Peneliti tanah asal Malaysia, S. Paramananthan dari Param Agricultural Soil Surveys (M) sdn. Bhd
Lahan Gambut Asia Untuk Budidaya Sawit" src="https://www.infosawit.com/images/news/June-2019/mengenal-lahan-gambut-asia-untuk-budidaya-sawit/mengenal-lahan-gambut-asia-untuk-budidaya-sawit.jpg" style="height:246px; width:400px" />
Peneliti tanah asal Malaysia, S. Paramananthan dari Param Agricultural Soil Surveys (M) sdn. Bhd., mengungkapkan, tanah gambut di Asia dengan di Eropa memiliki karakteristik yang berbeda, lantaran tanah gambut di Eropa terbentuk dari rerumputan sementara tanah gambut di Asia kebanyakan terbentuk dari kayu, ini terjadi lantaran Asia memiliki banyak hutan dengan pohon berkayu.
Sebab itu, tutur Paramananthan atau yang akrab dipanggil Param, tidak bisa mengkategorikan gambut Eropa serupa dengan tanah gambut di Asia. “Menyamakan kategori gambut itu salah,” kata Param.
Sebab itu wajar bilamana pembudidayaan tanah gambut untuk tanaman sawit biasanya diketemukan masalah jika diketemukan dasar tanah gambut dengan tumpukan kayu, sehingga menyulitkan dalam proses budidaya. “Jika menanam di lahan gambut biasanya kayu menjadi halangan dalam budidaya,” katanya kepada InfoSAWIT.
Apalagi kayu-kayu itu tidak bisa diangkat ke atas permukaan, akan menjadi lebih sulit lagi jika ada areal gambut dengan karakteristik kayu yang sangat keras, kondisi demikian dipastikan bakal mengerek ongkos dalam mengembangkan areal tersebut.
Sebab itu, dalam membudidayakan gambut memang butuh persiapan matang dengan berbagai penelitian sebelumnya. Kata Param, penggunaan gambut untuk budidaya sejatinya tidak dibatasi oleh kedalaman gambut.
Ini diketahui setelah Param Agricultural Soil Surveys (M) sdn. Bhd., melakukan penelitian mengenai budidaya di lahan gambut, antara gambut berkedalaman 1,5 meter dengan gambut 3 meter.
Dari penelitian tersebut diketahui kedalaman gambut tidak mempengaruhi hasil budidaya. “Berdasarkan penelitian kami, dari mahasiswa program doktoral di Malaysia membandingkan penanaman sawit di lahan gambut kedalaman 1,5 m dengan lebih dari 3 meter hasilnya sama,” kata Param.
Dengan demikian menjadi jelas, bahwa areal gambut bisa dibudidayakan dengan kedalaman berapapun. Hanya saja untuk budidaya kelapa sawit di lahan gambut masalah yang muncul terkait diketemukannya dasar lahan gambut dengan dinding kayu yang keras atau tidak, sebab berkaitan dengan perakaran pohon sawit.
Param memastikan, pemanfaatan areal gambut untuk lahan budidaya tidak bakal memunculkan masalah. Hanya saja diakuinya, hingga saat ini banyak dari peneliti gambut luar negeri, utamanya dari negera barat melarang penanaman diatas areal gambut.
Padahal, penyebutan gambut yang diseragamkan tidak dibenarkan, lantaran gambut memiliki jenis dan kategori yang beragam, setidaknya Param mencatat ada 9 kelompok gambut semisal jenis Fibrik, Hemik, Saprik dan lainnya. “Setidaknya jenis gambut ada 9 kelompok,” katanya.
Dari sembilan jenis gambut tersebut, memang ada beberapa jenis gambut yang tidak boleh dibudidayakan. Tercatat ada 3 kelompok jenis gambut yang tidak boleh digunakan secara langsung untuk budidaya, alasannya pada gambut jenis tersebut di dasar gambut terdapat kayu yang sangat keras.
Sementara bila hendak dibandingkan antara jenis gambut fibrik dengan saprik, hasilnya lebih baik saprik. Lantaran hasil produksi tercatat lebih tinggi, emisi gas rumah kaca lebih sedikit, dan kesuburan lahan lebih tinggi. Jika menggunakan lahan jenis gambut fibrik, bakal banyak mengeluarkan GRK, ongkos budidaya tinggi, dan produktivitas kurang.
Lebih lanjut Param mencatat, kesalahan budidaya kelapa sawit di atas lahan gambut saat ini, banyak pelaku perkebunan yang membudidayakan kelapa sawit di atas lahan gambut acap membuat drainase yang sangat dalam, padahal dengan kedalaman parit mencapai 50 cm dari permukaan tanah sudah cukup.
Cara ini dianggap bisa mengurangi menguapnya GRK dari lahan gambut, termasuk memperlambat terjadinya subsiden (penyusutan). “Gambut di Malaysia dan Indonesia hampir sama, kita sudah dapat petakan lahan gambut di Asia Tenggara,” tandas Param. (T2)