Maafkan Aku, Ayah
- Selasa, 12 Januari 2016 | 04:09 WIB
Cerpen Karangan: Jeany Navita Anwar
Lolos moderasi pada: 11 January 2016
Dunia ini begitu keras bagi perempuan lemah sepertiku. Kerasnya dunia sudah aku cicipi, seperti halnya “PACARAN.” Ya, aku mengenal pacaran tepat pada usia 15 tahun mungkin orang bilang itu cinta monyet. Tapi tidak untukku. Aku mengartikan cinta seperti kedua orangtua yang menyayangi anak-anaknya. Aku juga menganggap semua laki-laki itu sama seperti ayahku. Ayah yang mampu menjagaku dari gigitan nyamuk, ayah yang menggendongku saat aku telah terjatuh dan ayah yang memelukku ketika semua orang jahat kepadaku. Tapi ternyata TIDAK!!!
Aku bertanya kepada ayah. “Ayah, apakah semua laki-laki sama? Kenapa aku tak bisa menemukan seorang laki-laki seperti ayah?” Ayah pun menjawab dengan mengusap rambut panjangku.
“Dengarkan aku anakku. Mungkin kamu tidak akan pernah menemukan laki-laki seperti Ayah yang mampu menjaga, melindungi, dan mengertikanmu selalu. Tapi, suatu hari nanti kamu akan bertemu laki-laki yang sangat membuatmu jatuh cinta sehingga mungkin kamu melupakan cinta Ayah ini.” Tertunduk aku menangis, ku angkat kepala dan kemudian ku peluk ayah.
“Apa benar yang dikata Ayah?” Tanyaku dalam hati.
Seiring berjalannya waktu ternyata memang benar apa yang dikatakannya, aku mengenal laki-laki yang sangat membuatku jatuh hati. Sehingga aku lupa kepada ayah bahkan aku lupa untuk mencintai diriku sendiri, namun ayah tak pernah marah kepadaku walaupun aku sering mengabaikan nasihatnya dan selalu melanggar perintahnya. Terus berjalannya waktu sakit hati yang aku dapatkan berkali-kali, bahkan aku telah merasakan kehancuran yang benar-benar membuat semua impianku hilang.
Aku malu dengan diriku sendiri, aku tidak bisa menjaga diriku bagaimana mungkin untuk aku bercerita kepada ayah. Sehingga aku menyimpan semuanya sendiri. Laki-laki yang membuat aku jatuh cinta adalah laki-laki yang merusak harga diriku. Mungkin aku terlalu terlena, mungkin juga aku terlalu percaya oleh segala janji dan harapannya untukku. Aku tidak sadar, aku pun tidak mengerti dosa apa yang telah aku perbuat dengannya.
Di setiap sujudku aku selalu meminta kepada Tuhan, untuk memaafkanku. “Tuhan, ampuni dosa yang telah aku lakukan. Aku tahu aku sangat berdosa, engkau boleh menghukumku tapi jangan engkau gagalkan masa depanku.”
Aku berjalan dalam derasnya hujan, aku bertanya kepada diriku sendiri. “Apa ini yang aku dapat dalam 2 tahun pacaran? Apa ini yang harus aku alami? Apakah ini yang dinamakan cinta? Begitu menyakitkan.” Terus menerus aku bertanya, hingga aku marah kepada diriku sendiri kenapa aku bisa menjadi seperti ini? Bodohnya aku! Sakit hati dan rasa kecewa yang sangat membunuh hatiku membuat aku pergi dari laki-laki yang tak bertanggungjawab itu.
Mungkin aku masih beruntung dosa yang aku lakukan, tak sampai membuat aku semakin malu hidup bermasyarakat. Butuh bertahun-tahun bahkan seumur hidupku untuk melupakan sebuah dosa itu dan kembali melewati hari-hari yang indah bersama keluarga dan teman-teman yang masih setia denganku.
—
Di suatu sore aku menghampiri ayah yang sedang duduk di kursi teras rumah. “Ayah, maafkan aku yang tidak bisa menjadi gadis kecilmu yang selalu patuh terhadapmu” ucapku, kepada ayah. “Sinilah anakku, duduklah di dekatku” Sahut ayah, sambil memegang tanganku. “Ayah tahu apa yang kamu rasakan tanpa kamu memberi tahuku. Karena Ayah adalah Ayahmu. Kamu pasti merasakan sakit hati kan?” Tanya ayah kepadaku dengan sedikit senyumnya.
Aku pun menjawab dengan nada sedikit keras tanpa ada spasi dalam ucapan, “Bukan hanya sakit hati Ayah aku sangat sedih, aku kecewa bahkan aku sangat hancur..” tapi hanya itu yang bisa aku ucap, tanpa aku memberitahukan yang sesungguhnya kepada ayah karena aku malu aku sudah tak utuh lagi dan juga ayah pasti akan kecewa dan sedih.
Kemudian ayah pun menjawab, “Nak, Ayah tahu sakit hati itu tidak enak. Tapi bukankah semua yang sudah terjadi bisa kamu jadi pembelajaran buat kedepannya? kamu pasti bisa belajar dari situ. Karena Ayah tahu kamu gadis kecil Ayah yang kuat tapi sekarang sudah gendut,” candaan ayah.
“jangan kamu menutup hati untuk laki-laki yang ingin mendekatimu lagi Nak. Tidak semuanya laki-laki itu sama, ingat pesan Ayah kamu pasti mendapatkan laki-laki yang berani bertanggungjawab atas dirimu untuk Ayah.” Aku sangat terharu mendengar nasihat ayah, ayah selalu bisa untuk membuatku kembali kuat dan menerima segala sesuatu yang sudah terjadi.
Dan baru ini usiaku menginjak 19 tahun, aku kembali mengenal seorang laki-laki. Laki-laki yang lebih tua 4 tahun dariku. Aku berharap ini pilihan terakhirku, aku menceritakan laki-laki ini kepada ayah dan ibuku bahkan sampai ke semua kakak perempuanku juga sahabat-sahabatku. Semua senang dan begitu terbuka untuk laki-lakiku yang baru ini. Dalam sujudku aku terus meminta kepada sang pencipta.
“Tuhan ini pilihanku, ini yang aku mau. Aku memohon hanya kepadamu jadikan ini tujuan terakhirku. Aku masih tidak bisa lupa akan dosa yang aku lakukan, tapi setidaknya setiap pendosa masih punya masa depan yang suci. Tuhan, hanya kepadamu aku berserah diri.” Amin.
Dari sini aku baru percaya bahwa kebahagiaan hanya kita sendiri yang menciptakan dan sebuah kesalahan janganlah kita jadikan beban untuk kita terus melangkah. Cintailah orangnya bukan Harapan dan Janjinya karena harapan dan janji hanya akan menjadi kekecewaan bila tidak ada bukti dan tindakan yang nyata. Dunia ini sangat kejam, maka dari itu ubahlah dunia ini dengan tekadmu untuk bahagia. Saat ini aku tidak berusaha menjadi lebih baik dari orang lain. Tapi aku sedang berusaha untuk menjadi lebih baik dari diriku yang dulu.
Cerpen Karangan: Jeany Navita Anwar
Facebook: Jeany Navita Anwar
Nama: Jeany Navita Anwar
TTL: Tulungagung, 29 november
Umur: 19 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan: Karyawan Swasta