Kamu mungkin sudah gak asing dengan istilah "urban farming" atau pertanian kota. Urban farming merupakan konsep menyulap lahan perkotaan yang terbatas seperti tempat tinggal (balkon, atap, atau lahan pekarangan), pinggir jalan, bahkan tepi sungai menjadi tempat berkebun yang produktif.
Dalam beberapa tahun terakhir, tren urban farming kian diminati oleh masyarakat yang tinggal di kota-kota besar. Awalnya, konsep berkebun di lahan terbatas ini hanyalah sebatas inisiasi dari segelintir komunitas pecinta lingkungan yang bergerak secara mandiri. Kemudian, urban farming pun berkembang secara masif menjelma menjadi tren gaya hidup urban.
Urban farming yang berarti bercocok tanam di lingkungan rumah perkotaan dianggap beriringan dengan keinginan masyarakat kota untuk menjalani gaya hidup sehat. Hasil panen dari urban farming lebih menyehatkan lantaran sepenuhnya menerapkan sistem penanaman organik, yang tidak menggunakan pupuk kimia dan pestisida sintesis.
Penurunan kualitas hidup yang dialami oleh masyarakat kota juga dapat kembali ditingkatkan lewat aktivitas berkebun di rumah yang menyegarkan pikiran. Namun apabila dilihat dalam jangkauan yang lebih luas, urban farming memiliki dampak yang lebih besar bagi kelangsungan hidup masyarakat perkotaan. Sejumlah penelitian pun menyebutkan bahwa urban farming dapat menjadi konsep pertanian ideal di masa depan.
Masifnya pembangunan di perkotaan menyebabkan tergusurnya ruang-ruang terbuka hijau. Hilangnya ruang terbuka hijau sangat memengaruhi kestabilan ekosistem lingkungan, sekaligus meningkatkan polusi yang mana berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat kota.
Konsep urban farming lantas menawarkan solusi dengan menciptakan lahan terbuka hijau ditengah padatnya bangunan perkotaan. Urban farming dapat mengelola wilayah perkotaan yang tercemar menjadi lingkungan yang nyaman dan sehat untuk ditinggali.
Berbagai sistem penanaman urban farming seperti vertikultur, hidroponik, dan akuaponik dapat dengan mudah diterapkan di area terbatas. Para penggiat urban farming menyulap atap rumah mereka menjadi kebun atap, pagar rumah menjadi taman vertikal, dan sebongkah pipa menjadi kebun tanaman hidroponik yang subur.
Proses urbanisasi yang menyebabkan tingginya laju pembangunan turut mengeliminasi keberadaan lahan pertanian di perkotaan. Kota tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri. Permintaan akan bahan makanan yang tidak tercukupi akan menyebabkan inflasi harga.
Jika terus dikembangkan, urban farming dapat diproyeksikan untuk mencukupi ketersediaan bahan makanan dan memperkuat ketahanan pangan kota itu sendiri. Pemerintah kota mempunyai andil yang penting dalam menyediakan regulasi khusus untuk mendukung penerapan urban farming, termasuk soal kebijakan hal guna lahan.
Selain mendekatkan diri sendiri dengan alam, urban farming juga dapat merekatkan hubungan sosial antara para penggiatnya. Saat urban farming diterapkan dalam lingkungan bertetangga, urban farming dapat menguatkan rasa kebersamaan dan menciptakan budaya gotong royong dalam lingkungan masyarakat kota.
Urban farming tentu dapat dimanfaatkan menjadi kegiatan produktif yang bisa diikuti oleh masyarakat banyak. Tidak hanya sekedar kegiatan pemberdayaan komunitas, urban farming juga dapat menunjang kondisi ekonomi masyarakat itu sendiri melalui pemasaran hasil panen urban farming.
Dilansir dari Wired, sebuah penelitian yang dilangsungkan oleh profesor dari Arizona State University, Matei Georgescu, mengungkap bahwa jika implementasi urban farming dilakukan secara penuh di setiap kota besar dunia, produksi urban farming dapat menghasilkan 180 juta ton bahan makanan selama setahun. Angka tersebut merupakan 10 persen dari total hasil produksi makanan secara global.
Tidak hanya itu, urban farming juga berpotensi menghemat 15 miliar kilowatt per jam untuk pemakaian energi dunia selama setahun dan menghasilkan 170.000 ton nitrogen ke udara, sama artinya dengan mencegah turunnya 57 juta meter kubik limpasan badai yang kerap mencemari sungai dan saluran air bersih.
Melihat besarnya keuntungan yang dapat diperoleh dari urban farming, pakar kebijakan publik dari Australian National University, Robert Costanza lebih jauh mengungkapkan strategi yang perlu dilakukan oleh pemerintah kota, yaitu menjadikan urban farming sebagai bagian dari urban planning atau perencanaan tata kota di masa depan.
Urban farming memang dapat dilakukan di tengah keterbatasan, namun urban farming memiliki dampak yang besar bagi kelangsungan hidup masyarakat kota. Dampak negatif yang sama besarnya juga bisa terjadi apabila penerapan urban farming tidak dilakukan secara baik dan optimal.
Menurut penelitian yang dilangsungkan Lori Hoagland berjudul Urban Agriculture: Environmental, Economic, and Social Perspectives, kesalahan pada praktik urban farming dapat menyebabkan meningkatnya polusi suara dan udara, banjir serta pemborosan energi, terutama air.
Kelalaian dalam merawat perkebunan urban farming dapat menyebabkan berkembangnya spesies nyamuk yang menyebarkan penyakit malaria. Kurangnya keterampilan dan infrastruktur yang tidak memadai biasanya menjadi penyebab utama dari kegagalan urban farming.
Meskipun urban farming memiliki potensi yang menguntungkan jika terus dikembangkan secara luas, hasil pangan dari urban farming saat ini masih jauh dari memenuhi kebutuhan pangan masyarakat kota.
Sebagaimana yang diungkapkan dalam buku Informal Urban Agriculture yang ditulis oleh dua peneliti ilmu pertanian, Michael Hardman dan Peter Larkham, komoditas yang dihasilkan urban farming masih terlampau jauh dari hasil pertanian di pedesaan. Hal ini berkaitan dengan minimnya pemanfaatan lahan di perkotaan, lemahnya ketahanan finansial para penggiat urban farming, dan dalam praktiknya, kegiatan urban farming masih sangat bergantung pada kesukarelaan warga.