Di masa remajanya, siswa berproses untuk mencari jati diri. Di masa-masa ini, mereka akan menentukan arah dan pandangan hidupnya. Mereka masih mudah berubah-ubah, jadi butuh pengarahan khusus dari bapak/ibu Guru.
Untuk mengarahkannya, banyak cara bisa dilakukan. Namun yang perlu diingat adalah menyesuaikan pengajaran dengan karakter siswa. Nah, bapak/ibu bisa coba praktikkan cara ini untuk meningkatkan prestasi siswa, yaitu teori labeling.
Teori ini bersifat “cap” sosial, yang mana seseorang akan mengalami perubahan peran dan cenderung berperilaku seperti apa yang orang lain katakan terhadapnya. Misalnya, bapak/ibu berkata “Dasar payah. Begini saja kok tidak bisa?”, maka tidak akan membuat siswa menjadi pintar. Semakin sering melontarkan kalimat negatif pada orang lain, maka hal tersebut seakan-akan “melekat” pada dirinya. Jika demikian, maka siswa bisa berpikir bahwa memang demikianlah dirinya, tanpa tahu harus berubah dan cara menjadi pribadi yang lebih baik. Buruknya, timbul rasa sakit hati, minder, dendam, dan justru “mempertahankan” perilaku negatif yang dilabelkan padanya.
Well, teori yang pertama kali dikemukakan oleh Edwin M. Lemert ini memang mengarah pada penyimpangan perilaku seseorang. Namun, jika bapak/ibu menggunakan cara ini dengan baik, maka akan memberi manfaat besar bagi siswa di kehidupan sehari-hari. Pada umumnya, teori ini merupakan sebuah motivasi eksternal dalam menentukan jati diri.
Tidak ada salahnya mempraktikkan labeling yang bersifat positif untuk memotivasi siswa. Mulai sekarang, cobalah ucapkan kalimat positif seperti “Kamu pasti bisa”, “Kamu bisa kok menyelesaikan soal ini”, “Bapak/Ibu percaya kamu anak yang cerdas”, dan sebagainya.
William J. Chambliss, seorang kriminolog dan sosiolog di George Washington University melakukan sebuah eksperimen menarik. Percobaan ini ia lakukan pada 8 siswa sebuah SMA yang selalu melakukan kenakalan remaja. Beberapa contoh di antaranya yakni membolos, mengonsumsi minuman keras, vandalisme, mencuri, dan masih banyak lagi. Jadi, kedelapan siswa tersebut diberi julukan "Saints", yang artinya adalah orang-orang suci atau mulia. Sungguh kontradiktif, bukan?
Ternyata, efek yang ditimbulkan cukup mencengangkan setelah pemberian label tersebut. Awalnya, 8 siswa ini mulai berhati-hati dalam 'mempraktikkan' kenakalannya. Mereka tidak ingin masyarakat yang mengenal mereka sebagai anak-anak baik berubah pikiran. Para siswa tersebut senang dianggap sebagai remaja-remaja baik. Lama-kelamaan, mereka pun malu untuk melakukan kenakalan dan perlahan-lahan meninggalkan kebiasaan buruknya. Akhirnya, sukses pun mereka raih dan jadi remaja yang berguna bagi masyarakat.
Wah, sebegitu besar pengaruh pemberian julukan, label, atau cap pada seseorang ya. Namun sayangnya, di kalangan masyarakat dengan tingkat sosio-ekonomi dan pendidikan rendah, hal ini masih kurang diperhatikan. Bisa jadi karena kurangnya edukasi mengenai teori labeling.
Mulai sekarang, mari biasakan diri untuk menerapkan labeling positif pada siswa. Misalnya, berikan pelatihan bagi siswa yang selama ini agak kurang dalam mata pelajaran tertentu. Selama memberikan pelatihan, lakukan metode labeling positif, dan sertakan siswa pada kompetisi. Hal ini akan meningkatkan motivasi dan rasa percaya diri sehingga berdampak baik pada prestasi. Apabila berhasil melewati kompetisi tersebut dengan baik, terbayang dong apa yang akan dirasakan siswa setelahnya?
Semoga seluruh guru di Indonesia menerapkan labeling positif ini saat kegiatan belajar mengajar di kelas. Juga, suatu saat metode ini akan dimasukkan pada kurikulum pendidikan nasional.