Hasil asesmen PISA merupakan indikator keberhasilan siswa dalam berpartisipasi di masyarakat yang menggambarkan tingkat kemampuan dan skill yang esensil. Fokus asesmen PISA adalah tingkat kemampuan membaca, matematika dan inovasi dan sain siswa usia 15 tahun. Disamping itu PISA juga melakukan asesmen terhadap afmosfir sekolah.
Hasil asesmen PISA ttahun 2018 sebagaimana tahun tahun sebelumnya memang tidak terlalu menggembirakan bagi Indonesia. Performa siswa Indonesia di tiga kompenen pengetahuan utama ini jauh di bawah rata rata kemampuan siswa di negara OECD (The Organisation for Economic Co-operation and Development) yang dianggap sebagai kelompok negara maju yang dicirikan dengan pendapatan yang tinggi dan high Human Development Index (HDI) yang sangat tinggi.
Dalam hal kemampuan membaca siswa Indonesia berada di urutan keenam terbawah dari 77 negara dengan skor 371. Dalam hal ini siswa Indonesia hanya unggul dari siswa lainnya dari negara Maroko, Lebanon, Kosovo, Republik Dominika dan Phillipina.
Dalam hal kemampuan matematika siswa Indonesia menempati urutan ketujuh terbawah dari 77 negara dengan skor 379. Dalam hal kemampuan matematika ini siswa Indonesia hanya lebih unggul dari Arab Saudi, Maroko, Kosovo, Panama, Philipina dan Republik Dominika.
Kemampuan sains siswa Indonesia berada di urutan 9 terbawah dari 78 negara dengan skor 396. Kemampuan siswa Indonesia dalam hal sains hanya lebih unggul dari Arab Saudi, Lebanon, Georgia, Moroko, Kosovo, Panama, Philipina dan Republik Dominika,
Sebagai perbandingan 10 negara yang kemampuan membacanya tertinggi dari hasil asesmen ini adalah Tiongkok (skor 555), Singapura (skor 549), Makau (skor 525), Hongkong (skor 524), Estonia (skor 523), Kanada (skor 520), Finlandia (skor (520) Irlandia (skor 518), Korea Selatan (skor 514) dan Polandia (skor 512).
Dalam hal kemampuan matematika siswa yang memiliki kemampuan tertinggi ada di negara Tiongkok (skor 591), Singapore (skor 569), Makau (skor 558), Hongkong (skor 551), Taiwan (skor 531), Jepang (skor 527), Korea Selatan (skor 526), Estonia (skor 523) Belanda (skor 519) dan Polandia (skor 516).
Dalam hal sain dan inovasi siswa dari 10 negara berikut memiliki skor tertinggi di dunia: Tiongkok (skor 590), Singapore (skor 551), Makau (sko r544), Estonia (skor 530), Jepang (skor 529), Finlandia (skor 522), Korea Selatan (skor 519), Kanada (skor 518), Hongkong (skor 517) dan Taiwan (skor 516).
Jadi dalam hal kemampuan membaca, matematika dan sain siswa Indonesia kemampuannya memang berada di kelompok papan bawah dan kemampuannya jauh di bawah kemampuan siswa dunia dengan skor yang jauh lebih rendah.
Hal lain yang sangat menarik dari hasil asesmen ini adalah dalam hal atmosfir sekolah yang dalah satu komponennya ada pernah mendapatkan perlakuan bullying beberapa kali dalam sebulan ternyata sekolah Indonesia menempati posisi cukup atas dengan persentase 41% sementara siswa lain di negara OECD persentasinya hanya 23%.
Sementara itu tingkat kedisplinan siswa Indonesia dan juga kerjasama antar siswa mendapat skor baik.
Hasil asesmen PISA yang dilakukan setiap tahun ini memang cukup menyakitkan bagi Indonesia sekaligus menjadi potret daya saing siswa kita dibandingkan dengan siswa seusianya di negara lain. Hasil yang tidak menggembirakan ini sekaligus juga merupakan cerminan kondisi dan kualitas pembelajaran di sekolah, temasuk di dalamnya komponen kurikulum dan guru yang tentunya harus segera diperbaiki.
Potret buram pendidikan Indonesia ini juga tercermin dari hasil asesmen PISA dalam kurun 8 tahun terakhir mulai dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2018.
Dalam kurun waktu tersebut skor kemampuan membaca siswa Indonesia di tahun 2000 yang mencapai 371 sempat naik menjadi 402 di tahun 2009 namun di setelah periode tersebut mengalami penurunan sampai tahun 2018 (skor 371).
Dalam hal matematika kemampuan matematika siswa Indonesia memang sedikit mengalami kenaikan mulai tahun 2003 (skor 360) dan meningkat di tahun 2018 (skor 379).
Demikian juga dalam hal sain dan inovasi kemampuan siswa Indonesia mengalami sedikt peningkatan mulai tahun 2006 (skor 393) meningkat sedikit di tahun 2018 (skor 396).
Sudah menjadi rahasia umum bongkar pasang kurikulum terjadi di Indonesia, namun ternyata hal ini tetap tidak dapat mendongkak daya saing siswa Indonesia di tingkat internasional. Terdapat indikasi kuat komponen muatan lokal cukup banyak yang tentunya berperan dalam mengurangi daya siswa Indonesia.
Seringkali perancang kurikulum terjebak pada fenomena dimana perancang kurikulum mengetahui sepenuhnya kebutuhan siswa sehingga apapun yang dipikir perlu untuk siswa diakomodasi dalam kurikulum.
Di lain pihak para perancang kurikulum jarang sekali melihat dan berada di pihak siswa sehingga dapat mengakomodasi kebutuhan siswa. Ibarat seorang tukang jahit yang merancang dan membuat pakaian siswa tanpa menayakan kebutuhan dan selera siswa dalam berpakaian.
Situasi nasional saat ini juga turut berperan dalam menambah beban siswa seperti misalnya diperlukannya diajarkan etika, toleransi bahkan pengetahuan korupsi dll nya
Memang tidak ada yang membantah bahwa hal ini penting bagi pembentukan karakter siswa, tapi pertanyannya adalah apakah harus diajarkan di jam formal pendidikan di sekolah? Bukankah sebagian besar waktu siswa berada di keluarga dan di masyarakat?
Bagaimana peran pendidikan keluarga dalam hal pembentukan karakter ini? Kalaupun pendidikan keluarga ini dapat berjalan dengan baik sebagai bagian dari life long learning maka beban kurikulum di sekolah dapat dikurangi sehingga siswa dapat mengkonsentasikan dirinya untuk mempelajari hal hal yang akan meningkatkan daya saing nya di tingkat internasional.
Jadi pada dasarnya pendidikan itu adalah tugas bersama dan tidak dapat dibebankan sepenuhnya kepada sekolah.
Fase pendidikan dasar dan menengah sangat vital dalam memberikan pengetahuan dasar dan kemampuan berpikir sebelum memasuki perguruan tinggi. Jika di fase ini siswa kita tidak dibekali dengan baik maka dampaknya juga akan merembet pada daya saing mahasiswa kita di perguruan tinggi dibanding dengan rekan rekan rekannya di negara lain.
Semoga hasil asesmen PISA 2018 ini menjadi bahan renungan sekaligus menjadi cambuk bagi pengambil keputusan untuk segera melakukan revolusi pendidikan dasar dan menengah kita untuk mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia unggul di masa mendatang.
Pendidikan memang kompleks dan tidak semudah membalikkan tangan untuk memperbaikinya, namun jika tidak ada langkah drastis dan sistematis untuk memperbaikinya maka ke depan kualitas dan daya saing SDM di tatanan global akan menjadi tanda tanya besar.