Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) memiliki rencana untuk memiliki bandar antariksa yang menjadi bagian dari rencana induk keantariksaan. Hal itu diungkapkan dalam pembukaan Rapat Koordinasi Nasional LAPAN beberapa hari lalu.
Menurut Kepala LAPAN, Thomas Djamaluddin, pembangunan bandar antariksa merupakan amanat Undang-Undang No 21 tahun 2013 tentang keantariksaan dan Peraturan Presiden No.45 tahun 2017 tentang Rencana Induk Penyelanggaran Keantariksaan 2016-2040.
Dengan aturan itu, program LAPAN mewujudkan peluncuran wahana antariksa semakin jelas. Dikutip dari situs resmi LAPAN, Sabtu (9/11/2019), LAPAN sudah melakukan kajian terhadap beberapa alternatif lokasi, yakni Pulau Enggano, Pulau Nias, Pulau Morotai, dan Pulau Biak.
Hasilnya, lokasi yang memenuhi persyaratan teknis sebagai lokasi pembangunan bandar antariksa salah satunya adalah Pulau Biak, Desa Soukobye, Kabupaten Biak Numfor, Papua. Lokasi ini memiliki keunggulan karena dekat dengan ekuator atau garis khatulistiwa.
Menurut titik koordinat, Pulau Biak berada di 0º55'-1º27' Lintang Selatan (LS) dan 134º47'-136º48' Bujur Timur (BT). Posisi itu membuatnya ideal menjadi tempat peluncuran Roket Peluncur Satelit ke Geostationary Earth Orbit (GEO).
Selain itu, lokasi tersebut dapat berdampak positif pada penghematan penggunaan bahan bakar roket saat peluncuran. Thomas berharap pembangunan bandar antariksa ini dapat selesai pada 2024 dan dipakai untuk uji coba terbang peluncuran roket skala kecil.
Dalam Rakornas itu, LAPAN juga berharap ada masukan untuk mewujudkan mimpi besar pembangunan bandar antariksa ini.
Harapannya, rencana induk keantariksaan, yakni mempunyai satelit sendiri dan meluncurkan wahana roket sendiri dari bumi Indonesia dapat terwujud setidaknya pada 2040 atau menjelang 100 tahun peringatan kemerdekaan Indonesia.
Ilustrasi medan magnet Bumi. (Sumber Wikimedia)
Terlepas dari rencana itu, pada Februari 2018, Direktur Laboratory for Atmospheric and Space Physics di University of Colorado (Amerika Serikat), Daniel Baker, mengklaim ada tanda-tanda pembalikan kutub-kutub magnet Bumi.
Dia mengatakan, jika pertukaran terjadi, kemungkinan beberapa area di planet ini 'tidak bisa dihuni' dan akan memutuskan seluruh jaringan listrik hingga pelosok negeri.
Komentar Baker waktu itu juga dimuat dalam Undark yang menuliskan laporan mendalam, ditulis oleh Alanna Mitchell, penulis buku "The Spinning Magnet: The Electromagnetic Force that Created the Modern World and Could Destroy It" (Magnet Berputar: Kekuatan Elektromagnetik yang Menciptakan Dunia Modern dan Dapat Menghancurkannya).
Mitchell menulis: "Bahaya, aliran partikel penghancur dari matahari, sinar kosmik galaksi, dan sinar ultraviolet B dari lapisan ozon yang rusak karena radiasi, menghasilkan kekuatan tak terlihat yang dapat membahayakan atau membunuh makhluk hidup."
Namun, dunia tidak akan kiamat karena peristiwa ini, menurut Kepala LAPAN, Thomas Djamaluddin, melalui pesan singkat kepada Liputan6.com, Kamis (10/10/2019). Ia menjelaskan, kutub Bumi dan rotasi Bumi tidak akan berbalik, meski ada kemungkinan kutub magnetik Bumi berubah.
Fenomena pembalikan kutub magnetik Bumi memang ada dan menjadi fenomena alam yang wajar.
Akan tetapi, kabar seperti ini kerap disalahartikan oleh orang dan banyak pembuat hoaks menyebarkan berita-berita tak menyenangkan, seperti matahari muncul dari barat dan Bumi berputar berlawanan arah dari biasanya.
Faktanya, kata Thomas, dikutip dari Radar Cirebon: "Perubahan kutub medan magnet Bumi tidak berpengaruh terhadap posisi sumbu poros Bumi (kutub utara dan selatan). Jika terjadi, perubahan itu bisa dideteksi dengan kompas, sebab selama ini kutub medan magnet Bumi menjadi arah rujukan kompas."
Namun, proses ini sangat lamban dan memakan waktu hingga ribuan tahun. "Posisi kutub utara dan selatan Bumi tidak berubah dengan adanya perubahan kutub magnetik. Ini bukan kiamat. Ribuan tahun lalu pernah terjadi," tandas Thomas.