Harus pergi ke sekolah pagi-pagi, diomelin guru, dan dikasih PR seabrek pula
Meski kini hal-hal seperti itu tampaknya jadi keluhan rutin anak-anak usia sekolah, zaman dulu, bisa pergi ke sekolah untuk belajar itu mimpi yang harus diwujudkan dengan perjuangan hidup dan mati lho. Sebagai bangsa yang dijajah asing selama ratusan tahun lamanya, mimpi membangun pendidikan Indonesia dimulai dari kebijakan Politik Balas Budi pemerintah kolonial Belanda tahun 1901. Yup, sistem pendidikan atau sekolah awal di Indonesia adalah bentuk ‘balas budi’ pemerintahan kolonial terhadap negara jajahannya yang telah dijajah berabad-abad lamanya.
Setelah 73 tahun merdeka, pendidikan masih jadi polemik tersendiri yang butuh solusi segera. Salah satunya adalah masalah penerimaan siswa baru yang kayaknya semakin ke sini makin bikin calon siswa dan orangtuanya pusing tujuh keliling. Pasalnya, tiap ganti tahun ajaran atau mungkin tiap ganti menteri pendidikan, sistemnya diganti atau direvisi melulu. Ya bagus sih untuk selalu cari solusi kalau sistem dinilai tidak sesuai atau kurang efektif, tapi dengan cepatnya pergantian sistem penerimaan siswa baru di Indonesia, kok berasa kayak kelinci percobaan banget sih ya…
Dari tes masuk sekolah, pakai nilai ujian nasional, hingga sekarang sistem zonasi yang baru aja menimbulkan pro-kontra, kira-kira sistem mana sih yang menurut kamu paling pas buat diberlakukan di Indonesia? Yuk bahas bareng!
Benar adanya ketika orang bijak zaman dulu berujar ‘knowledge is power‘ untuk menggambarkan bagaimana ilmu pengetahuan itu bisa jadi sumber kekuatan dan kekuasaan yang sangat besar. Lihat saja negara-negara maju seperti Inggris dan Amerika Serikat. Di negara-negara inilah, berbagai pemikiran dan inovasi ilmu pengetahuan seperti mesin uap atau teknologi pesawat terbang pertama kali muncul. Maka dari itu, pada dasarnya semua penjajah sebenarnya takut kalau negara jajahannya tambah pintar atau punya banyak informasi. Termasuk Belanda.
Makanya mungkin baru setelah lebih dari 300 tahun menjajah Indonesia, Belanda memperkenalkan sistem pendidikan formal untuk rakyat Indonesia sebagai Politik Etis atau Politik Balas Budi. Namun sekolah-sekolah awal bikinan Belanda seperti Hollandsch-Inlandsche School (HIS) (SD), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) (SMP), dan Algeme(e)ne Middelbare School (AMS) (SMA), pun hanya bisa dinikmati pribumi yang punya ‘darah biru’. Jadi selama zaman penjajahan, garis keturunan itu bisa dibilang jadi faktor utama yang menentukan kamu bisa sekolah atau nggak.
Seperti banyak negara yang baru merdeka dari penjajahan, Indonesia langsung mengakui dan mengatur pendidikan sebagai hak dasar semua warga negara. Bahkan sebagaimana tertera dalam Pasal 31 UUD 1945, pendidikan bukan sekadar hak tapi pendidikan itu kewajiban yang harus dipenuhi dan dibiayai oleh negara. Nah sebelum ada sistem ujian akhir bertaraf nasional semacam Evaluasi Belajar Tahap Nasional (EBTANAS), Ujian Akhir Nasional (UAN), atau Ujian Nasional (UN), ujian masuk sekolah biasanya ada di tangan sekolah masing-masing.
Dengan sistem ujian atau tes masuk ini, tiap sekolah punya kuasa untuk menentukan kualifikasi siswa yang akan diterima. Alasan calon siswa dan orangtua memilih sekolah juga pada masa itu macam-macam. Dari yang dekat dengan rumah atau mungkin sekolah alumni orangtuanya. Sekilas sistem ini mungkin terlihat yang paling simpel, calon siswa tinggal mempersiapkan diri mengerjakan ujian masuk di sekolah yang diminati.
Sejak ada ujian akhir bertaraf nasional, sistem penerimaan siswa masuk juga beralih menyesuaikan. Mungkin maksudnya supaya ada standar nasional yang jelas dan bisa terukur. Nilai hasil ujian nasional akhirnya dipakai sebagai patokan masuk ke jenjang pendidikan selanjutnya. Meski dalam sistem sebelumnya juga sudah muncul tren sekolah favorit dan non-favorit, tapi jurang kesenjangan kualitas antar sekolah tambah mengerucut dengan sistem ranking nilai UN ini.
Anak-anak yang nilai UN-nya bagus (dan biasanya pintar), akan otomatis hanya berkumpul di sekolah-sekolah tertentu. Sementara anak-anak yang rangking-nya terus tergeser ke bawah, akan berakhir di sekolah-sekolah lain. Selain bikin calon siswa sport jantung karena harus terus memantau apakah posisinya aman atau tidak, sistem nilai UN ini emang cenderung menimbulkan persaingan yang tidak sehat. Dari tingginya angka kecurangan, sampai bagaimana hasil sekolah bertahun-tahun dan masa depan sekolah selanjutnya hanya ditentukan dalam waktu satu hari.
Dampak adanya sekolah unggulan dan non-unggulan itu jelas nyata terasa dan sangat problematis. Sekolah-sekolah unggulan penuh dengan siswa berpretasi yang sangat kompetitif, tiap tahunnya kebanjiran peminat. Sementara sekolah non-unggulan selalu kesulitan memenuhi kuota siswa. Emang indah jika semua sekolah di Indonesia bisa jadi unggulan semua dan anak-anak negeri ini bisa jadi pintar bareng-bareng. Nah mimpi itulah yang sebenarnya berupaya diwujudkan lewat sistem zonasi yang dijalankan pemerintah tahun ini untuk Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2018.
Bukan standar kualifikasi sekolah masing-masing atau hasil nilai ujian nasional, sistem zonasi ini mengatur semua calon siswa harus mendaftar sesuai zona atau wilayah domisili. Intinya, anak-anak harus mendaftar di sekolah yang terdekat dari rumahnya. Sistem tersebut diharapkan bisa menyetarakan input siswa tiap sekolah dan menyetarakan kualitas pendidikan di Indonesia secara umum. Mimpi dan tujuan dari sistem zonasi ini emang oke banget, tapi nyatanya pelaksanaannya tahun ini justru menyebabkan kontroversi besar.
Entahlah, pasti bukan cuma Indonesia aja yang punya masalah menentukan sistem pendidikan apa yang cocok untuk negaranya. Tapi aturan yang berubah-ubah hampir tiap tahun ajaran, jelas membuat banyak siswa merasa jadi ‘kelinci percobaan’ dari pergantian kurikulum, standar kelulusan, atau sistem penerimaan siswa baru. Tiap tahunnya, orangtua murid juga tampaknya harus belajar keras memahami sistem baru atau revisi-revisinya demi memastikan buah hatinya mendapatkan pendidikan terbaik.
Apalagi dengan kontroversi pelaksanaan sistem zonasi yang carut marut tahun ini. Meskipun tujuannya baik, namun sistem zonasi dinilai tidak sesuai dengan realita dan kondisi yang ada di berbagai daerah di Indonesia. Dari tidak meratanya jumlah sekolah sehingga tetap saja aja ada sekolah yang kelebihan atau kekurangan murid, sampai masalah infrastruktur serta fasilitas yang juga tidak merata.
Wajar jika banyak siswa yang keberatan jika harus sekolah di sekolah yang fasilitas atau tenaga pengajarnya minim, hanya karena kebetulan dekat dengan lokasi rumahnya. Mungkin butuh persiapan yang lebih matan dan sosialisasi yang cukup sebelum benar-benar melaksanakan program semacam zonasi ini. Masalahnya, sistem zonasi bisa dibilang beda banget dari sistem-sistem sebelumnya yang cenderung mempertahankan adanya sekolah unggulan dan non-unggulan. Kalau sistemnya langsung dibalik layaknya balik telur goreng, jelas bakal banyak orang yang kaget dan kalang kabut.
Emang rumit banget sih kalau bahas pendidikan Indonesia, tapi kalau menurut kalian gimana guys?