Suasana riuh pedagang begitu terasa begitu kaki menginjak Pasar Klewer, Solo. Para pedagang berteriak bersahut-sahutan, menawarkan dagangannya kepada pembeli yang masuk ke setiap lorong-lorong pasar tekstil tersebut.
Kendati Rabu, 2 September 2019, dinyatakan sebagai "Hari Batik Nasional," tak terlihat ingar-bingar berkaitan dengan perayaan hari batik. Suasananya sama seperti hari-hari biasa. Tak terlihat orang, misalnya, berbondong-bondong menyerbu pasar ini.
Tagar menghampiri salah satu pedagang batik yang berlokasi di lantai 3, Karmi, 55 tahun. Saat ditanya apakah ia tahu jika hari ini Hari Batik, Karmi mengangguk. Wanita asal Semanggi, Solo, itu dengan tangkas menyebut, 2 September adalah Hari Batik. “Ya, tahu. Harapan saya, biar sukses batiknya,” ujarnya.
Kendati Hari Batik, Karmi mengeluh tak merasa ada peningkatan jumlah pembeli di kiosnya yang terletak di Blok E51-52. Bahkan, menurut Karmi, dibanding dulu, pembeli batiknya bisa dibilang kini merosot. Ia berharap suatu saat Pasar Klewer akan kembali besar, lebih ramai lagi. "Dulu sebelum kebakaran saya berjualan di lantai bawah. Kalau ini kan di lantai atas, masih sepi. Mungkin tahun depan mulai ramai," ujarnya.
Sekarang lebih enak, tidak pengap dan panas. Dulu kita harus berdesak-desakan.
Kendati Klewer tetap menjadi pasar tekstil bermotif batik terkemuka di Indonesia, namun dibanding saat sebelum dilanda kebakaran bisa disebut pasar ini kini tak "segegap gempita" dulu. Setelah kebakaran pada 2014 yang nyaris meluluhlantakan seluruh bangunannya, pasar ini dibangun kembali, ditata lagi. Tiga tahun kemudian, pada April 2017, “Pasar Klewer wajah baru” ini diresmikan Presiden Joko Widodo. Penataan itu menimbulkan akibat lain. Ada sejumlah lantai yang masih relatif sepi. Termasuk lantai tempat Karmi berdagang itu.
Seperti para pedagang lain, di kios Karmi tersedia beragam batik dengan beragam harga pula. Misalnya, jenis batik dengan harga relatif murah, sekitar Rp 35 ribu - Rp 100 ribu per baju. Menurut Karmi, batik dagangannya itu tak selalu laku. “Kadang ramai kadang sepi juga," ujarnya.
Berbeda dengan Karmi, sejumlah pembeli justru memiliki pendapat berbeda. Rahmawati, 33 tahun, misalnya, mengaku lebih menyukai keadaaan Pasar Klewer sekarang. Menurut dia, selain bersih, fasilitas yang dimiliki juga mendukung kenyamanan untuk berbelanja, seperti ekskalator, lift, dan adanya ventilasi udara yang cukup. “Sekarang lebih enak, tidak pengap dan panas. Dulu kita harus berdesak-desakan,” ujar Rahmawati.
Umur Pasar Klewer lebih tua ketimbang usia republik ini. Pasar tersebut sudah ada sejak 1942 dan hingga detik ini merupakan pusat pembelian bahan kain dan busana batik. Para pembeli datang dari berbagai penjuru kota seluruh Indonesia. Nyaris seluruh jenis batik ada di sini. Sejarahnya yang panjang dan namanya yang sangat terkenal itu tak pelak membuat Pasar Klewer menjadi salah satu ikon kota Solo.
Sebutan nama Pasar Klewer bermula dari zaman pendudukan Jepang. Ketika itu daerah sekitar Pasar Klewer merupakan tempat pemberhentian kereta api yang digunakan oleh penduduk untuk berdagang yang dikenal dengan nama Pasar Slompretan. Slompetan berarti terompet.
Pasar Slompretan ini tempat jual beli kain batik. Kala itu belum ada kios. Para pedagang menjual batik dengan menaruh kain dagangan mereka di atas pundak sehingga tampak kleweran. Dalam Bahasa Jawa kleweran berarti menjuntai tidak beraturan. Lama-lama pasar itu pun dikenal dengan nama "Pasar Klewer."
Terpengaruh Suhu Politik
Seorang pedagang batik tingkat grosir, Kusbani, menyebut menurunnya penjualan batik di Pasar Klewer akhir-akhir ini juga akibat suhu politik di Indonesia yang memanas. “Omzet turun sampai 40 persen,” ujar Kusbani.
Kusbani menyebut situasi di Papua sekarang juga berdampak pada bisnis para pedagang Pasar Klewer. Pasar Papua, ujar Kusbani, selalu menyumbang pendapatan terbesar untuk pedagang jika menjelang Hari Natal dan Tahun Baru. "Kini banyak order kita dari Sorong dan Wamena yang dibatalkan," katanya. Selain Papua, batik Pasar Klewer juga dikirim ke Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
Kusbani berharap Hari Batik, 2 Oktober ini, bisa dijadikan ikon orang Indonesia. “Dan juga sebagai permersatu bangsa,” ujarnya.