Mungkin kamu pernah agak kebingungan dan ragu untuk memanggil seorang kenalan yang punya identitas fisik Tionghoa. Sebab ada beberapa sebutan untuk mereka di Indonesia. Yang paling umum digunakan adalah Tionghoa, Cina, dan Chinese. Masing-masing mempunyai makna yang sedikit berbeda.
Supaya bisa menyebut secara nyaman, kita perlu mengetahui sejarah singkat etnis Tionghoa. Keberadaan mereka di Indonesia sudah terekam dalam catatan abad ke-4 hingga abad ke-7. Masyarakat Tionghoa turut berjasa memajukan negara kita. Namun karena jumlahnya lebih sedikit dibandingkan golongan lain, mereka rawan menjadi korban masalah etnis. Contohnya saat kerusuhan Mei 1998 di Jakarta yang menewaskan banyak orang Tionghoa. Mereka juga dilarang merayakan Tahun Baru Imlek secara terbuka pada masa pemerintahan Soeharto.
Akibatnya, pemilihan sebutan bagi orang Tionghoa dianggap sensitif. Bahkan telah menjadi perdebatan sejak lama. Sejak masa kolonial Belanda, masyarakat Tionghoa sudah mengurangi pemakaian istilah “Tjina” (Cina). Sebab, istilah tersebut dinilai merendahkan etnis mereka. Namun saat masa kepemimpinan Soeharto, istilah Cina justru dipakai, diduga tujuannya memang untuk menyudutkan posisi mereka secara politis dan budaya di Indonesia. Bahkan pada tahun 1967, muncul Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera yang menyatakan kalau istilah resmi bagi Tionghoa adalah Cina.
Kondisi tersebut berubah pada masa kepemimpinan Gus Dur. Beliau membuat sejumlah kebijakan yang berpihak pada orang Tionghoa, contohnya mengusahakan agar mereka bisa merayakan Imlek lagi pada tahun 2000. Gus Dur juga mengimbau kembalinya istilah Tionghoa–dan bukannya Cina–sebagai sebutan resmi. Sebutan ini hanya digunakan di Indonesia untuk mengurangi rasisme akibat pengaruh sejarah.
Seiring berjalannya waktu, pandangan tentang orang Tionghoa semakin membaik di Indonesia. Untuk menghilangkan kesan rasisme yang terlanjur melekat, Susilo Bambang Yudhoyono mengubah sebutan “Cina” menjadi “Tionghoa” pada tahun 2014. Lantas bagaimana tanggapan mereka? Hipwee telah mewawancarai tiga orang Tionghoa yang bernama Putri, Karina, dan Erik (semuanya nama samaran). Yuk simak pendapat mereka seputar panggilan untuk orang Tionghoa!
“Aku lebih nyaman dipanggil Tionghoa. Soalnya terkesan lebih sopan. Lagian, pemerintah juga udah menyuruh pakai panggilan itu,” kata Putri (17 tahun).
Putri mempunyai ibu yang berdarah Tionghoa dan ayah yang berdarah Jawa. Namun dia lebih sering bergaul di kalangan Tionghoa. Sejak SD sampai sekarang SMA, Putri masuk ke sekolah swasta Katolik yang didominasi anak-anak bermata sipit dan berkulit putih. Dia mengaku beruntung karena penampilan fisiknya nggak berbeda jauh.
Karena tinggal di lingkungan yang mayoritas Tionghoa, Putri merasa aman karena terhindar dari konflik etnis. Namun dia mengaku sedih pada orang-orang yang terpaksa mengalami hal tersebut. Supaya atmosfernya lebih nyaman, Putri pilih menyebut dirinya sebagai Tionghoa, bukan Cina atau Chinese. Sebab dia merasa kalau panggilan Tionghoa lebih sopan dan sesuai anjuran pemerintah.
“Aku lebih suka dipanggil Cina. Soalnya dari sejarah yang kubaca, dulu kaum kami memang dipanggil kayak gitu. Kalau sebutannya diganti jadi Tionghoa, menurutku malah menggeser sejarah Indonesia,” kata Karina (25 tahun).
Sebagai mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya, Karina suka membaca sejarah tentang etnis di Indonesia. Dia sendiri adalah keturunan Tionghoa. Ayahnya berdarah Tionghoa juga, sedangkan sang ibu berdarah Jawa. Keduanya jarang mengajarkan budaya Tionghoa pada Karina. Namun mereka tetap melakukan beberapa tradisi, misalnya mengambil ramalan di klenteng dan makan bakmi saat perayaan ulang tahun supaya berumur panjang.
Walaupun secara fisik nggak terlihat seperti orang Tionghoa, Karina tetap khawatir bakal mendapat perlakuan buruk karena etnisnya. Apalagi dia lebih sering berada di lingkungan orang Jawa. Maka dia diam-diam membuat perkumpulan mahasiswa Tionghoa di kampusnya. Jadi kalau suatu saat terjadi konflik yang berkaitan dengan etnis, mereka bisa bersatu dan saling membantu. Namun syukurlah hal itu nggak terjadi sampai sekarang.
“Panggil aja Chinese biar terdengar lebih keren. Kesannya kayak kebarat-baratan gitu kan, cocok buat anak muda zaman sekarang,” kata Erik (28 tahun).
Lelaki muda ini lahir dari pasangan yang sama-sama beretnis Tionghoa. Sejak kecil, Erik diajari orang tuanya untuk menyebut diri mereka sebagai Chinese. Sebab, panggilan itu terkesan lebih netral dan mengikuti perkembangan zaman. Erik juga menyukainya dan memakainya terus sampai sekarang.
Di sisi lain, terkadang Erik merasa kurang suka pada identitasnya sebagai orang Tionghoa. Penampilan fisiknya yang mencolok membuat dia menerima ejekan dari teman-teman sebaya. Apalagi dia lebih sering bergaul dengan kalangan Jawa. Dia juga sering mendapat stigma seperti “orang Tionghoa itu pasti kaya, pasti punya toko, pasti pelit, atau pasti jago bulu tangkis”. Erik pun kesal karena menurutnya stigma itu nggak selalu benar.
Etnis bisa menjadi masalah yang sensitif. Sebetulnya etnis apa pun berpotensi jadi bahan rundungan. Misalnya orang Jawa dibilang lelet, orang Batak disebut galak, dan lainnya. Hal tersebut bisa menciptakan konflik. Namun orang-orang Tionghoa cenderung lebih mempunyai beban sejarah yang berat di Indonesia.
Faktanya tiap-tiap mereka punya pilihan dan preferensi kenyamanan berbeda-beda terkait sebutan panggilannya, terutama antara Tionghoa, Cina, dan Chinese. “Tionghoa” adalah sebutan resmi, sementara sebutan “Cina” lebih menunjukan pengakuan historis yang apa adanya, dan sebagian lain merasa “Chinese” terdengar lebih modern.
Kesimpulannya sih sebenarnya opsi menentukan panggilan antara ketiganya tidak terlalu krusial. Yang penting adalah perlakuan kepada orang lain (mau itu Tionghoa, Jawa, Dayak, Sunda, Papua, dll.), utamanya kemauan kita untuk menerima kebutuhan masing-masing, dan berbagi hak serta kewajiban sesuai hukum dan nurani. Atau, jika memang konteksnya tidak terlalu penting untuk menunjukan identitas ras, ya panggil saja mereka dengan “orang Indonesia” ~