Jika ditelusuri, sekarang ini sekolah dan budaya kita lebih mengutamakan kemampuan akademis anak dibandingkan kecerdasan emosionalnya. Padahal sesungguhnya, kecerdasan emosional memiliki pengaruh besar dalam hubungan antar manusia. Misalnya, kamu punya teman yang sebenarnya dia pintar banget. Tapi sayangnya, kelakukan sehari-hari dia sangat kasar dan mau menang sendiri. Tentu tidak nyaman bukan berteman dengannya?
Jika ini tidak dikembangkan dengan baik, akan banyak orang yang tidak tahu bagaimana memposisikan diri dalam masyarakat. Dalam dunia kerja sekalipun, orang dengan kecerdasan emosional yang baik masih lebih diandalkan daripada orang yang IQ-nya tinggi.
Berikut ini alasan lainnya kenapa kecerdasan emosional sebenarnya juga harus menjadi pembelajaran penting dalam sekolah dan budaya kita.
Dalam bukunya berjudul Emotional Intelligence, seorang pakar psikologi yang meraih PhD nya di Harvard University, Daniel Goleman mengungkapkan sebuah penelitian yang disebut Project Spectrum.
Project Spectrum menemukan bahwa repertoar kemampuan manusia jauh melampaui tiga keterampilan (membaca, menulis, dan berhitung). Project ini digagas oleh Howard Gardner, seorang ahli psikologi Harvard School of Education yang mengamati anak dengan berbagai sifat dan karakter saat mereka berumur empat tahun.
Hasil dari project ini menyatakan bahwa keterampilan emosional (mengetahui dan menangani perasaan sendiri dengan baik, dan mampu membaca dan menghadapi perasaan orang lain dengan efektif) memiliki keuntungan dalam setiap bidang kehidupan.
Gardner menyebutkan dalam bukunya Frames of Mind (1983), bahwa untuk meraih kesuksesan tidak bertumpu pada kecerdasan monolitik yang disebut IQ saja, melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebih lebar dan disebut Emotional Intelligence (EI).
Daniel Goleman menuliskan sebuah kisah menarik dalam bukunya perihal kecerdasan emosional.
Alkisah, di Jepang ada seorang samurai yang sering bertarung. Samurai ini menantang seorang pendeta untuk menjelaskan bagaimana konsep surga dan neraka. Tetapi, sang pendeta menjawab dengan nada menghina, "Kau hanyalah orang bodoh, aku tidak mau menyia-nyiakan waktu untuk orang sepertimu."
Merasa harga dirinya direndahkan, samurai itu naik darah, sambil menghunus pedang ia berteriak, "Aku dapat membunuhmu karena kekurangajaranmu." Pendeta pun menjawab dengan tenang, "Nah, itulah neraka."
Takjub dengan kebenaran yang ditunjukkan sang pendeta akan amarah yang menguasai dirinya, samurai itu menjadi tenang, menyarungkan pedangnya kembali dan meminta maaf serta berterimakasih atas penjelasan sang pendeta. "Dan baru saja itu surga," ujar sang pendeta.
Kesadaran mendadak si samurai terhadap amarahnya sendiri menggambarkan perbedaan pentingnya kecerdasan emosional. Sesuai dengan ajaran Socrates, di saat kamu bisa mengenali dirimu sendiri, di situlah kecerdasan emosional timbul.
Jika IQ bisa dikatakan genetik dari orangtua, namun tidak kecerdasan emosional. Hal itu karena kecerdasan emosional sangat mudah dibentuk, bahkan sejak dari bayi. Pembentukan kecerdasan emosional ini akan terus berjalan sampai manusia menjadi tua.
Dalam The Nicomachean Ethics, pembahasan Aristoteles secara filsafati tentang kebajikan, karakter dan hidup yang benar, tantangannya adalah menguasai kehidupan emosional kita dengan kecerdasan. Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan memiliki kebijaksanaan yang membimbing pemikiran, nilai dan kelangsungan hidup kita.
Kita semua memiliki IQ dan kecerdasan emosional dengan kadar yang berbeda-beda. Tetapi, Daniel Goleman menyebutkan bahwa gambaran angka-angka pada IQ dan bagaimana kecerdasan emosional manusia menyajikan suatu pandangan instruktif tentang apa yang ditambahkan secara terpisah oleh masing-masing dimensi ini terhadap ciri seseorang. Sejauh seseorang sekaligus mempunyai kecerdasan kognitif dan emosional, gambaran-gambaran ini berbaur. Namun, di antara keduanya, kecerdasan emosional menambah jauh lebih banyak sifat yang membuat kita menjadi lebih manusiawi.
IQ memang penting, tapi jauh lebih penting bagaimana kita bisa membawa diri kita yang baik di tengah-tengah masyarakat. Tentu akan menyenangkan bukan kalau kamu jadi orang disukai, daripada dibenci?