Suku Asmat adalah sebuah suku di Papua. Suku Asmat dikenal dengan hasil ukiran kayunya yang unik. Populasi suku Asmat terbagi dua yaitu mereka yang tinggal di pesisir pantai dan mereka yang tinggal di bagian pedalaman. Kedua populasi ini saling berbeda satu sama lain dalam hal dialek, cara hidup, struktur sosial dan ritual. Populasi pesisir pantai selanjutnya terbagi ke dalam dua bagian yaitu suku Bisman yang berada di antara sungai Sinesty dan sungai Nin serta suku Simai.
Suku Asmat berada di antara Suku Mappi, Yohukimo Jayawijaya dan di antara berbagai macam suku lainnya yang ada di Pulau Papua. Sebagaimana suku lainnya yang berada di wilayah ini.
Suku Asmat ada yang tinggal di daerah pesisir pantai dengan jarak tempuh dari 100 km hingga 300 km, bahkan Suku Asmat yang berada di daerah pedalaman, dikelilingi oleh hutan heterogen yang berisi tanaman rotan, kayu (gaharu) dan umbi-umbian dengan waktu tempuh selama 1 hari 2 malam untuk mencapai daerah pemukiman satu dengan yang lainnya. Sedangkan jarak antara perkampungan dengan kecamatan sekitar 70 km. Dengan kondisi geografis demikian, maka berjalan kaki merupakan satu-satunya cara untuk mencapai daerah perkampungan satu dengan lainnya.
Suku Asmat meyakini bahwa mereka berasal dari keturunan dewa Fumeripitsy yang turun dari dunia gaib yang berada di seberang laut di belakang ufuk, tempat matahari terbenam tiap hari. Menurut keyakinan mereka, dewa nenek-moyang itu dulu mendarat di bumi di suatu tempat yang jauh di pegunungan. Dalam perjalanannya turun ke hilir sampai ia tiba di tempat yang kini didiami oleh orang Asmat hilir, ia mengalami banyak petualangan.
Suku Asmat" src="https://www.gurupendidikan.co.id/wp-content/uploads/2019/01/Sejarah-Suku-Asmat.jpg" style="height:282px; width:350px" />
Dalam mitologi orang Asmat yang berdiam di Teluk Flaminggo misalnya, dewa itu namanya Fumeripitsy. Ketika ia berjalan dari hulu sungau ke arah laut, ia diserang oleh seekor buaya raksasa. Perahu lesung yang ditumpanginya tenggelam. Sehingga terjadi perkelahian yang akhirnya ia dapat membunuh buaya tersebut, tetapi ia sendiri luka parah. Ia kemudian terbawa arus dan terdampar di tepi sungai Asewetsy, desa Syuru sekarang.
Untung ada seekor burung Flamingo yang merawatnya sampai ia sembuh kembali; kemudian ia membangun rumah yew dan mengukir dua patung yang sangat indah serta membuat sebuah genderang, yang sangat kuat bunyinya. Setelah ia selesai, ia mulai menari terus-menerus tanpa henti, dan kekuatan sakti yang keluar dari gerakannya itu memberi hidup pada kedua patung yang diukirnya. Tak lama kemudian mulailah patung-patung itu bergerak dan menari, dan mereka kemudian menjadi pasangan manusia yang pertama, yaitu nenek-moyang orang Asmat.
Dalam kepercayaan masyarakat Asmat, suku bangsa Asmat sekarang ini merupakan keturunan dewa yang turun dari dunia ghoib. Dewa-dewa itu turun ke bumi dan mendarat di suatu tempat di pegunungan. Dari sana mereka berpetualang dengan berbagai tantangan menelusuri sungai hingga tiba di daerah mana suku Asmat berdiam saat ini. Salah satu dewa yang dikenal adalah Fuumeripitsy yang dianggap sebagai nenek moyang suku Asmat di teluk Flaminggo.
Masyarakat Asmat mempercayai macam-macam roh yang digolongkan ke dalam 3 (tiga) jenis, yaitu :
Orang Asmat juga mengenal macam-macam upacara keagamaan untuk berkomunikasi dengan arwah nenek moyangnya, antara lain dengan menghiasi perisai, mengukir topeng, atau pembuatan patung. Pembuatan benda-benda ini biasanya dimeriahkan dengan pesta makan, nyanyian dan tarian serta peragaan kisah petualangan dewa Fuumeripitsy dengan gerakan dan dialog.
Suku Asmat" src="https://www.gurupendidikan.co.id/wp-content/uploads/2019/01/Adat-Istiadat-Suku-Asmat.jpg" style="height:196px; width:350px" />
Seperti masyarakat pada umumnya, dalam menjalankan proses kehidupannya, masyarakat Suku Asmat juga memiliki ritual atau acara-acara khusus, yaitu sebagai berikut :
1. Kehamilan
selama proses ini berlangsung, bakal generasi penerus dijaga dengan baik supaya dapat lahir dengan selamat dengan bantuan ibu kandung atau ibu mertua.
2. Kelahiran
Tidak lama sesudah kelahiran bayi dilaksanakan upacara selamatan secara sederhana dengan acara pemotongan tali pusar yang memakai Sembilu, alat yang terbuat dari bambu yang dilanjarkan. Selanjutnya, diberi ASI sampai berusia 2 tahun atau 3 tahun.
3. Pernikahan
Pernikahan berlaku bagi suku Asmat yang sudah berusia 17 tahun dan dilakukan oleh pihak orang tua lelaki sesudah kedua belah pihak mencapai kesepakatan dan melalui uji keberanian untuk membeli wanita dengan mas kawinnya piring antik yang berdasarkan pada nilai uang kesepakatan kapal perahu Johnson, jika ternyata ada kekurangan dalam penafsiran harga perahu Johnson, maka pihak pria wajib melunasinya dan selama masa pelunasan pihak pria dilarang melakukan tindakan aniaya meskipun sudah diperbolehkan tinggal dalam satu atap.
4. Kematian
Bila kepala suku atau kepala adat yang meninggal, maka jasadnya disimpan dalam bentuk mumi dan dipajang di depan joglo suku ini, tetapi bila masyarakat umum, jasadnya dikuburkan. Proses ini dijalankan dengan iringan nyanyian berbahasa Asmat dan pemotongan ruas jari tangan dari anggota keluarga yang ditinggalkan.
Suku Asmat" src="https://www.gurupendidikan.co.id/wp-content/uploads/2019/01/Adat-Istiadat-1-Suku-Asmat.jpg" style="height:197px; width:350px" />
Pada masyarakat Asmat terdapat bahasa-bahasa yang oleh para ahli lingustik disebut kelompok bahasa Language Of The Southern Division yakni bahasa-bahasa bagian selatan Papua. Penggolongan bahasa tersebut telah dipelajari oleh C. L. Voorhoeve (1965) dan masuk pada golongan filum bahasa-bahasa Papua Non-Melanesia. Bahasa-bahasa tersebut digolongkan lagi berdasarkan wilayah orang Asmat yakni orang Asmat wilayah pantai atau hilir sungai dan Asmat hulu sungai.
Secara khusus, para ahli linguistik membagi bahasa-bahasa tersebut yakni pembagian bahasa Asmat hilir sungai menjadi bagian kelompok pantai barat laut atau pantai Flamingo seperti bahasa Kaniak, Bisman, Simay, dan Becembub dan bagian kelompok Pantai Barat daya atau Kasuarina seperti misal bahasa Batia dan Sapan. Pembagian bahasa Asmat hulu sungai menjadi bagian kelompok Keenok dan Kaimok.
Untuk mengetahui bahasa masyarakat Asmat bisa dilakukan dengan cara mengidentifikasi bahasa-bahasa sedunia pada rumpun, subrumpun, keluarga, dan subkeluarga. Selain itu, upaya untuk mengidentifikasi bahasa masyarakat Asmat bisa dilakukan dengan cara melihat aspek fonetik, fonologi, sintaksis, morfologi dan semantik bahsa Asmat.
Suku Asmat" src="https://www.gurupendidikan.co.id/wp-content/uploads/2019/01/Pakaian-Suku-Asmat.jpg" style="height:178px; width:350px" />
Selain terkenal dengan seni ukirnya, Suku Asmat juga mempunyai pakaian tradisional yang khas. Seluruh bahan untuk membuat pakaian tersebut berasal dari alam. Tidak salah bila menganggap pakaian Suku Asmat adalah representasi kedekatan mereka dengan alam raya.
Secara umum, pakaian adat pria dan perempuan Papua hampir sama, hanya memakai sebuah bawahan seperti androk yang terbuat dari rajutan daun sagu yang dibuat rapih menyerupai anderok atau rok dan dipakai sebagai bawahan.
Pada bagian kepala, dikenakan penutup yang terbuat dari rajutan daun sagu dan pada sisi bagian atasnya dipenuhi bulu burung kasuari. Suku Asmat memkai pakaian adat Rumbai-Rumbai, hanya untuk menutupi bagian tertentu. Rumbai-Rumbai dibuat dari daun sagu.
Suku Asmat" src="https://www.gurupendidikan.co.id/wp-content/uploads/2019/01/Kesenian-Suku-Asmat.jpg" style="height:233px; width:350px" />
Suku bangsa Asmat memiliki bidang seni ukiran terutama ukir patung, topeng, perisai gaya seni patung Asmat, meliputi :
Patung-patung dengan gaya ini tersusun dari atas ke bawah menurut tata urut silsilah nenek moyangnya. Contohnya, mbis yang dibuat jika masyarakat akan mengadakan balas dendam atas kematian nenek moyang yang gugur dalam perang melawan musuh.
Bentuk patung gaya ini lonjong agak melebar bagian bawahnya. Bagian kepala terpisah dari bagian lainnya dan berbentuk kepala kura-kura atau ikan. Kadang ada gambar nenek moyang di bagian kepala, sedangkan hiasan bagian badan berbentuk musang terbang, kotak, kepala burung tadung,ular, cacing, dan sebagainya.
Gaya ini merupakan ciri khusus gaya ukir orang Asmat Timur. Perisai yang dibuat umumnya berukuran sangat besar bahkan melebihi tinggi orang Asmat. Bagian atasnya tidak terpisah jelas dari bagian lain dan sering dihiasi garis-garis hitam dan merah serta titik-titik putih.
Perisai gaya D ini hampir sama besar dan tingginya dengan perisai gaya C, hanya bagian kepala terpisah dari badannya. Morif yang sering digunakan adalah hiasannya geometris seperti lingkaran, spiral,siku-siku dan sebagainya.
Kesenian yang berhubungan dengan upacara keagamaan atau penghormatan kepada roh nenek moyang, yaitu :
Suku Asmat" src="https://www.gurupendidikan.co.id/wp-content/uploads/2019/01/Kesenian-1-Suku-Asmat.jpg" style="height:251px; width:350px" />
1. Ukiran Kayu atau Patung
Suku Asmat juga sangat mahir dalam membuat ukiran kayu atau patung. Meskipun ukirannya tak terpola dengan jelas, tapi setiap ukiran menggambarkan kebesaran suku Asmat dan penghargaan yang besar kepada nenek moyang mereka. Secara kasat mata, ukiran mereka bisa berbentuk perisai (dalam bahasa Asmat disebut Gembes), manusia, atau perahu.
Seni ukir suku Asmat ini amat populer hingga mancanegara. Banyak wisatawan yang mengagumi kesenian suku Asmat ini. Suku Asmat mengerti bahwa ukiran mereka mempunyai nilai jual yang tinggi. Maka dari itu, banyak hasil ukirannya mereka jual. Biasanya kisaran harganya dari mulai seratus ribu sampai dengan jutaan rupiah.
2. Tari Tobe
Siapa yang tak tahu Tifa? Itulah alat musik tradisional suku Asmat. Bentuknya bulat memanjang mirip seperti gendang. Di permukaan tifa terdapat ukiran, menggambarkan lambang yang diambil dari patung Bis. Patung Bis merupakan patung yang dianggap sakral oleh suku Asmat. Tifa ini biasa dimainkan untuk mengiringi tarian tradisional suku Asmat, yakni Tari Tobe atau yang disebut dengan Tari Perang.
Tari Tobe sering dimainkan saat ada upacara adat. Tarian ini dilakukan oleh 16 orang penari laki-laki dan 2 orang penari perempuan. Dengan gerakan yang melompat atau meloncat diiringi irama tifa dan lantunan lagu-lagu yang mengentak, membuat tarian ini terlihat sangat bersemangat. Tarian ini memang dimaksudkan untuk mengobarkan semangat para prajurit untuk pergi ke medan perang.
3. Seni Musik
Orang Asmat mempunyai alat musik khusus yang biasa dipakai dalam upacara penting. Alat musik yang biasa dipakai oleh orang Asmat adalah ti’a yang terbuat dari selonor batang kayu yang dilobangi. bentuknya bulat memang mirip seperti gendang. Pahatan ti’a berbentuk pola leluhur atau binatang yangdikeramatkan. permukaan ti’a terdapat ukiran, menggambarkan lambang yang diambil dari patung bis.
Patung bis adalah patung yang dianggap sakral oleh suku Asmat. Patung bis menggambarkan rupa dari anggota keluarga yang telah meninggal. Pada bagian atas dibungkus dengan kulit kadal dan kulit tersebut diikat dengan rotan yang tahan api. Ti’a biasanya diberi nama sesuai dengan orang yang telah meninggal. Ti’a ini biasa diukir dan dipahat oleh setempat. Ti’a ini biasa dimainkan untuk mengiringi tarian tradisional suku Asmat, yaitu Tari Tobe atau yang disebut dengan Tari Perang
Ada 2 macam rumah adat suku asmat yang mempunyai fungsi dan peran masing-masing dalam kaitannya memelihara kebudayaan suku asmat tersebut, yaitu:
Suku asmat mempunyai rumah adat yang bernama jew atau sering disebut dengan rumah bujang.Rumah adat jew ini berbentuk rumah panggung dengan luas umumnya 10-15 meter namun ada juga yang panjangnya sampai 50 meter dengan lebar belasan meter. Rumah jew ini mempunyai posisi yang istimewa dalam struktur masyarakat suku asmat,karena di bangun demi kepentingan khusus saat melakukan kegiatan yang bersifat tradisional atau menurut ketentuan adat.
Rumah jew ini sebagai tempat dibicarakannya atau didiskusikannya segala urusan yang menyangkut kehidupan warga.Mulai dari rapat adat,tempat membuat kerajinan tangan dan ukiran kayu,tempat perencaan perang,hingga keputusan menyangkut desa mereka sekaligus tempat tinggalnya para laki-laki bujang suku asmat sehingga dikenal dengan rumah bujang oleh masyarakat setempat.
Disamping itu rumah bujang ini berfungsi sebagai rumah keramat dan untuk upacara keagamaan serta merupakan tempat yang dianggap sakral oleh masyarakat suku asmat. Sehingga ada beberapa aturan adat yang harus dipelajari dan dipahami masyarakat asmat termasuk dalam syarat pembangunannya.
Rumah adat ini juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan alat senjata suku asmat seperti tombak,panah untuk berburu,noken yaitu tas yang terbuat dari anyaman serat tumbuhan.Konon tidak sembarang orang diperbolehkan untuk menyentuh noken yang disimpan dalam rumah jew ini.Karena noken dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit dengan syarat dan aturan tertentu. Ada beberapa hal yang menyangkut tentang rumah jew adat suku asmat ini,yaitu:
Rumah tysem juga di sebut rumah keluarga,karena rumah ini berfungsi untuk tempat tinggal mereka yang sudah berkeluarga.Biasanya terdapat 2 sampai 3 pasang keluarga yang menghuni tysem yakni terdiri dari 1 keluarga inti senior dan 2 sampai 3 keluarga yunior.Jumlah anggota keluarga inti masyarakat asmat biasanya terdiri dari 4 sampai 5 atau 8 sampai 10 orang.
Rumah adat tysem ini diletakan disekeliling rumah adat jew karena ukurannya yang lebih kecil yaitu 3x4x4 meter.Rumah tysem mempunyai kesamaan dengan rumah jew yakni berbentuk rumah panggung dan dalam proses pembuatannya dengan tidak memakai materi bangunan berupa paku karena bahan-bahan yang dipakai yaitu bahan alami yang terdapat dihutan.
Pada masyarakat yang tingkat peradaban ataukebudayaan masih sederhana, mata pencahariannya juga bersifat sederhana. Sistemmata pencaharian meliputi : berbur dan meramu, bercocok tanam di ladang,bercocok tanam dengan irigasi, beternak dan mencari ikan.
Beruburu dan meramu merupakan bentuk matapencaharian yang tertua dan terjadi di berbagai tempat di dunia. Untukmeningkatkan hasil berburu biasanya dengan teknik tertentu missalnya dengancara ilmu ghaib.
Di samping itu ada kebiasaan membagi hasil buruankepada kerabat maupun tetangga. Sisanya diproses dan dijual kepada msyarakatluar dan ke pasar-pasar. Bercocok tanam di ladang merupakan bentuk bercocoktanam tanpa irigasi, tetapi lambat laun diganti dengan bercocok tanam menetap :bercocok tanam di ladang terdapat di daerah rimba tropik terutama di AsiaTenggara.
Bercocok tanam dengan irigasi timbul di berbagaidunia yang terletak di perairan sungai besar, karena tanahnya subur. Beberapahal yang perlu diperhatikan yaitu masalah tanah, modal, tenaga kerja danmasalah teknologi tentang irigasi, konsumsi, distribusi dan pemasaran.Berternak biasanya dilakukan di daerah sabana, stepa dan gurun. Di Asia tengahmemelihara kuda, unta kambing dan domba.
Mencari ikan juga merupakan mata pencaharian yangtua ini dilakukan manusia zaman purba yang hidup di dekat sungai, danau ataulaut.
Alat-alat transportasi dengan segala jenis danbentuknya merupakan unsur kebudayan. Sejak zaman purba, manusia telahmengembangkan alat transportasi, walaupun sifatnya masih sederhana. Padamasyarakat tradisional, alat-alat transportasi terpenting adalah rakit/sampan, perahu,kereta beroda, alat seret dan binatang.
Sejak dulu manusia telah menggunakanbinatang sebagai alat transportasi. Di siberia sejak dahulu orang telahmenggunakan sapi, kerbau, keledai, dan gajah sebagai alat angkut. Asia Utaradan Kanada Utara, rusa Reider dan anjing menjadi binatang transpotasi yangpenting. Untuk mengangkut barang menggunakan alat yang disebut Travois dan alatseret (sledge).