Home » Kongkow » Tahukah Kamu » Meski Akses Mudah, Kualitas Pendidikan di Indonesia Masih Rendah

Meski Akses Mudah, Kualitas Pendidikan di Indonesia Masih Rendah

- Rabu, 28 Februari 2018 | 08:00 WIB
Meski Akses Mudah, Kualitas Pendidikan di Indonesia Masih Rendah

Akses terhadap pendidikan, terutama di tingkat dasar, menjadi salah satu persoalan paling fundamental dalam peningkatan sumber daya manusia di sebuah negara. Di Indonesia, urusan ini mengalami peningkatan yang baik. Namun, masalah lain muncul dan belum terselesaikan.

1. Pembangunan gedung sekolah menjadi fokus awal pemerintah

Meski Akses Mudah, Kualitas Pendidikan di Indonesia Masih Rendah

Lowy Institute mempublikasikan hasil studi tentang kontrasnya kuantitas dengan kualitas pendidikan di Indonesia sejak Orde Baru hingga era demokrasi. Jika pada 1965 hingga runtuhnya Order Baru pada 1998 kebijakan pendidikan terpusat, maka pasca 1998 masing-masing daerah sudah diberikan otonomi.

Salah satu yang menjadi fokus pengembangan pendidikan adalah pembangunan gedung-gedung sekolah. Pemerintah juga menambah jumlah guru serta mendirikan sekolah-sekolah tingkat lanjut. Pada 2011, ada 200.000 sekolah dan tiga juga guru di Indonesia.

Angka tersebut di luar sekolah-sekolah keagamaan, misalnya madrasah, yang bukan menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan, melainkan Kementerian Agama. Kemudian, jika pada 1994/1995 ada 1236 institusi pendidikan tingkat tinggi, pada 2011/2012 jumlahnya menjadi 3815.

2. Tingkat partisipasi siswa juga bertambah

Meski Akses Mudah, Kualitas Pendidikan di Indonesia Masih Rendah

Peneliti di Lowy Institute menyebut upaya untuk menambah akses pendidikan di segala level dibarengi oleh peningkatan pendapatan, perubahan demografi, niat untuk menyediakan pendidikan gratis bagi masyarakat.

Alhasil, angka tingkat partisipasi siswa pun merangkak naik. Contohnya, sejak 1872 hingga 2015 rasio partisipasi total di level dasar meningkat dari 85 persen hingga 105 persen. Kondisi yang sama juga terjadi pada sekolah tingkat menengah meningkat dan atas dari 18 persen menjadi 85 persen. Sedangkan partisipasi di universitas awalnya dua persen bertambah menjadi 24 persen.

Hal yang tak kalah bagus adalah naiknya level partisipasi perempuan di bidang pendidikan juga berdampak pada kesetaraan gender. Antara 1972 dan 2015, Indeks Paritas Gender (GPI) di tingkat dasar, menengah dan tinggi meningkat secara signifikan.

3. Membaiknya kuantitas tersebut tidak sejalan kualitas yang ada

Meski Akses Mudah, Kualitas Pendidikan di Indonesia Masih Rendah

Secara akses, memang pendidikan di Indonesia sudah membaik, tapi masalah kualitas masih belum ditangani. Contohnya, performa para siswa secara umum dalam ujian standar internasional tidak banyak berubah sejak 1999 hingga 2015.

Untuk ujian PISA (Programme for International Student Assessment) yang dilakukan pada 2015, 42 persen siswa Indonesia berusia 15 tahun gagal mencapai standar minimal. Kegagalan itu terjadi di tiga area: kemampuan membaca, Matematika dan ilmu pengetahuan.

Tragisnya, hasil tersebut menempatkan Indonesia di bawah negara tetangga yaitu Malaysia, Vietnam serta Thailand. Universitas di Indonesia juga tak mampu menciptakan lulusan dengan kemampuan yang dibutuhkan industri kerja, salah satunya peran manajerial.

Kualitas penelitian di institusi pendidikan tinggi juga dinilai buruk oleh dunia internasional. Peringkat universitas-universitas Indonesia juga buruk. Per 2018, dari 500 universitas, Universitas Indonesia menempati peringkat 277, sedangkan Institut Teknologi Bandung ada di urutan 331.

4. Anggaran pendidikan menjadi salah satu penyebab rendahnya kualitas

Meski Akses Mudah, Kualitas Pendidikan di Indonesia Masih Rendah

Menurut Lowy Institute, ada empat faktor yang melatar belakangi kontrasnya kuantitas dengan kualitas pendidikan di Indonesia. Faktor pertama adalah anggaran. Misalnya, pada 1995 pemerintah menganggarkan kurang dari satu persen dana APBN untuk pendidikan.

Meski dalam beberapa tahun sudah ada penambahan anggaran, tapi jumlah itu masih kurang dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Contohnya pada 2013, anggaran pendidikan Indonesia adalah 3,35 persen, sementara Malaysia adalah 5,47 persen.

Faktor kedua adalah kualitas tenaga pengajar baik di tingkat sekolah dasar, menengah, atas maupun universitas. Sebelum 2005, kurang dari 40 persen pengajar memiliki gelar sarjana. Selain itu, sedikit dari mereka yang memiliki pengetahuan dasar terkait mata ajaran tertentu dan seni serta strategi mengajar yang baik.

Faktor ketiga, sistem insentif yang ada tidak membuat guru dan dosen semangat meningkatkan kualitas pengajaran mereka. Apalagi menyajikan riset dengan kualitas tinggi. Salah satu yang menjadi sorotan adalah promosi yang terjadi usai staf pengajar memenuhi persyaratan administratif dan bukannya kemampuan dalam mengajar serta melakukan riset.

Faktor terakhir adalah buruknya manajemen institusi pendidikan milik pemerintah. Tak jarang pejabat tertentu memegang kontrol berlebihan dalam aktivitas pendidikan. Meski desentralisasi terjadi, tapi itu tak mengubah fakta bahwa institusi pendidikan bagian dari birokrasi yang sudah buruk. 

Cari Artikel Lainnya