawah sepuluh tahun, sekitar 37 persen di bawah dua puluh tahun dan sekitar setengah populasi Indonesia berusia di bawah tiga puluh tahun  (www.indonesia-investments.com). Jika total penduduk Indonesia adalah 258 juta orang (proyeksi BPS dalam www.databoks.katadata.co.id, 2016), maka jumlah penduduk kategori  Generasi Z adalah sekitar 90-100 juta orang. Ini adalah angka yang sangat besar. Ditambah lagi secara demografis, usia Generasi Z ini adalah usia produktif.

Secara statistik demografis, keberadaan “kids zaman now” sangat potensial dalam pengembangan pertumbuhan perekonomian nasional. Jika dipilah lagi usia penduduk Indonesia yang kategorinya pelajar berjumlah sekitar 58 juta siswa; 8 juta siswa SMA/sederajat, 50 juta siswa SD-SMP/sederajat (www.antaranews.com, 2012). Sungguh angka yang fantastik tentunya. Jumlah ini hampir setara dengan jumlah penduduk negara Inggris.

Pertanyaannya sekarang adalah mau diapakan puluhan juta manusia Indonesia, “kids zaman now” itu? Bagaimana cara kita sebagai sebuah negara-bangsa mendidik, menyiapkan dan memberikan peluang-peluang bagi masa depan “kids zaman now”, yang pada 2045 nanti merekalah yang akan memimpin negara ini? Merekalah sesungguhnya jawaban atas proyeksi bonus demografi Indonesia. Usia produktif yang jumlahnya mendominasi struktur penduduk Indonesia. Itulah “kids zaman now”, masa depan bonus demografi Indonesia.

Sekarang mari kita lihat, bagaimana wajah Generasi Z alias “kids zaman now” itu dalam perspektif sosial dan budaya. Karakter sosial mereka yang dibesarkan oleh media internet, aktif berkomunikasi melalui perangkat telepon pintar (smart phone), ketergantungan sangat tinggi kepada internet, gadgetmultitasking, menjunjung tinggi privasi dan suka tantangan. Walaupun kadang disindir dengan sebutan generasi mecin, tapi “kids zaman now” punya percaya diri tinggi.

Sumanto Al Qurtuby dan Barisan Sakit Hati

Read more

Lebih mencengangkan lagi, mereka para “kids zaman now” ini bercita-cita memiliki “profesi” yang anti-mainstream; mulai menjadi youtubervlogerblogergamerselebgraminfluencer, komikus bahkan menjadi hackerbaristadan penambang bitcoin. Bagi kami para “teacher zaman old”, deretan nama dan istilah pekerjaan di atas terdengar asing, bahkan “aneh”. Sudahlah istilahnya terasa “keminggris” alias keinggris-inggrisan, susah pula mengucapkannya.

Aahhh…kacau sudah kemampuan berbahasa kita para “teacher zaman old” ini. Berusaha menyesuaikan istilah-istilah zaman now, tapi lidah ini serasa kaku untuk mengucapkannya. Karena masih sering terngiang-ngiang, guru kami zaman old mengajar di depan kelas dengan ragam pepatah, bahasa kiasan, syair, pantun dan tulisan tegak bersambung.

Mereka para Generasi Z ini sangat cakap menggunakan media berbasis elektronik, seperti laptop, komputer, telepon pintar, iPadiPhone, bahkan memproduksi dan merekayasa konten beragam jenis varian perangkat media sosial, seperti youtube, facebook, snapchat, instagram, vlog, line, telegram dan twitter. Semua aktivitas pribadi (bahkan sosial) mereka saat ini berbasis elektronik dan jaringan internet (online).

Alhasil, buku, koran dan televisi adalah barang-barang old yang hanya dipakai dan dinikmati oleh generasi old. Buku berganti e-book atau format pdf, koran berganti e-paper dan televisi berganti youtube dan menonton secara streaming. Mereka para Generasi Z ini memiliki ketergantungan akut kepada telepon pintar dan internet.

Sedangkan di sisi lain, para orang tua (parents) dan guru mereka adalah kelompok masyarakat yang terlahir 2 dan 3 generasi sebelumnya, yakni Generasi Baby Boomers (lahir antara 1946-1960an) dan Generasi X (lahir antara 1960an-1980). Terjadi kemudian gap generasi, yang berdampak terhadap pola asuh dan pendidikan keluarga yang paradigmanya mesti direkonstruksi.

Menjadi “teacher dan parent zaman now” adalah suatu tantangan zaman tersendiri. Perbedaan cara pandang antara orang tua dan guru yang dididik pola asuh lama. Mendidik generasi sekarang yang memiliki cara pandang kekinian sesuai dengan jiwa zamannya (zeitgeist) adalah suatu ikhtiar yang tak mudah.

Dibutuhkan kemudian perspektif baru yang tak resisten terhadap perubahan, tidak alergi dengan bahasa zaman dan zeigeist tadi. Tetapi tidak juga meminggrikan bahkan mencampakkan nilai-nilai tradisi (lama), yang masih memiliki relevansi dan universalitas nilai keadaban di dalamnya. Demikian adagium klasik Arab, yang sering disampaikan oleh kyai-kyai tradisional kita di pesantren, “Al-Muhaafazhatu ‘alal qadiimis shaalih wal akhdzu bil jadiidil ashlah.

Sehingga para guru dan orang tua zaman i-Generation ini tidak merasa teralienasi, terasingkan hidup di tengah-tengah para “kids zaman now”, yang sesungguhnya sedang berlari cepat melesat bagaikan anak panah. “Mereka adalah anak dari kehidupan”, ucap sastrawan cum filsuf berdarah Libanon-Amerika, Kahlil Gibran (1883-1931) dalam puisinya yang bertajuk “Anakmu Bukan Anakmu.”

Cari Artikel Lainnya