Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4, salah satu tujuan negara adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Misi ini tentunya mustahil dilakukan tanpa agen-agen pendidikan, yaitu guru. Tanpa guru, maka tak ada dokter, pengacara, insinyur, polisi, dan profesi-profesi yang dianggap bergengsi lainnya.
Memang benar bahwa dibanding tahun 1990-an, kesejahteraan guru saat ini memang lebih terjamin. Terlebih karena adanya sertifikasi. Namun itu hanya guru pegawai negeri. Saat guru pegawai negeri sudah bisa menghela nafas lega, masih ada pendidik lain yang hanya bisa gigit jari yaitu guru honorer. Banyak janji dan wacana pemerintah memperbaiki kesejahteraan guru honorer, tapi nyatanya nasib mereka masih begini-begini saja.
Bertepatan dengan hari guru nasional, 25 November, layaklah kita mengapresiasi pahlawan tanpa tanda jasa yang sering terlupakan ini. Kita mendapatkan ilmu yang sama banyaknya dari Bapak dan Ibu guru, tak peduli apakah dia honorer ataukah pegawai negeri. Inilah suka duka jadi guru honorer, yang katanya semakin menderita semakin berjasa.
Tak seperti Oemar Bakrie di lagu Iwan Fals yang gajinya selalu dikebiri, penghasilan guru pegawai negeri saat ini sudah lumayan tinggi. Untuk PNS golongan III dengan masa kerja 6 tahun gaji pokoknya sekitar 2,6 juta perbulan. Untuk golongan IV gaji pokoknya sekitar 3,1 juta per bulan. Itu belum termasuk tunjangan-tunjangan lain dan sertifikasi yang hampir sebesar gaji pokok setiap bulannya. Sementara itu guru honorer yang tidak digaji oleh negara masih tetap gigit jari.
Menjadi seorang guru honorer/GTT/Guru bantu, kamu memang harus punya perencanaan keuangan yang cermat dan tepat. Bukan supaya bisa berinvestasi, tapi agar semua kebutuhan tercukupi. Percuma mengharap gaji tinggi, hanya akan menambah lara hati.
Kadang harus mengajar di sana-sini demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tapi bagaimanapun juga, gaji ratusan ribu yang tak sampai menyentuh angka satu tetap tak bisa diandalkan untuk mencukupi kebutuhan. Karena itu menjadi guru honorer kamu harus pintar-pintar mengatur waktu dan punya banyak keahlian. Mulai dari mengajar di beberapa sekolah, membuka jasa pelajaran tambahan atau les, hingga mencari pekerjaan sampingan lainnya harus dilakukan untuk memperoleh pendapatan yang layak. Waktu kerjamu tak menentu. Kesibukanmu mungkin tak kalah dengan direktur ataupun karyawan swasta yang gajinya berjuta-juta. Yah, apapun dilakukan demi memenuhi panggilan hati sekaligus memenuhi kebutuhan diri.
Meski tidak semua, guru honorer biasanya identik dengan guru-guru muda dan baru. Mungkin inilah yang membuat posisimu kurang enak di sekolah. Ibarat di sekolah ada sistem kasta, maka guru honorer akan menempati kasta terbawah. Senioritas tinggi membuat kamu dijadikan seksi repot atas segala hal.
Tingkatannya begini: kepala sekolah memberi tugas pada guru-guru senior, maka guru-guru senior mudah saja melempar tugas tersebut pada guru honorer. Mulai dari mengisi nomor induk siswa, memberi pelajaran tambahan pada siswa, sampai menjadi tukang ojek kepala sekolah pasti sudah khatam kamu jalani semua. Mau menolak merasa tak enak, tapi dirasakan lama-lama juga semakin menyiksa.
Guru honorer juga sering dianggap minim pengalaman dan tidak tahu apa-apa. Karena itu, jangankan mengkritisi kebijakan sekolah demi kebaikan bersama, pendapatmu saja tidak pernah dianggap. Ibaratnya menjadi seorang guru honorer sebaiknya kamu diam-diam saja, tak usah banyak bicara, dan nurut saja kalau disuruh apa-apa. Itu belum seberapa, karena jika ada masalah yang terjadi, guru honorer seringkali dikambing-hitamkan, sebab posisimu memang paling mudah untuk disalah-salahkan.
Gaji tetap bulanan dan kenaikan golongan yang ‘ajeg’ mungkin salah satu alasan mengapa pegawai negeri menjadi posisi yang sangat diperebutkan. Itu belum seberapa, karena sebagai pegawai negeri kamu juga berhak atas tunjangan-tunjangan lainnya, hingga uang pensiunan yang membuat masa tuamu tak perlu khawatir apa-apa lagi. Tapi sebagai guru honorer, uang pensiunan jelas bukan hal yang sempat dipikirkan.
Gaji yang hanya ratusan ribu itu saja sudah cukup menjadi beban pikiran. Belum lagi, sebagai guru tidak tetap juga membuatmu berhadapan dengan kemungkinan dipecat setiap saat. Bisa karena kamu tidak cocok dengan kebijakan kepala sekolah, karena performa yang dinilai kurang, atau bisa saja karena kehadiranmu dinilai tidak lagi dibutuhkan.
Yang paling ditunggu-tunggu selain turunnya gaji bulanan yang tak seberapa itu, tentu adalah tes CPNS yang belum tentu ada setiap setahun sekali. Tes CPNS seolah menjadi oase di tengah padang pasir. Inilah kesempatan untuk mengejar mimpi. Inilah kesempatan untuk memperbaiki hidup sendiri. Namun yang namanya tes saringan masuk tentu ada yang pahit dan ada yang manis. Ada yang berhasil mengubah status guru honorer menjadi guru PNS, dan ada juga yang masih harus coba lagi dan coba lagi. Ada yang harus menunggu sepuluh tahun untuk bisa diangkat sebagai PNS, bahkan ada pula yang hingga tutup usia tak pernah meningkat pangkatnya.
Bila ditanya apa keinginannya, tentu tidak muluk-muluk. Mereka tidak ingin gaji yang setara direktur utama ataupun pejabat di istana negara. Mereka hanya ingin diakui sebagai tenaga pendidik yang ikut menyumbang dalam misi mencerdaskan kehidupan bangsa. Kerja kerasnya tak kalah dengan guru-guru yang bersertifikasi. Dedikasi untuk membantu para siswa belajar tidak perlu dipertanyakan lagi. Bahkan dengan gaji yang mungkin tak cukup untuk setengah bulan, semangatmu untuk mengajar dan berbagi ilmu tidak berkurang. Kerja keras tetap kamu lakukan, meski upah tidak berimbang.
Menjadi guru honorer yang tak ikut berbahagia ketika ada pengumuman dana sertifikasi turun, memang berat. Tuntutan hidup harus selalu dikesampingkan demi memberikan yang terbaik untuk anak didik. Lelah mencari sampingan sana-sini demi memenuhi kebutuhan sehari-hari, tak boleh mempengaruhi semangat untuk mengajar di pagi hari. Menerima gaji di akhir bulan dengan dua perasaan ambigu, antara bersyukur dan miris karena bingung bagaimana mengatur agar cukup. Kerja keras yang dibayar tak sepadan memang menyakitkan. Namun semua itu terbayar lunas, setiap kali melihat senyum anak didikmu. Melihat kesuksesan anak didik bahagia dan harunya bak melihat kesuksesan anak kandung sendiri.
Bila ada yang marah karena merasa tak pantas bila seorang guru mengharapkan gaji yang besar, tentunya harus berpikir ulang. Memang benar, guru adalah profesi yang begitu dekat dengan hati. Ketulusan dan kasih sayang serta dedikasi yang tinggi mutlak perlu untuk menyiapkan generasi-generasi hebat yang menjalankan roda-roda negara dan kehidupan ini. Akan terlihat tidak etis dan terkesan materialistis bila guru menuntut kenaikan gaji. Tapi bukankah kita juga wajib menghargai jasa-jasa mereka? Caranya dengan lebih memikirkan kesejahteraannya. Karena bagaimana kita mengharapkan hidup yang sejahtera, bila agen pencerdas kehidupan bangsa justru hidup dalam duka derita?
Zaman sudah banyak perubahan, namun nasib guru honorer masih dipertanyakan. Awal tahun 2016 lalu terdengar ada kabar menyenangkan bahwa gaji guru honorer akan dinaikan sebesar 2 juta rupiah setiap bulannya. Namun hingga kini belum ada kabar resmi apakah program ini sudah dijalankan atau belum. Sebagai mantan siswa yang mendapat banyak ilmu dari pahlawan tanpa tanda jasa ini, mari kita doakan semoga program itu segera terealisasi.