Oleh: Ulfatin CH
Anan gelisah. Dia hanya membolak balikkan file di dalam komputer. Pikirannya terpaku pada berita yang akan ditulis segera, tapi tetap saja yang muncul berita-berita ringan tentang sidang gugat cerai dan sidang maling ayam di perkampungan. Semua persoalannya bertumpu pada persoalan ekonomi kecil yang berkisar perut dan perut. Tapi persoalan ekonomi yang lebih besar justru sering terlewatkan, bahkan tersangkanya bisa berlenggang kangkung ke luar negeri menikmati hasil jerihnya merampok uang rakyat.
Hampir dua hari sudah, Anan menyimpan berita tertangkapnya seorang konglomerat karena kasus narkoba. Tapi, tak seorang wartawan pun memunculkan berita itu di halaman korannya. Mereka semua dilenakan dengan berita-berita ringan, sehingga masyarakat pembaca tidak mengetahui berita besar yang menimpa konglomerat dan cukong-cukong itu. Bahkan seorang tetangga tersangka pun tidak mengetahui kalau tetangganya yang konglomerat itu sesungguhnya Bandar narkoba besar. Semua pemuncul berita sudah dikondisikan.
Tapi, Anan tetap ingin menuliskan berita itu meskipun terlambat. Dan gelagat Anan yang akan memberitakan Sang Konglomerat pun tersampai juga ke telinga yang bersangkutan. Sang Konglomerat pun gelisah dan buru-buru memanggil ajudannya yang menunggunya sejak kemarin di tempat penahanan sementara.
“Bajul, segera kau hubungi Pak Anan. Dia mau berapa kita bayar, asal tidak mengeluarkan kasus ini. Dan yang lain tetap kau kondisikan, ya!” Perintah Konglomerat di ruang isolasi VIP pengamanan kasus narkoba. Bajul, pengawalnya yang setia diijinkan dapat memberikan pelayanan seperlunya di tempat itu.
“Siap, Pak.” Bajul merogoh telepon genggam di saku bajunya, lalu memencet tombol mencari kontak yang dituju. Bajul sendiri sebetulnya ingin berita ini muncul di koran-koran dan semua orang, tetangga, teman, saudara, anak-anaknya semua tahu apa sesungguhnya pekerjaan Sang Konglomerat yang dikawalnya ini. Dia sendiri sebetulnya tak ingin bekerja dengan dia, tapi, Bajul pun tak bisa mencari pekerjaan lain. Dia hanya lulusan SD, mau kerja apa lagi?
Bajul kembali memencet kontak yang dituju, “Halo, selamat siang. Bisa bicara dengan Pak Anan?”
“Ya, saya sendiri.” Suara Anan menggema di pengeras telepon genggam. Anan pun sejenak menghentikan pandangannya dari layar komputer ke jauh di luar jendela di sisi ruang kerjanya. Anan mencermati baik-baik, kata demi kata yang dilontarkan sang penelepon. Tapi tak segera menjawabnya. Hingga Sang Penelpon pun menanyakan ulang apa yang mesti jadi pertimbangan Anan. Kembali Anan mengerutkan dahinya.
“Hhmm, bagaimana ya, Pak. Saya tidak mungkin tidak memunculkan kabar ini meskipun sebetulnya persoalan ini sudah terlambat. Karena saya sendiri menunggu perkembangan selanjutnya.” Anan kembali mengerutkan dahinya. Dia menutup tuts telpon genggamnya dan melanjutkan menatap layar komputer yang mulai memanas seperti udara siang ini. Cuaca mendung bercampur panas matahari memunculkan udara panas dan gerah. Segelas air putih ia seruput setengahnya mendinginkan pikirannya, kembali menatap komputer.
Isi kepala Anan berdenyut. Bagaimana mungkin ia akan menerima uang dari seorang bandar narkoba, seorang perusak generasi bangsa. Bagaimana mungkin dia tega memberikan uang pemberian dari seorang bandar narkoba kepada istrinya. Bagaimana jadinya anak-anakku kelak jika memakan uang itu.
“Ah, tidak! Aku tak akan menerima uang bungkam itu. Aku akan tetap menulis berita ini meski terlambat.” Anan gelisah. Ia seruput lagi air putih tersisa digelasnya, kembali menatap komputer. “Betapa besar dosaku memberikan uang itu pada anak istriku. Tidak! Aku tidak akan membiarkan anak istriku memakan uang semacam itu.” Jari-jari Anan kembali asyik berlari-lari di tuts laptop. Dering telepon genggam Anan kembali bicara, dengan reflek tangan kanannya menolak panggilan itu. Lalu asyik jari-jari tangannya bermain lagi berlari lagi di atas tuts.
Jarum jam menunjukkan pukul 17.00 wib. Satu naskah berita sudah siap bergabung dengan berita lainnya. Anan pun bergegas menulis berita yang lain. Dering telpon berkali ulang mendering hanya didiamkan. Anan tak peduli dengan tawaran berapa pun besarnya dari bandar narkoba itu. Dia hanya ingin memberitakan kabar sesungguhnya kepada pembaca agar mereka tahu siapa yang ada di dekatnya, siapa sebenarnya yang selama ini diam-diam menyusup di tengah anak-anak kita dengan menyuguhkan obat pelena sepanjang hayat itu.
Pagi pukul 05.00 koran beredar. Orang-orang sibuk dengan kepentingannya. Tak ketinggalan Pak Narto yang gemar membaca Koran di pagi hari.
“Den, Den Bagus Anan. Saya mau tanya, Den?” Buru-buru Anan berdiri membuka pintu dan menyilakan Pak Narto duduk di kursi teras. “Silakan, Pak Narto. Monggo.” Pak Narto pun duduk dan aku mengikutinya.
“Ini lho, Den. Ada berita di koran. Katanya Pak Konglomerat, yang rumahnya di ujung jalan dekat jembatan itu, ternyata seorang Bandar, to. Apa benar ya, Den. Padahal, orangnya ramah dan dermawan sekali. Tapi, ternyata Bandar obat terlarang. Kasihan sekali ya, Den.”
“Iya, Pak. Namanya saja lika-liku hidup. Hati-hati saja belum cukup, harus diikuti dengan kata waspada. Sudah begitu saja kadang masih terpeleset juga. Jalan ini memang terlalu licin, Pak. Apalagi musim hujan begini.”
“Wuah, Den Bagus Anan pintar juga ya.”
“Sekedar menjalani Hidup, Pak. Mari, silakan diminum tehnya.” Anan pun mengikuti Pak Narto bercerita kesana kemari dan mengantarnya pulang sampai di halaman rumah, ketika Pak Narto pamit pulang.
Percakapan pagi pun segar mengiringi perjalanan Anan ke tempat kerja meliput berita lagi. Di tempat kerja, di lapangan Anan banyak melihat tatapan aneh dari rekan kerjanya.
“Wow, sumber berita terpercaya.” Celetuk Iwan.
“Kenapa, Wan. Ada yang salah.”
“Tidak ada.”
“Lantas kenapa mereka menatapku seolah ada yang aneh denganku?”
“Tidak. Cuma, pagi ini koranmu tampil beda. Aku salut, Pak.”
“Oh ya, makasih.” Semua rekan kerja Anan tak ada yang menyapa Anan selain Iwan. Tak seperti biasa. Semua seperti menjauhi Anan. Tapi, bagi Anan tak masalah. Dia hanya ingin memunculkan berita yang sesungguhnya tanpa harus ditutupi.
Telpon Anan disaku baju pun berdering. Anan mengangkatnya, tapi di seberang tak ada suara.
“Halo, mau bicara dengan siapa?” tanya Anan. Tapi yang di seberang masih saja tanpa suara. Telpon Anan pun dimatikan. Tapi kemudian berdering lagi. Kali ini telpon dari istrinya.
“Halo, ma.”
“Pa, tadi ada yang telpon mama. Katanya Bapak Anan suruh hati-hati ya. Ada apa, Pa? Papa tidak apa-apa, kan?” kata istrinya agak gemetar.
“Mama yang tenang ya. Papa tidak apa-apa. Sebentar lagi juga pulang.” Kata Anan menenangkan istrinya. Tapi dia sendiri pun akhirnya tidak tenang, karena merasa ada yang mengganggu keluarganya. Anan pun menancap gas sepeda motornya dan bergegas pulang.
Ulfatin Ch, sastrawan, tinggal di Yogyakarta