Memasuki bulan Mei membawa Indonesia pada ingatan buruk 20 tahun silam. Saat itu suasana di Jakarta berubah mencekam. Para demonstran tumpah di jalanan, berusaha mendapat perhatian para wakil rakyat di Senayan. Aparat keamanan pasang posisi siaga, kemarahan rakyat tak bisa lagi dibendung.
Katanya, kerusuhan Mei 1998 ditunggangi kepentingan politik dan kalangan tertentu. Dalangnya bermain amat cantik, hingga misteri itu betah bersembunyi hingga kini. Sampai sekarang terus digelar aksi protes, serta upaya-upaya untuk mengungkap penyebab kerusuhan dan hilangnya sejumlah orang. Namun hasilnya belum menunjukkan titik terang.
Kamu yang saat itu masih kecil atau malah belum lahir, perlu tahu lima fakta tentang tragedi Mei 1998 di bawah ini. Bahwa Indonesia pernah berada di titik kelam pemerintahan, hingga memicu kerusuhan dan penyerangan terhadap etnis tertentu. Simak yuk!
Pada tahun 1997 terjadi krisis ekonomi di negara-negara Asia yang berdampak juga pada perekonomian Indonesia. Kenaikan harga sejumlah kebutuhan pokok bikin rakyat golongan bawah makin tercekik. Aksi protes di daerah mulai bermunculan, hingga puncaknya para mahasiswa turun ke jalan pada 12 Mei 1998.
Para demonstran itu didominasi mahasiswa Universitas Trisakti. Mereka berniat menggelar long march ke Senayan, menghampiri para wakil rakyat yang duduk nyaman di kursi kekuasaan. Namun aksi mereka dihalau pihak berwajib, hingga bentrokan tak bisa lagi dihindarkan.
Aksi ini merenggut nyawa 4 orang mahasiswa Trisakti, tertembak peluru dari senapan yang diduga milik aparat kepolisian. Mereka adalah Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Hendriawan Sie, dan Heri Hertanto. Namun tuduhan ini disangkal, karena pihak berwajib tidak disenjatai senapan berpeluru asli. Hanya peluru karet, senapan air, dan tembakan gas air mata.
Majalah AsiaWeek saat itu meliput eksklusif kerusuhan Mei 1998 dengan judul ‘Sepuluh Hari yang Mengoyak Indonesia’. Sebelum harga kebutuhan pokok melonjak tinggi, pelantikan Presiden Soeharto sudah memicu ketegangan. Beliau dilantik kembali secara aklamasi oleh DPR, setelah 30 tahun menjabat sebagai Presiden.
Aklamasi adalah pertanyaan setuju dari seluruh peserta musyawarah tanpa melalui pemungutan suara, sehingga menimbulkan kontroversi. Namun setelah kericuhan makin parah, Soeharto memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan presiden secara tidak terhormat pada 20 Mei 1998.
Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia saat itu, Soeharto dikenal sebagai sosok yang diktator. Kekuasaannya mutlak dan jauh dari kata demokratis. Kebebasan berpendapat dibungkam, banyak pelanggaran HAM yang terkesan ditutup-tutupi sehingga mengundang gelombang protes dari masyarakat terutama aktivis.
Selain demonstrasi yang merenggut nyawa 4 orang mahasiswa Trisakti, tragedi Mei 1998 juga meninggalkan luka mendalam bagi etnis Tionghoa. Pada tanggal 13 Mei 1998, kericuhan bertambah parah dengan aksi penjarahan dan penganiayaan terhadap masyarakat keturunan Tionghoa.
Toko dan tempat usaha milik mereka diserbu, para wanita diperkosa ramai-ramai, hingga total ribuan nyawa melayang. Ada yang terbakar bersama toko, dibiarkan tergeletak di jalan setelah diperkosa, dan dianiaya hingga meninggal dunia.
Keturunan Tionghoa yang jumlahnya minoritas menjadi sasaran empuk. Ditambah ajaran peninggalan Belanda saat masa penjajahan, tentang kaum pribumi dan non-pribumi. Sejak itu, banyak dari mereka memutuskan berganti nama menjadi seperti kaum pribumi.
Hampir sembilan tahun berlalu, tepatnya pada 18 Januari 2007, para keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia mencetuskan ‘Aksi Kamisan’. Mereka termasuk keluarga para korban tragedi Mei 1998, baik yang tewas di Trisakti, Semanggi, dan kawasan lain.
Setiap hari Kamis sore mereka berdiri di depan Istana Negara. Memakai pakaian dan payung serba hitam, sebagai tanda duka atas kepergian korban dan kekecewaan pada pemerintah.
Kenapa dipilih hari Kamis sekitar pukul 4-5 sore? Aksi ini digagas oleh paguyuban para keluarga korban, Jaringan Relawan Kemanusiaan (JRK), serta Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Saat itu, hari Kamis disepakati untuk turun ke jalan setelah mempertimbangkan kepentingan masing-masing anggota.
Dipilihnya pukul 4-5 sore sebagai waktu pelaksanaan agar bertepatan dengan jam pulang kerja. Sehingga kondisi jalanan lebih ramai, bisa menarik perhatian para pengendara yang melintas. Karena mereka masih berharap, pemerintah mau mengusut lebih dalam setiap kasus pelanggaran HAM yang terjadi di negeri ini.
Awal tahun 2017 lalu, sebuah film berjudul ‘Istirahatlah Kata-kata’ dirilis ke publik dan mengundang sambutan positif. Film ini mengisahkan sosok Wiji Thukul, aktivis dan sastrawan yang hilang setelah tragedi Mei 1998.
Ia aktif menyuarakan protes terhadap pemerintahan masa Orde Baru. Dirinya juga berpartisipasi dalam banyak aksi demo yang digelar para buruh pabrik. Sayang, suara lantangnya berujung pada pengejaran yang membuatnya harus berpindah-pindah tempat persembunyian.
Hingga kini sosok Thukul dan sejumlah aktivis HAM lain tak diketahui rimbanya. Menyisakan tanda tanya besar tentang kepentingan apa yang disembunyikan di balik sederet pelanggaran HAM di negeri ini.
Apa pendapatmu tentang tragedi mengerikan yang terjadi 20 tahun silam ini? Share di kolom komentar yuk!