Ketika Hari Raya Idul Fitri tiba, salah satu tradisi masyarakat Indonesia yang selalu dilakukan adalah halal bihalal ke rumah sanak saudara dan kolega. Tradisi ini merupakan ajang silaturahmi untuk bermaaf-maafan serta berbagi cerita kepada para saudara setelah satu tahun kiranya tidak berjumpa.
Namun, tahukah Kawan bahwa istilah halal bihalal ternyata hanya ada di Indonesia? Istilah ini bahkan sampai dikaji oleh para pakar dan ulama mengenai maknanya karena sesungguhnya istilah ini tidak ditemukan dalam Al-Quran dan Hadis. Usut punya usut, istilah ini ternyata memiliki kisah sejarah yang menarik. Mulanya istilah ini disebutkan oleh KH Abdul Wahab Chasbullah yang merupakan salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama.
Penyebutan istilah ini dilatarbelakangi atas keresahan Sang Kiai terhadap kondisi bangsa Indonesia yang saat itu baru-baru saja merdeka, namun para elit politiknya justru sedang berseteru. Sekira tahun 1949, Indonesia tengah mengalami pemberontakan yang dilaukan oleh DI/TII dan PKI di Madiun. Para petinggi negara kala itu pun sedang tidak akur.
Lantas, menurut riwayat dari Kiai Masdar, pada pertengahan bulan Ramadan Presiden Soekarno memanggil KH Wahab Chasbullah ke Istana Negara. Ia menyampaikan rasa gelisahnya mengenai situasi politik yang sedang tidak sehat tersebut dan meminta masukan dari Kiai Wahab.
Kiai Wahab lantas memberi saran kepada Soekarno untuk menyelenggarakan silaturahmi dengan para elit politik dan masyarakat karena Hari Raya Idul Fitri hampir tiba. Lantaran kurang setuju dengan sebutan "Silaturahim", kemudian Kiai Wahab memberikan istilah lain.
"Itu gampang," kata beliau. "Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu, kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan sehingga silaturahmi nanti kita pakai istilah halal bihalal," jelas Kiai Wahab.
Halal bihalal juga selalu dilakukan oleh instansi pemerintah maupun swasta pada hari pertama masuk kerja setelah libur Lebaran.
Istilah halal bihalal berangkat dari kalimat 'thalabu halal bi thariqin halal' yang artinya mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan. Presiden Soekarno pun menyetujui penyebutan "silaturahmi khusus Idul Fitri" dari Kiai Wahab tersebut.
Kemudian pada perayaan Hari Idul Fitri tahun tersebut, Presiden Soekarno mengundang seluruh kalangan elit politik beserta masyarakat umum untuk datang ke Istana, duduk bersama, berbincang, dan saling memaafkan. Seiring berjalannya waktu ternyata gelaran ini menjadi tradisi yang berketerusan hingga kalangan masyarakat dan dimaknai sebagai acara 'sah' bermaaf-maafan di Hari Raya Idul Fitri.
Menurut Fathoni Ahmad dalam tulisannya mengenai makna dan filosofi halal bihalal di Indonesia, istilah halal bihalal sejatinya memang istilah khas Indonesia. Di negara lain kita akan sangat sulit menemukan istilah serupa yang menunjukkan silaturahmi di hari raya Idul Fitri tersebut. Fathoni menulis, para pakar sleama ini tidak menemukan penjelasan mengenai halal bihalal dalam Al-Quran maupun Hadis. Istilah tersebut memang muncul secara historis melalui Kiai Wahab untuk menyatukan bangsa Indonesia yang sedang mengalami konflik.
Berdasarkan tinjauan bahasa--sebagaimana ditulis oleh pakar tafsir Al-Quran Muhammad Quraish Shihab-, kata halal sendiri diambil dari kata halla atau halala yang memiliki makna antara lain menyelesaikan masalah atau kesulitan atau meluruskan benang kusut atau mencairkan yang membeku atau melepaskan ikatan yang membelenggu. Oleh karena itu, halal bihalal dimaknai sebagai bentuk menyambungkan kembali apa-apa yang terputus.
Nah, Kawan. Selagi masih dalam suasana Hari Raya Idul Fitri, apabila masih ada kesalahan yang belum termaafkan maupun dimaafkan, mari direlakan dan diikhlaskan agar tali persaudaraan dengan kerabat tidak terputus dan hidup menjadi lebih damai di kemudian hari.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1439 H!